Buku

Galigi (2007)

Penulis: Gunawan Maryanto
Tebal: vi + 158 halaman
Penerbit: Koekoesan, Depok
Situs: Informasi di PenerbitKoekoesan.com

Galigi (2007)

Dua belas cerita pendek Gunawan Maryanto dalam kumpulan ini banyak berkisar di dunia persilatan. Dalam sebuah cerita, maupun di antara sejumlah cerita, sering terdapat acuan yang saling berkait. Contohnya "Dua Cerita tentang Boneka Kayu", di mana kedua cerita disampaikan oleh dua sumber kepada "aku". Menurut Budi Darma, cerpen Gunawan Maryanto penuh dengan alusi: ia tak lepas dari teks-teks yang telah ada. Dalam "Seorang Laki-laki yang Mencari Jalan Kematian", ada tokoh Yudistira-nya Pandawa. Sedangkan "Selendang Nawang" melanjutkan cerita bidadari Nawang yang kehilangan selendang dalam cerita rakyat Jaka Tarub.

Beberapa tokoh pun muncul berulang di sejumlah cerpen. Misalnya Khima si perempuan buta yang pandai bermain sitar, Lubdaka, Galigi, dan Wa Mukmuk. Dari satu cerpen ke cerpen lain, hubungan antartokoh dan cerita bagaikan diurai menyerupai bab-bab dalam novel di mana setiap tokoh utama menuturkan cerita masing-masing. Dalam "Khima", ada semacam catatan kaki panjang yang melengkapi cerita utama. Cerita kadang memakai kata "kau" dan "anda" yang merujuk kepada pembaca. Bahkan kadang tersurat permintaan si penutur cerita terhadap pembaca.

Gunawan Maryanto lahir dan menetap di Yogyakarta. Ia bergiat di Teater Garasi sebagai penulis naskah, sutradara, dan aktor. Ia telah menerbitkan lakon Waktu Batu (2004) dan kumpulan cerpen Bon Suwung (2005).

Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)

Penulis: Mardi Luhung
Tebal: xii + 168 halaman
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta

Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)

Buku ini memuat 66 sajak yang ditulis Mardi Luhung antara tahun 1993 dan 2006. Hampir semua sajak di sini memiliki jumlah larik seragam tiap baitnya dan secara visual berkesan rapi. Tetapi sajak-sajak itu memerikan keriuhan dan karut-marut dunia sekitar dengan gaya ucap yang seakan mengikuti dunia itu. Tuturannya cenderung naratif dan banyak juga berisi lompatan imaji. Sering tampak tanda hubung menyambungkan dua atau tiga kata sekaligus.

Sebagai seorang penyair berlatar belakang pesisir, sajak-sajaknya kerap memerikan dunia nelayan dan pelayaran, kota santri penuh tabu yang sekaligus kota industri penuh polusi, juga takhayul, ramalan serta kematian. Dalam puisinya kerap muncul kutipan pertanyaan atau penegasan suara lain. Menurut Mardi Luhung sendiri, warna puisinya terpengaruh komik superhero dari masa kecilnya dan sajak Sutardji Calzoum Bachri yang ia baca di masa awal kuliah.

Hendry Untung Mardi Luhung, yang bernama asli Oei Hendry, lahir di Gresik tahun 1965, dan hingga kini bermukim di sana. Ia lulusan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Beberapa puisi dalam kumpulan Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002) disertakan dalam buku ini. Puisinya telah dimuat di banyak media nasional dan antologi puisi.

The Famished Road (2007)

Penulis: Ben Okri
Penerjemah: Salahuddin
Tebal: 846 halaman
Informasi di IniBuku.com
Informasi di BukuKita.com

The Famished Road (2007)

Ben Okri, kelahiran Nigeria tahun 1959, adalah salah satu penulis terbaik Afrika. Novel ketiga Okri, The Famished Road (yang pertama kali terbit tahun 1991), meraih beberapa penghargaan, termasuk Hadiah Booker. Novel ini mengisahkan seorang anak bernama Azaro yang hidup di dua dunia. Di dunia roh yang tenteram, tempat roh-roh menanti dilahirkan, teman-teman Azaro terus menekannya agar ia kembali ke sana,. Di dunia manusia, ia harus berjuang melawan kelaparan, kemiskinan, bencana alam, dan persoalan duniawi lainnya. Azaro melawan takdirnya untuk mati muda demi kedua orangtua yang mencintainya. Kisah berpindah-pindah dari masa sebelum hingga sesudah kemerdekaan Nigeria, dan sebaliknya. Penuh imaji dan tokoh yang tak terlupakan, novel Okri ini menggabungan pelbagai mitos Afrika dengan teknik narasi abad ke-20, realisme magis.

Penulis ini memang mewarisi dua kebudayaan. Sebelum keluarganya kembali ke Lagos, Nigeria pada 1965, Okri melewati masa kecilnya di London. Ia sempat belajar sastra bandingan di Universitas Essex, Inggris, namun tidak melanjutkannya karena kekurangan biaya. Okri pernah bekerja di BBC sebagai penyiar berita dan di majalah West Africa sebagai editor puisi. Karya-karya Okri banyak dipengaruhi pengalaman langsungnya di Perang Sipil Nigeria (Perang Biafra). Selain menulis novel, Okri juga menulis puisi dan esai. Cerita Azaro terus bersambung dalam novel Okri selanjutnya, Songs of Enchantment (1993) dan Infinite Riches (1998).

Kepada Cium (2007)

Penulis: Joko Pinurbo
Tebal: 44 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kepada Cium (2007)

Tiga puluh tiga puisi Joko Pinurbo (biasa disapa Jokpin) selama tahun 2005-2006 tercakup dalam buku tipis ini. Dengan kalimat pendek dan bahasa sederhana, puisi Jokpin kerap mencuatkan emosi sekaligus ironi di benak pembaca. Benda dan peristiwa yang remeh yang ditampilkannya pun tak jarang menyimpan kejutan. Ia bicara tentang doa sehabis sembahyang, rambut bertutup jilbab, atau tubuh yang kesakitan. Puisi yang tampak bermain-main namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.

Jokpin kerap terlibat dalam acara pembacaan puisi, misalnya Festival Puisi Internasional 2001 di Teater Utan Kayu, Jakarta. Pada Januari 2002, ia mengikuti perhelatan sastra di Belanda dan Jerman, termasuk Festival Sastra Winternachten di Den Haag. Bersama teman-temannya di Yogyakarta, Jokpin menggerakkan Komunitas Senthong Seni Bangun Jiwo. Kegiatan komunitas ini antara lain festival selawat, wayang kampung, ketoprak, dan dongeng anak-anak.

Joko Pinurbo meraih Sih Award 2001 dari Jurnal Puisi dan, di tahun yang sama, Hadiah Sastra Lontar. Pada tahun 2005 ia mendapat Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan puisi Kekasihku (2004). Ia juga menjadi salah satu Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Kumpulan puisinya sebelum Kepada Cium adalah Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Gengam (2003), dan Pacar Senja - Seratus Puisi Pilihan (2005). Puisinya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda.

Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan (2006)

Penulis: Aminuddin TH Siregar dan Enin Supriyanto (Penyunting)
Tebal: xx + 335 halaman
Penerbit: Nalar, Jakarta, bekerja sama dengan ASPI (Asosiasi Pencinta Seni Indonesia)

Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan (2006)

Apa itu seni rupa modern Indonesia? Pertanyaan ini awalnya ingin dibahas oleh Aminuddin TH Siregar, salah satu penyunting, dalam penelitiannya yang menjadi cikal bakal buku ini. Esai-esai yang kebanyakan terbit di surat kabar dan majalah di tahun 1930 sampai akhir 1970-an dikumpulkan di sini. Catatan perkembangan seni rupa modern Indonesia sedikit banyak tampak dari tulisan, antara lain, S. Sudjojono, Trisno Sumardjo, Basuki Resobowo, Soemarno Soetosoendoro, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang.

Esai di buku ini diurutkan bukan secara kronologis melainkan tematis. Ada perdebatan tentang muasal seni lukis modern Indonesia. Mulai dari tahun 1947 ketika J. Hopman mengatakan bahwa seni lukis Indonesia belum ada. Dan ditanggapi oleh S. Sudjojono, pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) secara pedas, dan berlanjut hingga pernyataan Oesman Effendi pada akhir 1960-an. Ada pula perdebatan tentang siapa yang menjadi tonggak seni lukis Indonesia: Raden Saleh ataukah Sudjojono – yang berkait erat dengan kritik atas "Mooi Indie" oleh Sudjojono. Trisno Sumardjo menuliskan keprihatinannya mengenai apresiasi publik terhadap seni rupa modern dan mempersoalkan fungsi sosial seni rupa modern.

Tema lainnya adalah posisi profesi seniman di masyarakat, keahlian teknik akademis dibandingkan spontanitas, pengaruh situasi politik dalam pembabakan sejarah seni rupa kita, serta perbedaan jalan berkembangnya seni rupa Indonesia dengan di Eropa atau Amerika.