Helmut Newton dan Dunia Mode
Qaris Tajudin
1
Helmut Newton adalah jenis manusia yang disukai oleh para psikiater. Setiap detail kepribadian dia adalah cerminan masa lalunya. Demikian pun karya-karya fotografinya. Kita dapat menemukan isi laci memori otaknya dalam foto-foto yang menyimpan perjalanan hidup dia yang penuh warna: kabur dari kekejaman Nazi, menjadi gigolo di Singapura, dipecat oleh The Straits Times, dan tinggal di kamp pengungsi di Australia. Pengalaman penuh warna itulah yang memungkinkan dia menghidupkan foto mode menjadi lebih manusiawi.
Newton berhasil mengubah foto mode dari gambar-gambar busana menjadi gambar manusia yang kebetulan memakai baju (kata “kebetulan” perlu ditekankan karena Newton juga terkenal sebagai fotografer orang telanjang). Fokusnya bukan pada detail baju dan keliman kain, tapi pada ekspresi para model dan kerutan di kulit mereka. Lewat mata Newton, mode bukan sekadar tren dan desain, tapi juga kegetiran hidup dan isu politik. Dengan demikian, Newton tidak hanya menciptakan genre baru dalam fotografi seni, tapi juga memberi makna pada mode.
2
Helmut Newton berasal dari sebuah keluarga Yahudi kaya raya yang tinggal di kawasan Schoneberg, Berlin. Ia lahir di Minggu pagi musim gugur, 31 Oktober 1920. Seperti dongeng kelahiran seorang satria, hujan yang sedari pagi mengguyur Berlin tiba-tiba berhenti begitu dunia pertama kali mendengar suaranya pada pukul 11.30. Ia diperlakukan berbeda dari Hans, saudara tiri dari mendiang suami pertama ibunya, yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Ia dimanjakan dengan kekayaan ayahnya yang memiliki pabrik kancing. Helmie, nama pangilan Helmut, adalah putra utama mereka yang manis (yang didandani seperti anak perempuan sejak bayi), sedang Hans adalah “berandalan” yang sering membuat masalah.
Tetapi dari Hans-lah, yang disambangi penyakit kelamin sejak remaja, Helmut belajar tentang perempuan. Lewat Hans pula Helmut yang masih berusia enam tahun mengenal foto-foto telanjang. Ia mencuri-curi kesempatan untuk mengambil majalah-majalah Das Magazin dari laci Hans yang dikunci, pergi ke kamar mandi, dan mempelajari foto-foto perempuan telanjang—mengenakan stoking hitam dan sepatu hak tinggi—dengan amat lekat. Hans juga yang membuka mata Helmut pada pelacuran, sebuah dunia yang di kemudian hari banyak ia gali menjadi tema fotografi modenya. “Lihat baik-baik, Helmut,” kata Hans saat mereka berada di KaDeWe, toko serba ada terkenal di Berlin saat itu. “Itulah Si Erna Merah yang terkenal.” Erna adalah pelacur kondang di Berlin dengan rambut, bot, dan pecut yang semuanya berwarna merah. “Inilah perkenalanku dengan sisi kelam kehidupan jalanan Berlin,” kata Helmut dalam otobiografinya.
Perkenalannya dengan erotisisme juga berlangsung lewat “buku-buku terlarang” yang disimpan di lemari terkunci ayahnya. Bukan pornografi sebenarnya, melainkan lebih erotisisme dan sensualitas. Di antara buku yang ia baca di balik selimut dengan penerangan sinar senter adalah Fraulen Else oleh Arthur Schnitzler dan buku-buku Stefan Zweig.
Kamera pertama yang ia kenal adalah Agfa Tengor Box yang ia beli setelah potong rambut di usianya yang ke-12. Untuk membeli kamera ini ia harus membongkar tabungannya sendiri. Satu rol pertama (enam gambar, 6 x 9 cm) ia habiskan untuk memotret stasiun bawah tanah Berlin. Tentu saja, debutnya ini mengalami banyak kegagalan. Yang jelas, sejak saat itu Helmut ketagihan. Ia terus memotret dan memotret. Mulai dari antena radio di pusat kota Berlin, bus tingkat sekolahnya, hingga garasi ayahnya.
Di usianya yang ke-15, ia tak memiliki obsesi lain selain memotret, berenang, dan mengencani perempuan. Helmut di masa remajanya menjadi “Dirty Helmie”, playboy kecil yang mengencani atau meniduri sembarang gadis di Jerman, Yahudi atau bukan (saat itu Yahudi hanya mengencani Yahudi). Sekolah pun ia abaikan. Dan di saat anak manja itu mulai nakal, Nazi baru berkuasa di Jerman. Gerakan orang Yahudi sudah mulai dibatasi dan kebencian mulai menyebar. Sampai pada suatu malam ia melihat ayahnya murung di ruang baca. Hari itu pemerintah Jerman memecat ayahnya dari perusahaannya sendiri dan menggantikannya dengan seorang pria Arya. Artinya, segala kemewahan akan menjadi kenangan.
“Ayah, kita harus pergi (dari Jerman), harus. Tak ada lagi yang bisa kita kerjakan di sini,” kata Helmut. “Tapi kita tidak bisa pergi, anakku, mustahil. Dan kamu tidak punya profesi, tak punya keahlian. Bagaimana kau bisa bertahan hidup?” jawab ayahnya. Satu-satunya keahlian (atau tepatnya kesukaan) Helmut adalah fotografi. Namun saat itu, untuk mendapatkan sertifikat, seseorang harus magang dulu pada fotografer. Ini mutlak. Tak ada yang bisa mengaku sebagai fotografer tanpa magang terlebih dahulu. Ini seperti sekolah, karena orangtua pemagang harus membayar kepada fotografer. Pemagang belajar segalanya, mulai dari mempersiapkan kamera, mencuci film, mencetaknya, hingga menusir negatif.
Menyadari potensi Helmut dan pentingnya magang, ibu Helmut membawa anaknya magang pada fotografer cantik bernama Yva (Frau Simon). Dia adalah seorang fotografer mode, yang juga memotret penari balet, aktor, dan aktris. Dari sini kecintaan Helmut akan fotografi mode mulai tampak. Yva adalah mentor pertamanya yang amat ia cintai dan kagumi.
Setahun kemudian, ketika Jerman semakin panas dan Nazi bertambah ganas, Yva (juga Yahudi) mendapat tawaran bekerja di New York pada majalah Life. Sang guru menolak, meski Helmut memaksanya. Ia ingin tetap bertahan di Berlin, apa pun yang terjadi. Yva akhirnya dijebloskan ke kamp kosentrasi Auschwitz dan tewas di sana. Beberapa tahun setelah Perang Dunia II selesai, dalam perjalanannya dari Paris, Helmut kembali ke studio Yva di Berlin yang kosong dan berdebu.
Sebelum Yva ditangkap, keluarga Newton telah memutuskan mengirim Helmut ke luar Jerman. Negara-negara Eropa sudah dipenuhi pengungsi Yahudi, dan Jerman sewaktu-waktu bisa menyerang negara-negara itu. Tempat yang masih aman dan bisa menampung pengungsi Yahudi adalah Cina, sebuah negeri antah berantah bagi Helmut. Pada Desember 1938 yang dingin, dengan suhu di bawah nol derajat, Helmut pergi sendirian meninggalkan Jerman. Ayahnya yang semakin kurus dan ringkih, serta ibunya yang tegar sebagai penyangga keluarga, mengantar Helmut hanya sampai stasiun Bahnhof Zoo, Berlin. “Saya tak pernah melihat ayah saya lagi, selamanya,” tulis Helmut dalam biografinya. Tujuan Helmut adalah kota pelabuhan Tristie. Di sana berlabuh kapal Conte Rosso yang akan membawanya ke Cina.
