Peristiwa
Pameran Seni Rupa “Küsse” (Kisses)
Oleh: Nuttenkinder (Manuel Heischel dan Marc Jung)
4-27 September
2007
Cemara 6 Galeri
Jl. HOS Cokroaminoto 9-11, Menteng, Jakarta
Telepon: (021) 391 1823
Situs: http://cemara6galeri.wordpress.com
Perasaan bahagia bercampur kehilangan adalah sensasi yang mungkin muncul ketika orang berciuman. Momen yang sejenak dan genting itu ingin dicapai Marc Jung—kini sedang menempuh pendidikan di Weimar, Jerman—dengan memindai wajahnya sendiri. Teknik yang digunakan, “Scannogramme”, adalah sebuah proses mengolah gambar dengan pemindai (scanner) komputer. Nuttenkinder, beranggotakan dua orang Jerman Manuel Heischel dan Marc Jung, menerapkan teknik ini untuk merekam momen berciuman tersebut dengan memindai ketika kepala Jung membentur permukaan pemindai. Hasilnya: enam foto berlatar hitam, masing-masing dengan sebuah kilatan merah-oranye membujur. Sedangkan “Tier”, karya ke-2 kelompok yang didirikan di kota Erfurt, Jerman, tahun 2006 ini, adalah video yang menampilkan sejenis binatang di tengah hamparan sawah menguning. Gambar kartun binatang ini menyerupai sapi dengan tanda silang wajah. Karya terakhir, “V Maenchen” berupa potongan-potongan boneka yang disebar di lantai. Bagian-bagian tubuh berwarna hitam ini dimaksudkan untuk melambangkan proses perkembangan cara pikir saat kita tumbuh dewasa.
Pameran “Masa Lalu - Masa Lupa”
10 Agustus – 7 September 2007
Erasmus Huis
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3
Kuningan, Jakarta
Telepon: (021) 524 1069
Enam seniman asal Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta menafsirkan sejarah Indonesia tahun 1930-1960. Mereka adalah Agus Suwage, Eko Nugroho, Wimo Ambala Bayang, Yuli Prayitno, Prilla Tania, dan Irwan Ahmett. Lihatlah, misalnya, karya Irwan Ahmett: delapan poster rumah makan di Cirebon yang didirikan tahun 1932. Foto-foto memperlihatkan bangunan lama, dapur kusam, dan tumpukan kursi usang. Yuli Prayitno menyodorkan karyanya “Before & After the Old” yang berupa dua tangan kanan kekar—yang satu berukir tulisan dan yang lain berwarna pucat dengan juntaian rambut panjang dari satu sisinya. Salah satu karya Wimo adalah tiga foto laki-laki paruh baya di depan gedung pertokoan Sarinah di Malang. Sedangkan “Story of a Dark Eater” oleh Eko Nugroho adalah instalasi bentuk-bentuk mahkota yang seragam namun beberapa di antaranya patah. Di hadapannya, binatang mamalia berkaki empat berkepala capit kalajengking dan semburan. Semuanya berwarna hitam.
Pameran ini adalah bagian dari proyek Rumah Seni Cemeti yang bertujuan membaca kembali fakta sejarah dengan mempertemukan seniman dari generasi yang berbeda-beda. Proyek ini diawali dari program penelitian “Indonesia Across Orders: The Reorganization of Indonesian Society, 1930-1960”, yang dirintis oleh The Netherlands Institute for War Documentation, dengan peserta 13 peneliti dari Universitas Gadjah Mada. Pameran serupa sebelumnya bertempat di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, awal April lalu.
Diskusi "What Editors Do"
Minggu, 5 Agustus 2007, 15.00-18.00 WIB
Pembicara: Cesa David dan Sastha Sunu
Fourmix Audio Post
Jl. Daksa II No. 6 Kebayoran Baru
Telepon: (021) 7227117
Diskusi dengan tema editing ini berangkat dari ide bahwa editing-lah yang menjadikan sebuah film. Pernyataan tersebut diambil dari film dokumenter tentang seni mengedit film, The Cutting Edge: The Magic of Movie Editing (2004). Film Amerika berdurasi 98 menit ini berisi wawancara dengan sejumlah sutradara dan editor ternama di perfilman seperti Steven Spielberg, Quentin Tarantino, Martin Scorsese, James Cameron, dan Walter Murch. Klip dari sekitar 50 film dengan gaya editing yang segar juga dipertontonkan. Dengan sutradara Wendy Apple dan penulis naskah Mark Jonathan Harris, film ini mencakup rentang waktu 100 tahun sejarah film. Film ini mengulas mulai dari teknik dasar hingga teori editing yang diilhami MTV dan The Matrix. Apple misalnya membandingkan antara teknik editing film The Untouchables dan Battleship Potemkin, Triumph of the Will dan Starship Troopers. Apple juga mencermati editing Walter Murch dengan studio berteknologi canggih untuk film Cold Mountain.
Diskusi editing film ini diisi oleh narasumber Cesa David dan Sastha Sunu. Sastha adalah editor film di antaranya Eliana, Eliana (2002), Gie (2005), Long Road to Heaven atau Makna di Balik Tragedi (2007) dan The Photograph (2007). Cesa David juga sebagai editor untuk Long Road to Heaven, film tentang bom Bali 2002 yang berfokus pada tiga sudut pandang, bagaimana masing-masing orang tersebut menemukan kedamaian dalam hidup mereka.
Déjà Vu
Pameran Tunggal Didik Sayahdikumullah
26 Juli - 7 Agustus 2007
Nadi Gallery
Jl. Kembang Indah III blok G3 no. 4-5, Puri Indah, Jakarta
Telepon: (021) 5818129
Situs: www.nadigallery.com
Dikdik Sayahdikumullah—lulusan Fakultas Seni Rupa ITB yang kini mengajar di almamaternya
itu—dalam pameran ini menggambarkan pemandangan dari balik kaca mobil. Ada kalanya gambar
tampak kabur sebab turun hujan, baik siang maupun malam, dan kaca mobil sedang basah. Kadang
di depan mobil yang ditumpangi atau dikendarai "si pemotret" tampak mobil-mobil yang
berhenti di tempat parkir atau di lampu merah, kadang terlihat jalanan lengang dengan padang
kehijauan atau pepohonan dan bangunan. Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani, mengatakan
gambar pada lukisan Dikdik bisa menampilkan lintasan momen-momen yang dialami seseorang
tanpa ada kesempatan berbagi kesendirian dengan orang lain. Ia berpendapat bahwa
Dikdik—yang tahun lalu menjalani program residency di New York—bukan
berusaha menyampaikan kejadian dan situasi dalam gambar secara simbolis, melainkan
mengilaskan perasaan yang terlintas meski tidak jelas. Lukisan-lukisannya itu terlihat
sengaja menunjukkan gambar kenyataan yang tidak pas atau tepat, dengan bias cahaya dan warna
pada permukaan yang menimbulkan sensasi indrawi yang kuat. Kurator lain, Aminudin Th.
Siregar, menulis bahwa ada kesan Dikdik kembali mengulik fotografi dan tampak mengakomodasi
teknik pemburaman Gerhard Richter, perupa Jerman kelahiran tahun 1932 itu. Pameran tunggal
Dikdik (kelahiran Majalengka, 1973) sebelumnya adalah Edited Memories pada tahun
2004.
Lokakarya Koreografi dan Tari oleh Lin Hwai-min
26 Juli – 8 Agustus 2007
ISI Surakarta
Penyelenggara: Yayasan Kelola
Jl. Cikatomas II/33, Jakarta
Telepon: (021) 7399311
http://www.kelolaarts.or.id
[email protected]
Lin Hwai-min adalah penari dan koreografer asal Taiwan yang sudah melanglang ke pelbagai panggung terkemuka di dunia. Ia pernah belajar di studio Martha Graham dan Merce Cunningham, tokoh penari dan koreografer tari modern Amerika, di New York akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Ia menggabungkan gerak opera Cina, balet, tari modern, bahkan tai chi dan bentuk kaligrafi. Pembauran unsur masa lampau dan masa kini, serta Barat dan Timur, menghasilkan karya-karya tari yang inovatif. Dalam sebuah pidato di tahun 2006, Lin bercerita tentang proses pengerjaan Portraits of the Families yang mengambil ide dari album foto keluarga. Karya tersebut mengangkat sejarah gelap Taiwan sewaktu terjadi pembunuhan massal pada tahun 1947. Karya-karya Lin yang lain di antaranya adalah Legacy, Songs of the Wanderers, Moon Water dan trilogi Cursive. Lin mendapat banyak penghargaan, termasuk Lifetime Achievement Award dari Departemen Kebudayaan New York (1996) dan Ramon Magsaysay Award (1999). Ia terpilih sebagai salah satu "Asia’s Heroes" oleh Majalah Time Asia tahun 2005.
Lin Hwai-min mendirikan Cloud Gate Dance Theatre pada 1973, dan kini menjadi direktur artistiknya. Cloud Gate adalah kelompok tari modern pertama di Taiwan dan termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Baru-baru ini pergulatan artistik Lin dan kelompok tarinya itu dijadikan film dokumenter serial oleh Discovery Channel.
Lokakarya ini diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bekerja sama dengan Asian Cultural Council. Peserta yang sudah diseleksi untuk mengikuti kegiatan ini antara lain: Ali Sukri (Padang), Made Tegeh Okta Wahyu Mahery (Bali), Danang Pamungkas (Solo), Ni Kadek Yulia Puspasari (Solo), Sherly Novalinda (Jambi), dan Yola Yulfianti (Jakarta).