Buku
Inner Workings: Literary Essays 2000-2005
Penulis: J. M. Coetzee
Tebal: 304 halaman
Penerbit: Viking
A Tranquil Star: Unpublished Stories (2007)
Penulis: Primo Levi
Penerjemah: Anne Goldstein dan Alessandra Bastagli (ke Bahasa
Inggris)
Tebal: 176 halaman
Penerbit: W. W. Norton, London
Situs: Data
di Amazon.com
Primo Levi adalah penulis esai, puisi, novel, dan memoar Se questo è un uomo (1947) yang diterjemahkan menjadi Survival in Auschwitz (1959). Setelah 10 bulan terkurung di kamp konsentrasi Auschwitz, orang Yahudi Italia ini kemudian lama bekerja sebagai ahli kimia sebelum memutuskan menjadi penulis sepenuhnya. Dalam masa gelap sebagai tawanan kamp itu banyak teman Levi meyakini ia telah bunuh diri. Namun, justru Auschwitz-lah yang menjadikan ia penulis, aku Levi dalam memoarnya. Bukan saja karena tuntutan moral, tetapi juga kebutuhan psikologis. Novelis Anita Desai menulis bahwa Levi sungguh yakin—sebagaimana tergambar dalam tiap cerita dan tokoh yang diciptakannya—bahwa ia dan generasinya hidup di masa ketika kemanusiaan berada dalam keadaan mandek atau bahkan mundur.
A Tranquil Star adalah kumpulan 17 cerita Primo Levi (1919-1987) yang diterbitkan di Italia antara 1949-1986 dan pertama kali diterjemahkan ke bahasa Inggris untuk memperingati 20 tahun meninggalnya sang penulis. Di buku ini, pesimisme Levi akan kemanusiaan bisa dilihat dalam cerpen "Gladiators", yang menuturkan pertarungan antara manusia dan mobil. Atau "Knall", yang memerikan benda bundar kecil yang dipakai sebagai aksesoris, dijual umum, tetapi bisa digunakan sebagai senjata canggih. Cerpen yang menjadi judul buku, "A Tranquil Star", berkisah tentang seorang astronom yang risau akan kemungkinan meledaknya sebuah bintang yang dapat meluluhlantakkan planet yang dihuninya. Gaya prosa Levi adalah semacam perpaduan antara fiksi ilmiah dan kesuraman cerita Kafka.
Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik (2007)
Penerjemah: Zhou Fuyuan
Tebal: xl + 367 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Data di
IniBuku.com
Tiongkok mendapat julukan "negeri puisi" berkat karya puisi klasiknya yang melimpah selama ribuan tahun. Dalam kata pengantar buku ini, Prof. Dr. Leo Suryadinata menyebutkan bahwa puisi klasik Tiongkok mencapai kejayaannya pada Dinasti Tang (618-907 M) dan Song (960-1279 M), jauh lebih awal dari masa kejayaan prosanya. Ia juga membahas situasi politik yang memengaruhi gairah penerjemahan sastra Tiongkok. Yang tak kurang menarik, Leo pun membandingkan beberapa versi terjemahan puisi Tiongkok klasik dalam bahasa Indonesia, yang kebanyakan berdasarkan versi Inggris, dengan terjemahan Zhou Fuyuan yang langsung dari bahasa Tionghoa. Hasilnya, menurut Leo, terjemahan Zhou sering kali lebih ringkas, dengan gaya bahasa lebih tepat, dan pemilihan kata lebih beragam.
Memuat 560 puisi (dan menyertakan teks dalam bahasa aslinya), Purnama di Bukit Langit adalah antologi puisi Tiongkok klasik yang mungkin paling lengkap yang pernah terbit di Indonesia. Puisi dibagi berdasarkan bentuk (sanjak, syair, dan lirik), kemudian berdasarkan tema (misal bulan, musim, tanah air, cinta), dan akhirnya kronologi dinasti. Perkembangan puisi Tiongkok bisa dilihat dari perbedaan jumlah kata atau rima dan penekanan pada makna atau isi. Dari segi tema, pembaca tidak hanya dapat mencerap penghayatan penyair akan alam, tapi juga protes mereka terhadap kerajaan. Buku ini juga dilengkapi dengan sejarah puisi Tiongkok klasik, catatan kaki tentang konteks penulisan puisi, serta biografi para penyairnya. Kata penutup ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI.
Puisi buat Rakyat Indonesia: Kumpulan Puisi 25 Penyair Korea (2007)
Penulis: Chung Young Rim, Sapardi Djoko Damono (Editor)
Tebal: xxi + 228 halaman
Penerbit: Buku Obor, Jakarta
Seperti Jepang, tradisi tulis Korea berakar pada tradisi Tiongkok. Walaupun begitu, menurut Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar buku ini, keduanya tetap berbeda jika dilihat dari citraan alamnya yang bukan sekadar menjadi alat pengungkapan tetapi juga sebagai dirinya sendiri. Buku dwibahasa ini mencakup puisi yang diciptakan antara tahun 1920-an sampai 1950-an oleh 25 penyair (hanya satu perempuan) Korea. Gambaran perkembangan tema dan bentuk puisi Korea pada kurun itu kurang-lebih tercermin dalam buku ini.
Penyair Yoon Dongju menulis tentang perjalanan dan kenangan masa kecil. Park Dujin menggubah puisi tentang alam tetapi juga tentang isu sosial dan politik. Imaji alam juga banyak muncul dalam puisi Kim Sowol. Pengaruh penyair simbolis Prancis bisa dilihat pada puisi Lee Janghui dan Joo Yohan. Dari segi bentuk, puisi Lee Sanghwa tampak lain daripada yang lain dengan gaya prosa dan jumlah bait yang relatif banyak. Di salah satu puisi Lee Byeonggi dan Lee Eunsang dapat kita lihat contoh sijo, genre puisi klasik Korea yang memengaruhi gaya puisi Korea modern di mana puisi terdiri dari tiga baris dan satu baris memuat 14-16 suku kata. Ada pula puisi yang menggambarkan persamaan pengalaman kolonial Korea dan Indonesia, yaitu puisi Park In-Hwan yang menjadi judul buku: "Puisi buat Rakyat Indonesia".
Penerjemah buku ini, Chung Young Rim, adalah guru besar sastra dan bahasa Melayu-Indonesia di Universitas HanKuk, Seoul. Dalam pengantarnya, Rim mengatakan ia mempertahankan terjemahan harfiah atau kata per kata daripada rima dengan alasan bahwa imaji bisa melampaui batas linguistik dan budaya.
Kalatidha (2007)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Tebal: x + 234 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Informasi di
Inibuku.com
Informasi di
Bukukita.com
Kalatidha menawarkan sebuah cara lain menuturkan cerita. Sudut pandang utama dalam novel ini adalah seorang anak yang pernah menyaksikan pembantaian sebuah keluarga yang diduga antek PKI di akhir 1960-an. Ketika dewasa, ia menjadi narapidana karena memperdayai sebuah bank. Narasi penutur pertama ini dilengkapi dengan potongan kliping koran tentang PKI dan pemerintah Indonesia. Ia pun menceritakan gambaran dunia tak kasat mata yang menurutnya sungguh nyata, termasuk pengamatannya akan hantu anak perempuan keluarga yang terbunuh itu. Tetapi cerita juga mengalir lewat seseorang yang dianggap gila. Dalam narasi ini si orang "gila" mempertanyakan kewarasannya dan disela oleh pikirannya tentang nama-nama makanan. Seno tampak mempersoalkan derajat kesahihan cerita atau penuturnya, misalnya lewat catatan si orang "gila" itu dan bab berjudul "Aku Hanyalah Seorang Tukang Kibul" di mana "aku" mengaku bercerita secara tidak urut.
Cerita lebih menekankan deskripsi, imajinasi, dan pikiran ketimbang alur. Dengan gaya surealis si penutur melukiskan, misalnya, negeri cahaya. Atau tuturan ala cerita silat tentang hantu seorang perempuan yang terbunuh dan menitis lewat tubuh saudara kembarnya—yang menghuni rumah sakit jiwa—dan membalas dendam kepada semua orang yang menurutnya bersalah atas pembakaran keluarganya dan pemerkosaan saudara kembarnya itu. Kisah pahit tersebut tertuang di novel yang diawali kutipan syair karya Ranggawarsita (1802-1873), Kalatidha, yang berarti zaman rusak. Selama ini Seno Gumira Ajidarma telah dikenal dengan gaya penulisannya yang berdasarkan sejarah dan kesaksian korban seperti dalam kumpulan cerpen Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden.