Peristiwa
Pidato Kebudayaan 2007
“Spiritualitas dan Kebebasan Berkesenian”
Oleh: D. Zawawi Imron
28 November 2007, 19.30 WIB
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta
Telepon: (021) 31397325
Situs: www.dkj.or.id
Spiritualitas dan kebebasan berkesenian adalah topik Pidato Kebudayaan 2007. D. Zawawi Imron, sastrawan sekaligus ulama dari Batang-batang, Madura, akan membawakan pidato itu. Kata pengantar oleh Marco Kusumawijaya, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mempertanyakan kenapa agama dan seni kerap dipertentangkan. Marco menjelaskan bahwa spiritualitas, pada mula kemunculannya sebelum agama-agama yang kita kenal sekarang, mewujud dalam tindakan manusia sebagai bentuk kesenian—gambar, bunyi, gerak, cerita, maupun arsitektur. Di puncak kejayaan agama-agama samawi pun kesenian dan penghayatan agama berhubungan timbal balik, yang satu merupakan medium ekspresi bagi yang lain. Namun, kini agama kerap dipandang secara sempit dan menjadi sekadar lembaga dan simbol. Di sisi lain, kerumitan kehidupan berkembang dan seni menjalankan kodratnya yang bersifat bebas, mandiri, dan kritis. Pada ujungnya, jika orang berpandangan bahwa agama sudah mencukupi untuk hidupnya, seni akan dikesampingkan. Pengantar Marco ini menegaskan bahwa seni bisa menjadi sumber ilham yang rekonstruktif dan menyiratkan penentangan DKJ terhadap RUU pornografi yang kini masih menjadi perdebatan. Acara ini diadakan oleh DKJ bersama Badan Pengelola Taman Ismail Marzuki (BP-TIM).
Diskusi Documenta 12
4 Oktober 2007, 19.00 WIB
Foyer GoetheHaus
Pembicara: FX Harsono
Moderator: Enin Supriyanto
Informasi: Katrin: 021-235 50208 ext. 116/ Norma: 021-235 50208 Ext. 131
Telepon: (021) 235 502 08
Situs: http://www.goethe.de/jakarta
Email:
[email protected] atau prakt5@jakart
Pameran Tunggal Abdi Setiawan “The flâneur”
27 September – 8 Oktober 2007
Nadi Gallery
Jalan Kembang Indah III, Puri Indah, Jakarta
[email protected]
Telepon: (021) 581 8129
Situs: http://www.nadigallery.com
Sebutan flâneur (pejalan kaki) mungkin bisa disematkan pada Abdi Setiawan di pameran tunggalnya kali ini. Jika dalam buku Walter Benjamin, The Arcades Project, sang flâneur memperhatikan etalase pertokoan mewah sepanjang arcade, seniman flâneur yang biasa dipanggil Zet ini mengamati orang-orang di suatu sudut kota—percakapan, gerak-gerik, dan gaya mereka. Contohnya, dengan latar rumah bordil, Zet menghadirkan patung-patung seperti Tattoo Man, Tanktop Putih, Belaian Malam dari bahan kayu jati, fiberglass atau aluminium. Sedangkan pada latar terminal bus atau stasiun kereta api, ada Pendatang Baru, Mudik, dan Melepas Lelah. Patung-patung bergaya realis karya seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini dibuat seukuran manusia. Kurator pameran, Enin Supriyanto, berpendapat bahwa Zet menambahkan tafsir dan penilaian pribadinya ke dalam berbagai data rekaman fisiognomis tokoh-tokohnya. Dalam pameran ini ia mengelompokkan sejumlah patung untuk lebih menghidupkan karakter masing-masing tokoh yang ia tampilkan. Tokoh-tokoh itu jadi hadir dalam suasana di jalan-jalan kota saat beberapa orang seperti sedang berinteraksi. Interaksi langsung juga merupakan pendekatan Zet ketika terjun langsung ke suasana sasarannya. Ia berkenalan dengan orang-orang di lingkungan itu sebagai usaha menangkap cara pandang dan persoalan kehidupan mereka. Sebelumnya, pameran tunggal finalis Philip Morris Art Award ini yaitu “Gairah Malam” di Pusat Kebudayaan Prancis, Yogyakarta pada 2004.
Pameran Instalasi Titarubi “Herstory”
19 September – 14 Oktober 2007
Bentara Budaya Jakarta
Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta
Telepon: (021) 549 0666
Situs: www.bentarabudaya.com
“The personal is political.” Kalimat itu sering kita dengar dalam konteks feminisme. Dalam hal pameran ini, menurut kurator Alia Swastika, Titarubi mengolah wacana tentang tubuh, mewujudkan pengalamannya atas tubuh perempuan—sesuatu yang sangat pribadi—sebagai metafor dan pemaknaan baru atas pengalaman tersebut. Coba lihat Lindungi Aku dari Keinginanmu, tiga torso perempuan dengan rahim yang menampakkan janin dipasang di dinding. Tempelan-tempelan kamper di dinding tersebut bersinar karena pantulan lampu ultraviolet, yang mungkin melambangkan banyak kepentingan lain atas situasi biologis perempuan. Lainnya, Vagina Brocade—yang dipakai dalam film Garin Nugroho, Opera Jawa—diilhami cerita pembakaran Sita dalam kisah Ramayana, seperti menegaskan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri, spiritualitas, dan konstruksi tentang kesetiaan.
Banyak yang mengatakan bahwa medium keramik adalah mediumnya perempuan, tetapi kini, di tengah masyarakat kontemporer, tidak ada medium tertentu yang identik dengan satu jender. Pada pameran “Herstory” ini Tita, yang memang banyak memakai bahan keramik, justru bermain-main dengan femininitas, termasuk menyandingkannya dengan maskulinitas. Ini bisa dilihat di beberapa karya Tita yang berangkat dari gejala sosial politik. Sebagai contoh: Kisah Tanpa Narasi #2 yang berbentuk potongan tubuh yang berhimpitan, bertumpukan dalam semacam lori keranjang di atas rel. Atau The Silent Sound of War, yang menampilkan deretan patung dengan kedua tangan terentang.
Diskusi novel Snow karya Orhan Pamuk
Rabu, 26 September 2007, 18.00 WIB
Jl. Irian No. 8, Menteng, Jakarta
Telepon: (021) 319 09226
Situs: http://www.freedom-institute.org
Ka, seorang penyair paruh-baya yang menjalani eksil politik selama 12 tahun di Frankfurt, kembali ke Turki dan menuju kota di dekat perbatasan Armenia, Kars (dalam bahasa Turki, kar berarti salju). Saat itu terjadi badai salju hebat. Ia mengaku sebagai jurnalis yang tertarik melaporkan tentang serentetan aksi bunuh diri sejumlah perempuan muda karena sekolah mereka melarang memakai jilbab. Ka menjalin hubungan dengan Ipek, perempuan yang ia kenal dan kagumi semasa muda dan baru bercerai. Mantan suami Ipek adalah teman Ka yang kini menjadi seorang politisi Islamis.
Perubahan nasib, alur bolak-balik, masalah jati diri, protagonis yang terasing adalah kekhasan Pamuk—demikian kata Margaret Atwood. Dalam novel ini, Orhan Pamuk (penerima Hadiah Nobel Sastra 2006) bercerita tentang sebuah Turki masa kini melalui sejenis realisme yang liris. Fokusnya adalah konflik antara kekuatan Westernisasi dan Islam dengan latar tahun 1990-an. Pamuk sendiri menyebut Snow, yang pertama kali terbit dalam bahasa Turki pada tahun 2002 ini, sebagai “novel politik pertama dan terakhir yang saya buat.”
Diskusi tentang novel Snow—salah satu dari rangkaian agenda diskusi Freedom Institute selama bulan Ramadan tahun ini—akan membahas pelbagai segi bentuk dan isi karya kontroversial tersebut, dengan narasumber Ayu Utami, sastrawan, penulis novel Saman; dan Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina.