Peristiwa

Pidato Kebudayaan 2007 “Spiritualitas dan Kebebasan Berkesenian”

Oleh: D. Zawawi Imron
28 November 2007, 19.30 WIB
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki
Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta
Telepon: (021) 31397325
Situs: www.dkj.or.id

Zawawi ImronSpiritualitas dan kebebasan berkesenian adalah topik Pidato Kebudayaan 2007. D. Zawawi Imron, sastrawan sekaligus ulama dari Batang-batang, Madura, akan membawakan pidato itu. Kata pengantar oleh Marco Kusumawijaya, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mempertanyakan kenapa agama dan seni kerap dipertentangkan. Marco menjelaskan bahwa spiritualitas, pada mula kemunculannya sebelum agama-agama yang kita kenal sekarang, mewujud dalam tindakan manusia sebagai bentuk kesenian—gambar, bunyi, gerak, cerita, maupun arsitektur. Di puncak kejayaan agama-agama samawi pun kesenian dan penghayatan agama berhubungan timbal balik, yang satu merupakan medium ekspresi bagi yang lain. Namun, kini agama kerap dipandang secara sempit dan menjadi sekadar lembaga dan simbol. Di sisi lain, kerumitan kehidupan berkembang dan seni menjalankan kodratnya yang bersifat bebas, mandiri, dan kritis. Pada ujungnya, jika orang berpandangan bahwa agama sudah mencukupi untuk hidupnya, seni akan dikesampingkan. Pengantar Marco ini menegaskan bahwa seni bisa menjadi sumber ilham yang rekonstruktif dan menyiratkan penentangan DKJ terhadap RUU pornografi yang kini masih menjadi perdebatan. Acara ini diadakan oleh DKJ bersama Badan Pengelola Taman Ismail Marzuki (BP-TIM).

Diskusi Documenta 12

Pembicara: FX Harsono
Moderator: Enin Supriyanto
4 Oktober 2007, 19.00 WIB

Foyer GoetheHaus
Jl. Sam Ratulangi No. 9-15, Menteng, Jakarta
Telepon: (021) 235 502 08
Informasi: Katrin: 021-235 50208 ext. 116/ Norma: 021-235 50208 Ext. 131
Email: [email protected] atau [email protected]
http://www.goethe.de/jakarta

DocumentaDocumenta—pameran seni kontemporer termasyhur yang berlangsung 100 hari setiap lima tahun sejak 1955 di kota Kassel di Jerman itu—selalu menarik perhatian dunia seni rupa. Documenta 12, yang berlangsung tahun ini, menampilkan karya 109 seniman (dari 43 negara) dalam beragam media. Ada, misalnya, kaligrafi Islam abad ke-16, kain bordir Asia Tengah, di samping karya rupa modern dan kontemporer dari berbagai benua. Salah satu karya yang menarik perhatian pengunjung adalah karya instalasi seniman Beijing Ai Weiwei, yang terdiri dari pintu-pintu gerbang zaman dinasti Ming dan Qing.

Karya-karya seni di acara yang baru saja berakhir 23 September lalu itu ditempatkan sedemikian rupa sehingga saling berhubungan. Tetapi karya seorang seniman juga dapat dipajang di beberapa lokasi sehingga pengunjung bisa menemui karya seniman yang sama dalam konteks yang beragam. Nama para seniman di acara ini, menurut Holland Cotter di New York Times, banyak yang baru atau kurang terkenal; meski tercantum juga nama-nama seperti Gerhard Richter, Agnes Martin, dan John McCracken. Cotter berpendapat Documenta 12 mengajak kita memikirkan kematian, usangnya modernitas dan bagaimana menjalani hidup yang etis lewat seni. FX Harsono, seniman dan kurator Indonesia yang menyaksikan pameran Documenta 12 atas undangan Goethe-Institut, akan berbagi pengalaman dan pengamatannya selama menghadiri perhelatan seni tersebut.

Pameran Tunggal Abdi Setiawan “The flâneur

27 September – 8 Oktober 2007
Nadi Gallery
Jalan Kembang Indah III, Puri Indah, Jakarta
Telepon: (021) 581 8129
Email: [email protected]
http://www.nadigallery.com

The Flaneur: Tatto ManSebutan flâneur (pejalan kaki) mungkin bisa disematkan pada Abdi Setiawan di pameran tunggalnya kali ini. Jika dalam buku Walter Benjamin, The Arcades Project, sang flâneur memperhatikan etalase pertokoan mewah sepanjang arcade, seniman flâneur yang biasa dipanggil Zet ini mengamati orang-orang di suatu sudut kota—percakapan, gerak-gerik, dan gaya mereka. Contohnya, dengan latar rumah bordil, Zet menghadirkan patung-patung seperti Tattoo Man, Tanktop Putih, Belaian Malam dari bahan kayu jati, fiberglass atau aluminium. Sedangkan pada latar terminal bus atau stasiun kereta api, ada Pendatang Baru, Mudik, dan Melepas Lelah. Patung-patung bergaya realis karya seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini dibuat seukuran manusia. Kurator pameran, Enin Supriyanto, berpendapat bahwa Zet menambahkan tafsir dan penilaian pribadinya ke dalam berbagai data rekaman fisiognomis tokoh-tokohnya. Dalam pameran ini ia mengelompokkan sejumlah patung untuk lebih menghidupkan karakter masing-masing tokoh yang ia tampilkan. Tokoh-tokoh itu jadi hadir dalam suasana di jalan-jalan kota saat beberapa orang seperti sedang berinteraksi. Interaksi langsung juga merupakan pendekatan Zet ketika terjun langsung ke suasana sasarannya. Ia berkenalan dengan orang-orang di lingkungan itu sebagai usaha menangkap cara pandang dan persoalan kehidupan mereka. Sebelumnya, pameran tunggal finalis Philip Morris Art Award ini yaitu “Gairah Malam” di Pusat Kebudayaan Prancis, Yogyakarta pada 2004.

Pendatang Baru

Pameran Instalasi Titarubi “Herstory”

19 September – 14 Oktober 2007
Bentara Budaya Jakarta
Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta
Telepon: (021) 549 0666
www.bentarabudaya.com

Titarubi“The personal is political.” Kalimat itu sering kita dengar dalam konteks feminisme. Dalam hal pameran ini, menurut kurator Alia Swastika, Titarubi mengolah wacana tentang tubuh, mewujudkan pengalamannya atas tubuh perempuan—sesuatu yang sangat pribadi—sebagai metafor dan pemaknaan baru atas pengalaman tersebut. Coba lihat Lindungi Aku dari Keinginanmu, tiga torso perempuan dengan rahim yang menampakkan janin dipasang di dinding. Tempelan-tempelan kamper di dinding tersebut bersinar karena pantulan lampu ultraviolet, yang mungkin melambangkan banyak kepentingan lain atas situasi biologis perempuan. Lainnya, Vagina Brocade—yang dipakai dalam film Garin Nugroho, Opera Jawa—diilhami cerita pembakaran Sita dalam kisah Ramayana, seperti menegaskan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri, spiritualitas, dan konstruksi tentang kesetiaan.

TitarubiBanyak yang mengatakan bahwa medium keramik adalah mediumnya perempuan, tetapi kini, di tengah masyarakat kontemporer, tidak ada medium tertentu yang identik dengan satu jender. Pada pameran “Herstory” ini Tita, yang memang banyak memakai bahan keramik, justru bermain-main dengan femininitas, termasuk menyandingkannya dengan maskulinitas. Ini bisa dilihat di beberapa karya Tita yang berangkat dari gejala sosial politik. Sebagai contoh: Kisah Tanpa Narasi #2 yang berbentuk potongan tubuh yang berhimpitan, bertumpukan dalam semacam lori keranjang di atas rel. Atau The Silent Sound of War, yang menampilkan deretan patung dengan kedua tangan terentang.

Diskusi novel Snow karya Orhan Pamuk

Rabu, 26 September 2007, 18.00 WIB
Jl. Irian No. 8, Menteng, Jakarta
(021) 319 09226
http://www.freedom-institute.org

Novel SnowKa, seorang penyair paruh-baya yang menjalani eksil politik selama 12 tahun di Frankfurt, kembali ke Turki dan menuju kota di dekat perbatasan Armenia, Kars (dalam bahasa Turki, kar berarti salju). Saat itu terjadi badai salju hebat. Ia mengaku sebagai jurnalis yang tertarik melaporkan tentang serentetan aksi bunuh diri sejumlah perempuan muda karena sekolah mereka melarang memakai jilbab. Ka menjalin hubungan dengan Ipek, perempuan yang ia kenal dan kagumi semasa muda dan baru bercerai. Mantan suami Ipek adalah teman Ka yang kini menjadi seorang politisi Islamis.

Perubahan nasib, alur bolak-balik, masalah jati diri, protagonis yang terasing adalah kekhasan Pamuk—demikian kata Margaret Atwood. Dalam novel ini, Orhan Pamuk (penerima Hadiah Nobel Sastra 2006) bercerita tentang sebuah Turki masa kini melalui sejenis realisme yang liris. Fokusnya adalah konflik antara kekuatan Westernisasi dan Islam dengan latar tahun 1990-an. Pamuk sendiri menyebut Snow, yang pertama kali terbit dalam bahasa Turki pada tahun 2002 ini, sebagai “novel politik pertama dan terakhir yang saya buat.”

Diskusi tentang novel Snow—salah satu dari rangkaian agenda diskusi Freedom Institute selama bulan Ramadan tahun ini—akan membahas pelbagai segi bentuk dan isi karya kontroversial tersebut, dengan narasumber Ayu Utami, sastrawan, penulis novel Saman; dan Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina.

Pameran Seni Rupa “Küsse” (Kisses)

Nuttenkinder (Manuel Heischel dan Marc Jung)
4-27 September 2007
Cemara 6 Galeri
Jl. HOS Cokroaminoto 9-11, Menteng, Jakarta
Telepon: (021) 391 1823
http://cemara6galeri.wordpress.com

Pameran Seni Rupa KüssePerasaan bahagia bercampur kehilangan adalah sensasi yang mungkin muncul ketika orang berciuman. Momen yang sejenak dan genting itu ingin dicapai Marc Jung—kini sedang menempuh pendidikan di Weimar, Jerman—dengan memindai wajahnya sendiri. Teknik yang digunakan, “Scannogramme”, adalah sebuah proses mengolah gambar dengan pemindai (scanner) komputer. Nuttenkinder, beranggotakan dua orang Jerman Manuel Heischel dan Marc Jung, menerapkan teknik ini untuk merekam momen berciuman tersebut dengan memindai ketika kepala Jung membentur permukaan pemindai. Hasilnya: enam foto berlatar hitam, masing-masing dengan sebuah kilatan merah-oranye membujur. Sedangkan “Tier”, karya ke-2 kelompok yang didirikan di kota Erfurt, Jerman, tahun 2006 ini, adalah video yang menampilkan sejenis binatang di tengah hamparan sawah menguning. Gambar kartun binatang ini menyerupai sapi dengan tanda silang wajah. Karya terakhir, “V Maenchen” berupa potongan-potongan boneka yang disebar di lantai. Bagian-bagian tubuh berwarna hitam ini dimaksudkan untuk melambangkan proses perkembangan cara pikir saat kita tumbuh dewasa.

Pameran “Masa Lalu - Masa Lupa”

10 Agustus – 7 September 2007
Erasmus Huis
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3
Kuningan, Jakarta
Telepon: (021) 524 1069

Masa Lalu - Masa LupaEnam seniman asal Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta menafsirkan sejarah Indonesia tahun 1930-1960. Mereka adalah Agus Suwage, Eko Nugroho, Wimo Ambala Bayang, Yuli Prayitno, Prilla Tania, dan Irwan Ahmett. Lihatlah, misalnya, karya Irwan Ahmett: delapan poster rumah makan di Cirebon yang didirikan tahun 1932. Foto-foto memperlihatkan bangunan lama, dapur kusam, dan tumpukan kursi usang. Yuli Prayitno menyodorkan karyanya “Before & After the Old” yang berupa dua tangan kanan kekar—yang satu berukir tulisan dan yang lain berwarna pucat dengan juntaian rambut panjang dari satu sisinya. Salah satu karya Wimo adalah tiga foto laki-laki paruh baya di depan gedung pertokoan Sarinah di Malang. Sedangkan “Story of a Dark Eater” oleh Eko Nugroho adalah instalasi bentuk-bentuk mahkota yang seragam namun beberapa di antaranya patah. Di hadapannya, binatang mamalia berkaki empat berkepala capit kalajengking dan semburan. Semuanya berwarna hitam.

Pameran ini adalah bagian dari proyek Rumah Seni Cemeti yang bertujuan membaca kembali fakta sejarah dengan mempertemukan seniman dari generasi yang berbeda-beda. Proyek ini diawali dari program penelitian “Indonesia Across Orders: The Reorganization of Indonesian Society, 1930-1960”, yang dirintis oleh The Netherlands Institute for War Documentation, dengan peserta 13 peneliti dari Universitas Gadjah Mada. Pameran serupa sebelumnya bertempat di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, awal April lalu.

Diskusi "What Editors Do"

Pembicara: Cesa David dan Sastha Sunu
Minggu, 5 Agustus 2007, 15.00-18.00 WIB
Fourmix Audio Post
Jl. Daksa II No. 6 Kebayoran Baru
Telepon: (021) 7227117

What Editors Do Diskusi dengan tema editing ini berangkat dari ide bahwa editing-lah yang menjadikan sebuah film. Pernyataan tersebut diambil dari film dokumenter tentang seni mengedit film, The Cutting Edge: The Magic of Movie Editing (2004). Film Amerika berdurasi 98 menit ini berisi wawancara dengan sejumlah sutradara dan editor ternama di perfilman seperti Steven Spielberg, Quentin Tarantino, Martin Scorsese, James Cameron, dan Walter Murch. Klip dari sekitar 50 film dengan gaya editing yang segar juga dipertontonkan. Dengan sutradara Wendy Apple dan penulis naskah Mark Jonathan Harris, film ini mencakup rentang waktu 100 tahun sejarah film. Film ini mengulas mulai dari teknik dasar hingga teori editing yang diilhami MTV dan The Matrix. Apple misalnya membandingkan antara teknik editing film The Untouchables dan Battleship Potemkin, Triumph of the Will dan Starship Troopers. Apple juga mencermati editing Walter Murch dengan studio berteknologi canggih untuk film Cold Mountain.

Diskusi editing film ini diisi oleh narasumber Cesa David dan Sastha Sunu. Sastha adalah editor film di antaranya Eliana, Eliana (2002), Gie (2005), Long Road to Heaven atau Makna di Balik Tragedi (2007) dan The Photograph (2007). Cesa David juga sebagai editor untuk Long Road to Heaven, film tentang bom Bali 2002 yang berfokus pada tiga sudut pandang, bagaimana masing-masing orang tersebut menemukan kedamaian dalam hidup mereka.

Déjà Vu

Pameran Tunggal Didik Sayahdikumullah
26 Juli - 7 Agustus 2007
Nadi Gallery
Jl. Kembang Indah III blok G3 no. 4-5, Puri Indah, Jakarta
Telepon: (021) 5818129
www.nadigallery.com

Lin Hwai-minDikdik Sayahdikumullah—lulusan Fakultas Seni Rupa ITB yang kini mengajar di almamaternya itu—dalam pameran ini menggambarkan pemandangan dari balik kaca mobil. Ada kalanya gambar tampak kabur sebab turun hujan, baik siang maupun malam, dan kaca mobil sedang basah. Kadang di depan mobil yang ditumpangi atau dikendarai "si pemotret" tampak mobil-mobil yang berhenti di tempat parkir atau di lampu merah, kadang terlihat jalanan lengang dengan padang kehijauan atau pepohonan dan bangunan. Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani, mengatakan gambar pada lukisan Dikdik bisa menampilkan lintasan momen-momen yang dialami seseorang tanpa ada kesempatan berbagi kesendirian dengan orang lain. Ia berpendapat bahwa Dikdik—yang tahun lalu menjalani program residency di New York—bukan berusaha menyampaikan kejadian dan situasi dalam gambar secara simbolis, melainkan mengilaskan perasaan yang terlintas meski tidak jelas. Lukisan-lukisannya itu terlihat sengaja menunjukkan gambar kenyataan yang tidak pas atau tepat, dengan bias cahaya dan warna pada permukaan yang menimbulkan sensasi indrawi yang kuat. Kurator lain, Aminudin Th. Siregar, menulis bahwa ada kesan Dikdik kembali mengulik fotografi dan tampak mengakomodasi teknik pemburaman Gerhard Richter, perupa Jerman kelahiran tahun 1932 itu. Pameran tunggal Dikdik (kelahiran Majalengka, 1973) sebelumnya adalah Edited Memories pada tahun 2004.
Didik Freak & Break

Lokakarya Koreografi dan Tari oleh Lin Hwai-min

26 Juli – 8 Agustus 2007
ISI Surakarta
Penyelenggara: Yayasan Kelola
Jl. Cikatomas II/33, Jakarta
Telepon: (021) 7399311
http://www.kelolaarts.or.id
[email protected]

Lin Hwai-minLin Hwai-min adalah penari dan koreografer asal Taiwan yang sudah melanglang ke pelbagai panggung terkemuka di dunia. Ia pernah belajar di studio Martha Graham dan Merce Cunningham, tokoh penari dan koreografer tari modern Amerika, di New York akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Ia menggabungkan gerak opera Cina, balet, tari modern, bahkan tai chi dan bentuk kaligrafi. Pembauran unsur masa lampau dan masa kini, serta Barat dan Timur, menghasilkan karya-karya tari yang inovatif. Dalam sebuah pidato di tahun 2006, Lin bercerita tentang proses pengerjaan Portraits of the Families yang mengambil ide dari album foto keluarga. Karya tersebut mengangkat sejarah gelap Taiwan sewaktu terjadi pembunuhan massal pada tahun 1947. Karya-karya Lin yang lain di antaranya adalah Legacy, Songs of the Wanderers, Moon Water dan trilogi Cursive. Lin mendapat banyak penghargaan, termasuk Lifetime Achievement Award dari Departemen Kebudayaan New York (1996) dan Ramon Magsaysay Award (1999). Ia terpilih sebagai salah satu "Asia’s Heroes" oleh Majalah Time Asia tahun 2005.

Lin Hwai-min mendirikan Cloud Gate Dance Theatre pada 1973, dan kini menjadi direktur artistiknya. Cloud Gate adalah kelompok tari modern pertama di Taiwan dan termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Baru-baru ini pergulatan artistik Lin dan kelompok tarinya itu dijadikan film dokumenter serial oleh Discovery Channel.

Lokakarya ini diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bekerja sama dengan Asian Cultural Council. Peserta yang sudah diseleksi untuk mengikuti kegiatan ini antara lain: Ali Sukri (Padang), Made Tegeh Okta Wahyu Mahery (Bali), Danang Pamungkas (Solo), Ni Kadek Yulia Puspasari (Solo), Sherly Novalinda (Jambi), dan Yola Yulfianti (Jakarta).

Festival Kesenian Yogyakarta XIX 2007

7 Juni - 27 Agustus 2007
Telepon: (0274) 587 712
Kompleks Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sriwedani No. 1, Yogyakarta

Festival Kesenian YogyakartaYogyakarta, kota yang mulai menggeliat lagi setelah diguncang gempa bumi, menggelar Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang ke-19. Dengan melibatkan sekitar 2500 seniman Indonesia dan luar negeri, FKY tahun ini bertemakan "Anak Muda dan Keberagaman".

FKY dibuka antara lain dengan pawai dan tari di Monumen Serangan Oemoem Satu Maret (9/6). Selain pusatnya di pasar seni, Benteng Vredeburg, acara juga bertempat di Jl. Jend. Ahmad Yani, Studio Banjarmili, bekas gedung ASRI, hingga pantai Parangkusumo, Bantul. Berbagai cabang kesenian mendapat tempat. Dalam bidang sastra ada acara bedah novel, lomba puisi, musikalisasi puisi, diskusi proses kreatif, dan baca dongeng. Ada juga pemutaran film dokumenter, pertunjukan wayang; musik, tari, pameran seni visual, peragaan busana, festival layang-layang, sampai lomba "Waria on Stage". FKY pun melibatkan anak-anak korban gempa.

Agenda yang cukup menarik misalnya pameran seni rupa bertajuk Shout Out di Taman Budaya Yogyakarta pada 22 Juni hingga 2 Juli. Kurator Kuss Indarto dan ko-kurator Arie Diyanto menampilkan 36 seniman dan kelompok kesenian Yogyakarta, Jakarta, Solo, Magelang dan Wonogiri di Taman Budaya Yogyakarta. Street art, busana, lukisan, instalasi, dan sound art. Shout Out juga menampilkan copy karya para eksponen Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Peristiwa Sebelumnya

ScreenDocs!

Pemutaran & Diskusi Film Dokumenter
Kine Forum, Studio 1 Studio 21 TIM
8-14 Juni 2007
Telp: (021) 3162780
www.layarperak.com/kineforumdkj.php
[email protected]

ScreenDocs! Death in JakartaScreenDocs!, agenda bulanan In-Docs (Indonesian Documentary), bekerja sama dengan Kine Forum Taman Ismail Marzuki akan memutar film dokumenter Indonesia berjudul The First Step dan Death in Jakarta. The First Step karya Aryo Danusiri menceritakan tentang konflik antarsuku Madura dan Melayu di Sambas, Kalimantan Barat tahun 1999. Bagi kebanyakan migran di sana, konflik tersebut sangat traumatis. Namun beberapa perempuan Madura mulai menjajaki lagi hubungan dengan orang-orang Melayu.

Death in Jakarta, pemenang Kompetisi Naskah kategori Dokumenter Pendek pada Jakarta International Fil Festival 2005, mengangkat tema mengurus kematian yang merepotkan dan mahal di Jakarta. Film berdurasi 28 menit ini disutradarai Ucu Agustin

Diskusi dengan tema "Bedah Film" pada 13 Juni 2007, pkl.17.30 WIB di tempat yang sama, akan menghadirkan pembicara Ucu Agustin (sutradara film Death in Jakarta) dengan moderator Yos Rizal (Redaktur bidang seni Majalah TEMPO).

Kegiatan lain In-Docs, organisasi nirlaba di bawah naungan Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia, yang juga tengah berlangsung termasuk pelatihan film.

Seratus Menit

(Monolog Putu Wijaya dan Teater Mandiri)
27 dan 28 Juni 2007 pukul 20.00 WIB
Gedung Kesenian Jakarta
Jl. Gedung Kesenian No.1
Jakarta
Telepon: (021) 3808283
www.gedungkesenianjakarta.com
[email protected]

Seratus Menit - Putu WijayaSeratus Menit adalah judul lakon sekaligus durasi monolog yang akan dibawakan aktor kawakan Putu Wijaya. Dalam durasi yang cukup panjang ini, Putu akan berbicara tanpa jeda tentang sengkarut hidup manusiaâ€"dengan gayanya yang spontan, mengejutkan, dan jenaka. Bahan monolog ini diambil dari beberapa cerpen Putu. Misalnya tentang setan yang mau meningkatkan akhlaknya, atau kemerdekaan yang malah bisa menghadirkan bencana.

Putu Wijaya, yang dikenal sebagai "peneror mental", akan kembali membawakan gaya teaternya yang kerap mengaduk emosi penonton. Aktor dan sutradara berusia 63 tahun ini akan menampilkan kepiawaiannya menjelmakan properti panggung menjadi hal-hal yang tak terduga: pecut menjadi tubuh setan yang terkulai, handuk menjadi kelamin laki-laki, atau bayangan tangan menjadi jutaan perkutut yang beterbangan.

Monolog ini telah dimainkan di Universitas Indonesia dan Universitas Parahyangan, dan akan diteruskan ke Universitas Petra Surabaya serta Institut Pertanian Bogor.

Seratus Menit - Putu Wijaya

Festival Seni Surabaya

1-15 Juni 2007
Kompleks Balai Pemuda
Jl. Gubernur Suryo 15, Surabaya
Telepon: (031) 5474704
www.surabayaartsfestival.org

Festival Seni Surabaya, Slamet GundonoFestival Seni Surabaya (FSS) yang digelar setiap tahun semula bertujuan memaknai ritual Hari Jadi Surabaya, tetapi kini kian memantapkan diri sebagai salah satu arena penting bagi unjuk cipta seniman Indonesia dan mancanegara. Memasang tema "Peradaban Baru", FSS yang ke-10 tahun ini menampilkan seni pertunjukan, seni rupa, film, dan sastra karya seniman dari dalam dan luar negeri. Dari dunia seni pertunjukan akan tampil antara lain Slamet Gundono, teater boneka Prancis "Cie C'Koi Ce Cirk", Teater Populer dan Teater Mandiri, Sujiwo Tejo, musik topologi dari Australia, kelompok tari Gangsadewa dari Yogyakarta, serta Neerja Srivastava dari India. FSS tahun ini juga menjadi ajang pameran seni rupa kontemporer, selain menggelar pameran lukisan, pemutaran film dan video, termasuk film-film indie pilihan. Akan ada pula peluncuran buku kumpulan puisi sejumlah penyair Jawa Timur dan provinsi lain.

Pembacaan Sastra & Diskusi Bersama Hans-Ulrich Treichel

6 Juni 2007, 19.30 WIB
Goethe-Institut Jakarta
Jl. Sam Ratulangi 9-15, Menteng
Jakarta Pusat
www.goethe.de/jakarta

Hans-Ulrich TreichelHans-Ulrich Treichel mulai mendapat nama setelah terbit novel pertamanya, Der Verlorene (1998), yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Lost. Dengan latar akhir Perang Dunia II, novel biografis itu menceritakan seorang anak yang kehilangan kakak laki-lakinya saat orangtuanya melarikan diri dari Eropa Timur, tetapi kemudian merasa terancam setelah kakak yang dikiranya telah mati itu ditemukan. Bertemakan rasa bersalah yang diwariskan ke generasi pasca-perang, karya Treichel itu menjadi salah satu bacaan wajib di sekolah Jerman.

Setelah menerbitkan beberapa kumpulan puisi dan libreto, Treichel menulis novel Menschenflug (2005), yang bisa dibilang lanjutan Der Verlorene. Saat tokoh Hans-Stephan menginjak masa krisis paruh baya, kisah masa lalu dirinya yang kehilangan seorang kakak membuat sang tokoh akhirnya meninggalkan pekerjaan yang dia senangi.

Treichel adalah seorang dosen penulisan kreatif di Institut Sastra Jerman Leipzig (Das Deutsches Literaturinstitut Leipzig), lembaga pendidikan penulisan berbahasa Jerman yang telah menghasilkan banyak penulis baru yang cemerlang. Di Jakarta, peraih Hadiah Hermann Hesse tahun 2005 ini akan membacakan penggalan novelnya (disertai terjemahan bahasa Indonesia). Acara dilanjutkan dengan diskusi tentang motif-motif dalam karyanya, kegiatan dia sebagai seorang dosen penulisan kreatif, juga tentang sastra Jerman serta kesusastraan pada umumnya.

9.81

13 Juni 2007, 20.00 WIB
Amphiteater Erasmus Huis
Jl. H. R. Rasuna Said Kav. S-3
Kuningan, Jakarta Selatan
Telepon: (021) 5241069
Pertunjukan gratis.
Tiket dapat diambil di CCF Salemba &Jl. Wijaya
www.9-81.com
www.scenesdecirque.org

9.81Sesosok hibrida melejit dalam badai yang datang tiba-tiba, menjelma seekor burung yang melata atau cacing yang terbang. Tanpa beban, ia terus memanjat. "9.81" adalah sebuah karya tentang realitas lain, di mana sebuah perpindahan dapat mengandung arti yang berbeda, di mana batas antara bumi dan langit terhapus, di mana sebuah gerak mengandung makna yang dalam. Menggabungkan seni akrobat, seni tari, manipulasi obyek serta gambar digital, Eric Lecomte mempersembahkan sebuah pertunjukan menakjubkan. Ia pun menjadi seorang petualang yang bermain-main melawan gaya tarik bumi. Eric Lecomte adalah pemain sirkus sejak berumur 15 tahun, sedangkan Odile Gheysens seorang penari dan pemain akrobat udara. Tergerak oleh gairah mencipta bersama, Eric dan Odile rutin berkolaborasi.

Kursus Jurnalisme Sastrawi (Angkatan XII)

Jakarta, 18-29 Juni 2007
Pantau
Jl. Raya Kebayoran Lama No. 18 CD, Jakarta 12220
Telepon: (021) 7221031/7221044 ext. 400
Fax: (021) 7221055
Ponsel: 0815 41009682
Email: [email protected]
www.pantau.or.id

Janet SteeleJurnalisme sastrawi atau literary journalism, yang dipelopori Tom Wolfe di Amerika Serikat lewat bukunya The New Journalism (1973), mulai memperoleh tempat di Indonesia. Kursus jurnalisme sastrawi, yang diadakan oleh Yayasan Pantau, ini bermaksud melatih orang menulis reportase naratif yang menarik tanpa mengabaikan prinsip jurnalistik seperti data yang memadai ataupun ulasan yang tajam.

Instruktur kursus ini adalah dua orang wartawan yang sudah tak asing lagi di kalangan jurnalisme di Indonesia. Janet Steele, pengajar jurnalisme naratif di George Washington University yang juga penulis buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia, akan membawakan materi bersama Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau yang pernah bekerja di sejumlah media internasional.

Kursus ini ditujukan untuk orang yang biasa menulis untuk media dan berpengalaman minimal lima tahun. Sejak pertama dimulai tahun 2001, kursus ini telah diikuti oleh wartawan pelbagai media terkemuka di Indonesia, termasuk perwakilan media luar negeri seperti The Washington Post dan Businessweek.

Selama dua minggu peserta harus membaca, meliput, dan menulis pekerjaan rumah. Materi diskusi termasuk buku, esai, dan cerita pendek berbahasa Inggris dan Indonesia. Diskusi juga membahas antara lain liputan tentang sengketa agama, etnik, ideologi, dan nasionalisme di Indonesia dan Timor Lorosae.

Cipoa oleh Teater Mandiri

Naskah/Arahan: Putu Wijaya
22-23 Juni 2007, 20.00 WIB
Graha Bhakti Budaya TIM
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta Pusat
www.tamanismailmarzuki.com

Cipoa Teater MandiriAlkisah, rakyat suatu kerajaan diminta menggali sebidang tanah yang diduga menyimpan harta karun. Segera timbul kekacauan berbuntut panjang. Lakon ini tentang masyarakat di mana berbohong sudah berakar dan sulit dihilangkan. Mampukah seseorang yang sudah terbiasa melakukan kecurangan kembali hidup sebagai manusia yang jujur, ikhlas, penuh cinta?

Cipoa. Inilah karya mutakhir Teater Mandiri, "peneror mental" yang gemar mengocok dan menjungkirkan hal-hal yang sudah dianggap baku dan lazimâ€"dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang seraya memain-mainkan logika dan emosi.

Sejak berdiri pada tahun 1971, Teater Mandiri telah mementaskan puluhan naskah dengan arahan Putu Wijaya. Dalam pertunjukan ini, Putu akan bermain bersama Rieke Dyah Pitaloka, Yanto Kribo, Ucok Hutagaol, Alung Seroja, Arswendi Nasution, Fien Herman, Bei, Bung Kardi, Chandra, Rino, Agung Wibisana, Kleng Sanjaya, Dyas Istana, dan Umbu LP Tangela. Cipoa juga akan ditampilkan sebagai acara penutupan Festival Seni Surabaya pada 15 Juni.

Hujan Bulan Juni
(rangkaian kegiatan sastra)

22-23 Juni 2007
Amphitheater dan Bale Handap, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
www.selasarsunaryo.com

Pramoedya Ananta ToerMerayakan hari jadinya yang ke-20, Yayasan Lontar (bekerja sama dengan Selasar Sunaryo Art Space) akan mengadakan serangkaian acara berupa pembacaan puisi, diskusi, dan pertunjukan musik. Acara akan menghadirkan penulis Dewi "Dee" Lestari, dramawan Putu Wijaya, dan grup musik Dua Ibu. Acara ini sekaligus menjadi ajang peluncuran seri film dokumenter "On the Record" produksi Yayasan Lontar tentang beberapa tokoh sastra Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Ramadhan K.H., Sitor Situmorang, H.B. Jassin, dan Selasih.

Yayasan Lontar adalah organisasi nirlaba yang berkantor di Jakarta. Organisasi ini didirikan pada tahun 1987 oleh Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, dan John H. McGlynn. Yayasan ini telah banyak menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menerbitkan sejumlah karya sastra Indonesia untuk pengajaran sastra dan budaya Indonesia di luar negeri.

Ensambel "La Scala di Seta"

1 Juni 2007, 19.00 WIB
Balai Adika Ballroom, Hotel Majapahit, Surabaya
2 Juni 2007, 20.00 WIT
Kharisma Ballroom, Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali
Telepon: (021) 3927531 (Dina)

Mimma Briganti (La Scala di Seta)Memperingati Hari Nasional Italia tanggal 2 Juni, Istituto Italiano di Cultura bekerja sama dengan Nusantara Symphony Orchestra and The World Food Programme mempersembahkan ensambel terkemuka Italia "La Scala di Seta", yang beranggotakan empat penyanyi opera dan enam musisi: Mimma Briganti (soprano), Alessandra Palomba (mezzo-soprano), Maurizio Comencini (tenor), Carlo Morini (baritone), Silvio Presso (violin), Gabriele Zanardi (violoncello), Nicola Zuccalà (klarinet), Roberto De Angelis (flute), Andrea Dieci dan Antonello Ghidoni (gitar). Berpengalaman di tingkat internasional, beberapa di antara mereka menjadi bagian dari Teatro alla Scala’s Orchestra di Milan dan anggota CIMER Instrumental Group (Pusat Pendidikan dan Penelitian Musik Italia). Mereka melakukan penelitian bersama dan memberikan rekomendasi untuk memajukan repertoar opera kamar. Pertunjukan ini juga ditampilkan di Jakarta di Gedung PPHUI, Kuningan pada tanggal 31 Mei.