Buku

Inner Workings: Literary Essays 2000-2005

Penulis: J. M. Coetzee
Tebal: 304 halaman
Penerbit: Viking

Kalatidha

Dalam buku ini, Coetzee membahas sastrawan dari akhir abad ke-19 hingga masa kini. William Faulkner, Robert Musil, Guenther Grass, Gabriel García Márquez, Samuel Beckett, Nadine Gordimer, dan V.S. Naipaul—untuk sekadar menyebut beberapa nama. Elizabeth Lowry di Times Literary Supplement menulis bahwa Coetzee—pemenang Hadiah Nobel Sastra 2003 itu—selalu peka terhadap bentuk sebagai sesuatu yang penting dalam sastra, sebagaimana tercermin dalam karya fiksinya sendiri. Coetzee pun cermat dalam menelusuri pengaruh seorang penulis terhadap penulis lain. Ia mengamati, misalnya, pengaruh Nietzsche dalam prosa Robert Musil, atau Jonathan Swift dalam prosa Beckett.

Dalam esai pembuka, tentang Italo Svevo pengarang novel The Confessions of Zeno (1923), Coetzee mula-mula melihat latar belakang pengarang itu: anak pedagang Yahudi yang menjadi kaum borjuis. Ia lalu mengupas berbagai pengaruh intelektual yang diterima Svevo, hubungannya dengan James Joyce (yang mengajarinya bahasa Inggris), penafsiran ulangnya terhadap psikoanalisis Freud, dan pergulatannya dengan teori evolusi Darwin. Lebih jauh, Coetzee juga memikirkan alasan Svevo menulis dalam dialek Trieste daripada bahasa Italia.

Kebanyakan esai yang terangkum dalam kumpulan ini pernah muncul di New York Review of Books. Coetzee, yang pernah menjadi dosen di State University of New York dan University of Cape Town itu, kini bermukim di Adelaide, Australia.

A Tranquil Star: Unpublished Stories (2007)

Penulis: Primo Levi
Penerjemah ke bahasa Inggris: Anne Goldstein dan Alessandra Bastagli
Tebal: 176 halaman
Penerbit: W. W. Norton, London
Data di Amazon.com

Kalatidha

Primo Levi adalah penulis esai, puisi, novel, dan memoar Se questo è un uomo (1947) yang diterjemahkan menjadi Survival in Auschwitz (1959). Setelah 10 bulan terkurung di kamp konsentrasi Auschwitz, orang Yahudi Italia ini kemudian lama bekerja sebagai ahli kimia sebelum memutuskan menjadi penulis sepenuhnya. Dalam masa gelap sebagai tawanan kamp itu banyak teman Levi meyakini ia telah bunuh diri. Namun, justru Auschwitz-lah yang menjadikan ia penulis, aku Levi dalam memoarnya. Bukan saja karena tuntutan moral, tetapi juga kebutuhan psikologis. Novelis Anita Desai menulis bahwa Levi sungguh yakin—sebagaimana tergambar dalam tiap cerita dan tokoh yang diciptakannya—bahwa ia dan generasinya hidup di masa ketika kemanusiaan berada dalam keadaan mandek atau bahkan mundur.

A Tranquil Star adalah kumpulan 17 cerita Primo Levi (1919-1987) yang diterbitkan di Italia antara 1949-1986 dan pertama kali diterjemahkan ke bahasa Inggris untuk memperingati 20 tahun meninggalnya sang penulis. Di buku ini, pesimisme Levi akan kemanusiaan bisa dilihat dalam cerpen "Gladiators", yang menuturkan pertarungan antara manusia dan mobil. Atau "Knall", yang memerikan benda bundar kecil yang dipakai sebagai aksesoris, dijual umum, tetapi bisa digunakan sebagai senjata canggih. Cerpen yang menjadi judul buku, "A Tranquil Star", berkisah tentang seorang astronom yang risau akan kemungkinan meledaknya sebuah bintang yang dapat meluluhlantakkan planet yang dihuninya. Gaya prosa Levi adalah semacam perpaduan antara fiksi ilmiah dan kesuraman cerita Kafka.

Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik (2007)

Penerjemah: Zhou Fuyuan
Tebal: xl + 367 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Data di IniBuku.com

Kalatidha

Tiongkok mendapat julukan "negeri puisi" berkat karya puisi klasiknya yang melimpah selama ribuan tahun. Dalam kata pengantar buku ini, Prof. Dr. Leo Suryadinata menyebutkan bahwa puisi klasik Tiongkok mencapai kejayaannya pada Dinasti Tang (618-907 M) dan Song (960-1279 M), jauh lebih awal dari masa kejayaan prosanya. Ia juga membahas situasi politik yang memengaruhi gairah penerjemahan sastra Tiongkok. Yang tak kurang menarik, Leo pun membandingkan beberapa versi terjemahan puisi Tiongkok klasik dalam bahasa Indonesia, yang kebanyakan berdasarkan versi Inggris, dengan terjemahan Zhou Fuyuan yang langsung dari bahasa Tionghoa. Hasilnya, menurut Leo, terjemahan Zhou sering kali lebih ringkas, dengan gaya bahasa lebih tepat, dan pemilihan kata lebih beragam.

Memuat 560 puisi (dan menyertakan teks dalam bahasa aslinya), Purnama di Bukit Langit adalah antologi puisi Tiongkok klasik yang mungkin paling lengkap yang pernah terbit di Indonesia. Puisi dibagi berdasarkan bentuk (sanjak, syair, dan lirik), kemudian berdasarkan tema (misal bulan, musim, tanah air, cinta), dan akhirnya kronologi dinasti. Perkembangan puisi Tiongkok bisa dilihat dari perbedaan jumlah kata atau rima dan penekanan pada makna atau isi. Dari segi tema, pembaca tidak hanya dapat mencerap penghayatan penyair akan alam, tapi juga protes mereka terhadap kerajaan. Buku ini juga dilengkapi dengan sejarah puisi Tiongkok klasik, catatan kaki tentang konteks penulisan puisi, serta biografi para penyairnya. Kata penutup ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI.

Puisi buat Rakyat Indonesia: Kumpulan Puisi 25 Penyair Korea (2007)

Penerjemah: Chung Young Rim
Editor: Sapardi Djoko Damono
Tebal: xxi + 228 halaman
Penerbit: Buku Obor, Jakarta

Kalatidha

Seperti Jepang, tradisi tulis Korea berakar pada tradisi Tiongkok. Walaupun begitu, menurut Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar buku ini, keduanya tetap berbeda jika dilihat dari citraan alamnya yang bukan sekadar menjadi alat pengungkapan tetapi juga sebagai dirinya sendiri. Buku dwibahasa ini mencakup puisi yang diciptakan antara tahun 1920-an sampai 1950-an oleh 25 penyair (hanya satu perempuan) Korea. Gambaran perkembangan tema dan bentuk puisi Korea pada kurun itu kurang-lebih tercermin dalam buku ini.

Penyair Yoon Dongju menulis tentang perjalanan dan kenangan masa kecil. Park Dujin menggubah puisi tentang alam tetapi juga tentang isu sosial dan politik. Imaji alam juga banyak muncul dalam puisi Kim Sowol. Pengaruh penyair simbolis Prancis bisa dilihat pada puisi Lee Janghui dan Joo Yohan. Dari segi bentuk, puisi Lee Sanghwa tampak lain daripada yang lain dengan gaya prosa dan jumlah bait yang relatif banyak. Di salah satu puisi Lee Byeonggi dan Lee Eunsang dapat kita lihat contoh sijo, genre puisi klasik Korea yang memengaruhi gaya puisi Korea modern di mana puisi terdiri dari tiga baris dan satu baris memuat 14-16 suku kata. Ada pula puisi yang menggambarkan persamaan pengalaman kolonial Korea dan Indonesia, yaitu puisi Park In-Hwan yang menjadi judul buku: "Puisi buat Rakyat Indonesia".

Penerjemah buku ini, Chung Young Rim, adalah guru besar sastra dan bahasa Melayu-Indonesia di Universitas HanKuk, Seoul. Dalam pengantarnya, Rim mengatakan ia mempertahankan terjemahan harfiah atau kata per kata daripada rima dengan alasan bahwa imaji bisa melampaui batas linguistik dan budaya.

Kalatidha (2007)

Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: x + 234 halaman
Informasi di Inibuku.com
Informasi di Bukukita.com

Kalatidha

Kalatidha menawarkan sebuah cara lain menuturkan cerita. Sudut pandang utama dalam novel ini adalah seorang anak yang pernah menyaksikan pembantaian sebuah keluarga yang diduga antek PKI di akhir 1960-an. Ketika dewasa, ia menjadi narapidana karena memperdayai sebuah bank. Narasi penutur pertama ini dilengkapi dengan potongan kliping koran tentang PKI dan pemerintah Indonesia. Ia pun menceritakan gambaran dunia tak kasat mata yang menurutnya sungguh nyata, termasuk pengamatannya akan hantu anak perempuan keluarga yang terbunuh itu. Tetapi cerita juga mengalir lewat seseorang yang dianggap gila. Dalam narasi ini si orang "gila" mempertanyakan kewarasannya dan disela oleh pikirannya tentang nama-nama makanan. Seno tampak mempersoalkan derajat kesahihan cerita atau penuturnya, misalnya lewat catatan si orang "gila" itu dan bab berjudul "Aku Hanyalah Seorang Tukang Kibul" di mana "aku" mengaku bercerita secara tidak urut.

Cerita lebih menekankan deskripsi, imajinasi, dan pikiran ketimbang alur. Dengan gaya surealis si penutur melukiskan, misalnya, negeri cahaya. Atau tuturan ala cerita silat tentang hantu seorang perempuan yang terbunuh dan menitis lewat tubuh saudara kembarnya—yang menghuni rumah sakit jiwa—dan membalas dendam kepada semua orang yang menurutnya bersalah atas pembakaran keluarganya dan pemerkosaan saudara kembarnya itu. Kisah pahit tersebut tertuang di novel yang diawali kutipan syair karya Ranggawarsita (1802-1873), Kalatidha, yang berarti zaman rusak. Selama ini Seno Gumira Ajidarma telah dikenal dengan gaya penulisannya yang berdasarkan sejarah dan kesaksian korban seperti dalam kumpulan cerpen Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden.

Galigi (2007)

Penulis: Gunawan Maryanto
Penerbit: Koekoesan, Depok
Tebal: vi + 158 halaman
Informasi di PenerbitKoekoesan.com

Galigi

Dua belas cerita pendek Gunawan Maryanto dalam kumpulan ini banyak berkisar di dunia persilatan. Dalam sebuah cerita, maupun di antara sejumlah cerita, sering terdapat acuan yang saling berkait. Contohnya "Dua Cerita tentang Boneka Kayu", di mana kedua cerita disampaikan oleh dua sumber kepada "aku". Menurut Budi Darma, cerpen Gunawan Maryanto penuh dengan alusi: ia tak lepas dari teks-teks yang telah ada. Dalam "Seorang Laki-laki yang Mencari Jalan Kematian", ada tokoh Yudistira-nya Pandawa. Sedangkan "Selendang Nawang" melanjutkan cerita bidadari Nawang yang kehilangan selendang dalam cerita rakyat Jaka Tarub.

Beberapa tokoh pun muncul berulang di sejumlah cerpen. Misalnya Khima si perempuan buta yang pandai bermain sitar, Lubdaka, Galigi, dan Wa Mukmuk. Dari satu cerpen ke cerpen lain, hubungan antartokoh dan cerita bagaikan diurai menyerupai bab-bab dalam novel di mana setiap tokoh utama menuturkan cerita masing-masing. Dalam "Khima", ada semacam catatan kaki panjang yang melengkapi cerita utama. Cerita kadang memakai kata "kau" dan "anda" yang merujuk kepada pembaca. Bahkan kadang tersurat permintaan si penutur cerita terhadap pembaca.

Gunawan Maryanto lahir dan menetap di Yogyakarta. Ia bergiat di Teater Garasi sebagai penulis naskah, sutradara, dan aktor. Ia telah menerbitkan lakon Waktu Batu (2004) dan kumpulan cerpen Bon Suwung (2005).

Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)

Penulis: Mardi Luhung
Tebal: xii + 168 halaman
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta

Ciuman Bibirku yang Kelabu

Buku ini memuat 66 sajak yang ditulis Mardi Luhung antara tahun 1993 dan 2006. Hampir semua sajak di sini memiliki jumlah larik seragam tiap baitnya dan secara visual berkesan rapi. Tetapi sajak-sajak itu memerikan keriuhan dan karut-marut dunia sekitar dengan gaya ucap yang seakan mengikuti dunia itu. Tuturannya cenderung naratif dan banyak juga berisi lompatan imaji. Sering tampak tanda hubung menyambungkan dua atau tiga kata sekaligus.

Sebagai seorang penyair berlatar belakang pesisir, sajak-sajaknya kerap memerikan dunia nelayan dan pelayaran, kota santri penuh tabu yang sekaligus kota industri penuh polusi, juga takhayul, ramalan serta kematian. Dalam puisinya kerap muncul kutipan pertanyaan atau penegasan suara lain. Menurut Mardi Luhung sendiri, warna puisinya terpengaruh komik superhero dari masa kecilnya dan sajak Sutardji Calzoum Bachri yang ia baca di masa awal kuliah.

Hendry Untung Mardi Luhung, yang bernama asli Oei Hendry, lahir di Gresik tahun 1965, dan hingga kini bermukim di sana. Ia lulusan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Beberapa puisi dalam kumpulan Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002) disertakan dalam buku ini. Puisinya telah dimuat di banyak media nasional dan antologi puisi.

The Famished Road (2007)

Penulis: Ben Okri
Penerjemah: Salahuddin
Tebal: 44 halaman
Tebal: 846 halaman
Informasi di IniBuku.com
Informasi di BukuKita.com

Famished Road

Ben Okri, kelahiran Nigeria tahun 1959, adalah salah satu penulis terbaik Afrika. Novel ketiga Okri, The Famished Road (yang pertama kali terbit tahun 1991), meraih beberapa penghargaan, termasuk Hadiah Booker. Novel ini mengisahkan seorang anak bernama Azaro yang hidup di dua dunia. Di dunia roh yang tenteram, tempat roh-roh menanti dilahirkan, teman-teman Azaro terus menekannya agar ia kembali ke sana,. Di dunia manusia, ia harus berjuang melawan kelaparan, kemiskinan, bencana alam, dan persoalan duniawi lainnya. Azaro melawan takdirnya untuk mati muda demi kedua orangtua yang mencintainya. Kisah berpindah-pindah dari masa sebelum hingga sesudah kemerdekaan Nigeria, dan sebaliknya. Penuh imaji dan tokoh yang tak terlupakan, novel Okri ini menggabungan pelbagai mitos Afrika dengan teknik narasi abad ke-20, realisme magis.

Penulis ini memang mewarisi dua kebudayaan. Sebelum keluarganya kembali ke Lagos, Nigeria pada 1965, Okri melewati masa kecilnya di London. Ia sempat belajar sastra bandingan di Universitas Essex, Inggris, namun tidak melanjutkannya karena kekurangan biaya. Okri pernah bekerja di BBC sebagai penyiar berita dan di majalah West Africa sebagai editor puisi. Karya-karya Okri banyak dipengaruhi pengalaman langsungnya di Perang Sipil Nigeria (Perang Biafra). Selain menulis novel, Okri juga menulis puisi dan esai. Cerita Azaro terus bersambung dalam novel Okri selanjutnya, Songs of Enchantment (1993) dan Infinite Riches (1998).

Kepada Cium (2007)

Penulis: Joko Pinurbo
Tebal: 44 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kepada Cium

Tiga puluh tiga puisi Joko Pinurbo (biasa disapa Jokpin) selama tahun 2005-2006 tercakup dalam buku tipis ini. Dengan kalimat pendek dan bahasa sederhana, puisi Jokpin kerap mencuatkan emosi sekaligus ironi di benak pembaca. Benda dan peristiwa yang remeh yang ditampilkannya pun tak jarang menyimpan kejutan. Ia bicara tentang doa sehabis sembahyang, rambut bertutup jilbab, atau tubuh yang kesakitan. Puisi yang tampak bermain-main namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.

Jokpin kerap terlibat dalam acara pembacaan puisi, misalnya Festival Puisi Internasional 2001 di Teater Utan Kayu, Jakarta. Pada Januari 2002, ia mengikuti perhelatan sastra di Belanda dan Jerman, termasuk Festival Sastra Winternachten di Den Haag. Bersama teman-temannya di Yogyakarta, Jokpin menggerakkan Komunitas Senthong Seni Bangun Jiwo. Kegiatan komunitas ini antara lain festival selawat, wayang kampung, ketoprak, dan dongeng anak-anak.

Joko Pinurbo meraih Sih Award 2001 dari Jurnal Puisi dan, di tahun yang sama, Hadiah Sastra Lontar. Pada tahun 2005 ia mendapat Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan puisi Kekasihku (2004). Ia juga menjadi salah satu Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Kumpulan puisinya sebelum Kepada Cium adalah Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Gengam (2003), dan Pacar Senja - Seratus Puisi Pilihan (2005). Puisinya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda.

Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan (2006)

Penyunting: Aminuddin TH Siregar dan Enin Supriyanto
Tebal: xx + 335 halaman
Penerbit: Nalar, Jakarta, bekerja sama dengan ASPI (Asosiasi Pencinta Seni Indonesia)

Seni Rupa Indonesia

Apa itu seni rupa modern Indonesia? Pertanyaan ini awalnya ingin dibahas oleh Aminuddin TH Siregar, salah satu penyunting, dalam penelitiannya yang menjadi cikal bakal buku ini. Esai-esai yang kebanyakan terbit di surat kabar dan majalah di tahun 1930 sampai akhir 1970-an dikumpulkan di sini. Catatan perkembangan seni rupa modern Indonesia sedikit banyak tampak dari tulisan, antara lain, S. Sudjojono, Trisno Sumardjo, Basuki Resobowo, Soemarno Soetosoendoro, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang.

Esai di buku ini diurutkan bukan secara kronologis melainkan tematis. Ada perdebatan tentang muasal seni lukis modern Indonesia. Mulai dari tahun 1947 ketika J. Hopman mengatakan bahwa seni lukis Indonesia belum ada. Dan ditanggapi oleh S. Sudjojono, pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) secara pedas, dan berlanjut hingga pernyataan Oesman Effendi pada akhir 1960-an. Ada pula perdebatan tentang siapa yang menjadi tonggak seni lukis Indonesia: Raden Saleh ataukah Sudjojono – yang berkait erat dengan kritik atas "Mooi Indie" oleh Sudjojono. Trisno Sumardjo menuliskan keprihatinannya mengenai apresiasi publik terhadap seni rupa modern dan mempersoalkan fungsi sosial seni rupa modern.

Tema lainnya adalah posisi profesi seniman di masyarakat, keahlian teknik akademis dibandingkan spontanitas, pengaruh situasi politik dalam pembabakan sejarah seni rupa kita, serta perbedaan jalan berkembangnya seni rupa Indonesia dengan di Eropa atau Amerika.

The Inheritance of Loss (2006)

Penulis: Kiran Desai
Tebal: 433 halaman
Penerbit: Penguin Books, New York

White Castle

Mengambil tempat di daerah Himalaya, perbatasan India dan Nepal, pada tahun 1980-an, novel ini mengangkat soal keantaraan, multikulturalisme, dan kesenjangan kelas. Sai, seorang gadis yatim piatu, tinggal bersama kakeknya di India setelah ayah dan ibunya meninggal di Rusia. Kakeknya, Jemubhai Patel, seorang hakim lulusan Universitas Cambridge. Biju, anak juru masak sang hakim, mengadu nasib di Amerika Serikat. Sementara Gyan yang berdarah Nepal tetap tinggal di daerah perbatasan itu dan memperjuangkan negara bagian Nepal. Bergelut dengan kehidupan modern, mereka tersesat dalam menelusuri sejarah ataupun mewujudkan impian mereka.

Sesudah Hullabaloo in the Guava Orchard (1998), kali ini Kiran Desai, perempuan kelahiran India yang mengenyam pendidikan di Inggris dan Amerika Serikat, menerima pujian tak kalah banyaknya. The Inheritance of Loss meraih Hadiah Man Booker, penghargaan paling bergengsi di seantero negara persemakmuran untuk novel berbahasa Inggris.

The White Castle (2007)

Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Fahmy Yamani
Tebal: 298 halaman
Penerbit: Serambi, Jakarta

White Castle

Novel ini adalah karya Orhan Pamuk yang pertama diterjemahkan ke bahasa Inggris. Kisah bergulir lewat sudut pandang "aku," seorang Italia terpelajar yang ditangkap armada Turki Utsmani/Ottoman dan dijadikan budak di Istanbul pada abad ke-17. Tuannya, Hoja, yang berwajah sangat mirip dengan "aku", meminta si budak yang menolak masuk Islam itu mengajarkan seluruh pengetahuan yang dikuasainya. Mereka sering duduk dan menulis bersama, berbagi pengalaman hidup termasuk mimpi mereka.

Suatu ketika wabah mematikan menyerang Istanbul. Setelah Hoja, dibantu si "aku," berhasil mengatasi wabah tersebut, ia diangkat menjadi peramal istana. Obsesi Hoja selanjutnya adalah merancang senjata perang untuk melawan Polandia, namun senjata yang mahal dan dianggap konyol itu gagal menjebol benteng "Istana Putih". Hoja melarikan diri ke Venesia bagaikan menjalani kehidupan si "aku," demikian pula sebaliknya.

Dengan alur lambat, tuan dan budak silih berganti menguasai, dan hubungan psikologis keduanya pun semakin ganjil. Di bab terakhir, lama setelah kejadian itu, identitas narator pun tak luput dipertanyakan. Novel ini menggunakan gaya bermain-main serius ala pascamodern, termasuk misalnya di bagian pengantar novel ini, yang ditulis oleh tokoh dalam novel Pamuk sebelumnya.

Pamuk, penulis Turki peraih Hadiah Nobel Sastra 2006 itu, tampaknya banyak dipengaruhi oleh corak fantastik karya Franz Kafka, Jorge Luis Borges, dan Italo Calvino. Namun, selain menulis novel-novel yang canggih secara estetik, ia pun seorang pembela hak berbicara, dan termasuk yang menentang fatwa Khomeini atas Salman Rushdie. Karya-karya Pamuk telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.

Perantau (2007)

Pengarang: Gus tf Sakai
Tebal: 130 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Perantau

Dua belas cerpen Gus tf Sakai yang terkumpul dalam buku ini mengangkat beragam tema. Tradisi merantau, misalnya, digambarkan dengan menarik dalam cerpen yang menjadi judul buku, "Perantau". Dalam beberapa cerpen lainnya, pengarang mengemukakan kritik sosial: "Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas" mengungkap sepak terjang pemerintah pusat dalam eksploitasi kekayaan alam daerah, sedangkan "Kami Lepas Anak Kami" mengangkat masalah pendidikan anak yang tak sesuai takaran. Dalam "Lelaki Bermantel" pengarang bermain dengan kepribadian ganda, sementara cerpen lainnya menjelajahi dunia mistisisme dan psikologi tokohnya. Sebelumnya, Gus tf Sakai telah menghasilkan beberapa kumpulan cerpen, yakni Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Laba-laba (2003). Pengarang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, ini telah meraih beberapa penghargaan, antara lain SEA Write Award dari Kerajaan Thailand. Kumpulan cerpennya dalam bahasa Inggris (yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar) berjudul The Barber (2002).

Memoar Hadrianus (2007)

Pengarang: Marguerite Yourcenar
Penerjemah: Apsanti Djokosujatno
Tebal: 384 halaman
Penerbit: Obor, Jakarta

Memoar Hadrianus

Hadrianus adalah salah seorang kaisar penting Romawi yang telah melakukan reformasi politik, sosial, dan ekonomi demi menyelamatkan negaranya dari kehancuran akibat ekspansi wilayah yang terus-menerus. Marguerite Yourcenar (1903-1987) menampilkan kembali sosok kaisar itu lewat penelusuran teks-teks kuno dan tempat-tempat penting selama 24 tahun. Cerita mengalir lewat serangkaian surat yang ditujukan kepada sepupu Hadrianus, Markus, yang kelak menduduki takhtanya. Di sini sang kaisar merenungi kejayaannya di medan perang; kecintaannya akan puisi dan musik, filsafat, dan kekasihnya. Yourcenar memilih Hadrianus sebagai tokoh karena kaisar itu hidup pada zaman ketika dewa-dewi Romawi tidak lagi dipuja sementara iman Kristiani belum lahir—ketika manusia, dalam kata-kata Yourcenar, "berdiri sendirian" dalam semacam melankoli yang dalam dan agung. Ini sejalan dengan konflik Yourcenar sendiri yang hidup pada zaman pasca-perang Eropa. Marguerite Yourcenar adalah nama pena novelis Prancis, Marguerite Cleenewerck de Crayencour. Ia menjadi perempuan pertama yang terpilih menjadi anggota Akademi Prancis pada tahun 1980.

Blindness (2007)

Pengarang: Jose Saramago
Penerjemah: Arif Bagus Prasetyo
Tebal: 452 halaman
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta

Blindness

Seorang pengemudi yang sedang menunggu lampu lalu lintas menyala hijau mendadak buta. Lelaki yang membantunya pulang dengan selamat kemudian mencuri mobilnya. Esoknya, istri si lelaki buta itu membawanya ke dokter mata. Dalam beberapa hari saja, istri lelaki itu, si pencuri mobil, dokter mata, dan semua pasiennya juga mengalami kebutaan tanpa sebab yang jelas. Mereka lalu dikurung di gedung bekas rumah sakit jiwa. Siapa saja yang berusaha melarikan diri akan menghadapi peluru penjaga. Jumlah penderita yang membludak mengakibatkan pecahnya pemberontakan. Seluruh penduduk di negara tak bernama ini pun ternyata mengalami kebutaan. Hanya ada satu orang yang luput dari fenomena ini, istri si dokter mata.

Inilah novel yang mendalami sebuah realitas sosial. Kehidupan menjadi lumpuh akibat hilangnya kemampuan melakukan hal yang sungguh biasa. Metafor kebutaan bisa jadi penanda banyak hal dan membuka peluang diskusi. Seperti buku-bukunya yang lain, Saramago terlihat bergairah untuk bermain dengan kemungkinan-kemungkinan kenyataan yang ia bangun dengan logika realisme. Sebelumnya, penulis kelahiran Ribatejo, Portugal, pada tahun 1922 ini melejit berkat Baltazar and Blimunda (1982). Menyusul sensor pemerintah Portugal terhadap novelnya, The Gospel According to Jesus Christ (1991), Saramago pindah ke Pulau Lanzarote di Kepulauan Canary. Ia dianugerahi Camoes Prize pada 1995 dan Hadiah Nobel pada 1998.

Terra (2007)

Antologi Dwi Bahasa Sastra Austronesia
Penerjemah Utama: Kadek Krishna Adidharma
Editor: Sandra Thibodeaux (bahasa Inggris) dan Sitok Srengenge (bahasa Indonesia)
Tebal: xviii + 402 halaman
Penerbit: Katakita, Jakarta

Terra

Inilah bunga rampai cerpen dan puisi Austronesia pertama berbahasa Indonesia dan Inggris. Bunga rampai dwibahasa ini merupakan serangkai karya para penulis Indonesia, Singapura, Timor Leste, dan Australia yang menghadiri festival sastra WordStorm 2006 di Darwin, Australia. Festival ini diselenggarakan oleh Northern Territory Writers' Centre, Australia. Mereka yang menyumbangkan karya antara lain Abe Barreto Soares dari Timor Leste, Frank Moorhouse, Peter Bakowski, Terry Whitebeach dan Sean M. Whelan dari Australia, Alvin Pang dari Singapura. Sedangkan dari Indonesia ada Nukila Amal, Iswadi Pratama, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany, dan Linda Christanty.

Dalam antologi Terra, beragam tema hadir: kekejaman alam, nilai-nilai feodal, konflik, teror, perjuangan mempertahankan hidup, cinta, duka, bahkan cara menulis sajak. Buku ini mungkin bisa membuka wawasan kita akan kesusastraan negara tetangga di sebelah selatan itu dan memperdalam pemahaman kita mengenai masyarakat dan budayanya—sembari membantu kita melihat kaitan, paralel, atau kontras yang mungkin terdapat dalam karya-karya dari Australia dan Indonesia.