Di atas kapal ia bertemu dengan beberapa orang Yahudi yang menyarankannya supaya turun di Singapura, sebuah koloni Inggris di Asia yang jauh lebih beradab dibanding Cina. Helmut tak menampik tawaran itu. Sebelum Natal 1938, Conte Rosso merapat di pulau kecil di Selat Malaka itu. Seorang pemuda delapan belas tahun yang masih hijau turun di sana dengan uang seadanya.
Ia beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer di koran The Straits Times. Tetapi anak muda ini belum lagi memahami fotografi berita. Helmut tak pernah bisa mendapatkan gambar yang sesuai standar. Hanya enam pekan dan ia pun ditendang. Di saat tanpa pekerjaan itu ia bertemu dengan Josette, janda cantik asal Inggris. Berawal dari kencan biasa hingga akhirnya Helmut tinggal di apartemen mewah dan kemudian vila di Changi bersama Josette. Perempuan itu memang membuatkan studio foto untuknya, namun uang tidak datang dari sana. Helmut amat bergantung pada uang santunan dari Josette. Saat itulah ia sadar behwa dirinya telah menjadi gundik pria, simpanan seorang perempuan yang lebih tua darinya.
Sampai suatu malam, saat Helmut dan Josette menonton Gone with the Wind, sebuah berita bergambar datang: Nazi telah menguasai Belgia dan mulai masuk ke Prancis. Di Asia keadaan tak jauh berbeda. Ini memang zaman fasis. Jepang merangsek lewat Siam dan bergerak ke arah Malaya. Kedatangan mereka di Singapura tinggal menunggu hari. Naluri Helmut mengatakan: sekaranglah saatnya pergi. Apalagi ia juga sudah bosan hidup di bawah Josette. “Saya tak bakal berada di tengah perang, saya tak bakal melihat Jepang, saya tak bakal melihat Josette lagi!” demikian kenangnya. Inilah saatnya meninggalkan kehancuran yang akan dan telah terjadi.
Dengan sepeda motor ia kabur ke pelabuhan dan menumpang kapal Queen Mary yang mewah. Ia tak tahu akan pergi ke mana, tetapi semua orang berpikir India sebagai koloni Inggris di Asia adalah tujuannya. Ternyata mereka salah. Kapal itu bertolak ke Australia, 1940. Setiba di Melbourne, ia dan seluruh orang Yahudi serta komunis ditampung dalam kamp pengungsi. Selama satu setengah tahun ia berada dalam kamp itu dan akhirnya keluar setelah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan di dinas ketentaraan Australia.
Kehidupannya kembali normal setelah ia keluar dari dinas tentara pada tahun 1946, seusai perang, dan mendapatkan pesangon yang lumayan. Dari uang itulah ia membeli mobil dan membuka studio foto. Di studio itu pula ia bertemu dengan June, yang kemudian menjadi istri yang setia menemaninya hingga akhir hayat. June memahami betul kebinalan Helmut. Namun, ia juga sadar Helmut tak akan bisa maju tanpanya.
Sampai tahun 1956, saat berusia 36 tahun, Helmut masihlah bukan Helmut yang kita kenal sekarang. Ia masih seorang fotografer lokal yang sesekali memotret untuk majalah Vogue. Hingga akhirny pada 1957 Vogue Inggris tertarik dan mempekerjakan dia di London. Sayangnya, London bukanlah habitat Helmut. Selera orang Inggris berbeda dengan seleranya. Semua yang ia lakukan sepertinya salah. Ia pun tak bisa menelurkan karya terbaik. Bahkan karya-karyanya jauh merosot dibanding saat menjadi pekerja lepas pada Vogue Australia. Begitu tak akrabnya dengan London, ia selalu tersesat di jalanan kota itu.
Setahun kemudian ia pindah ke Prancis dan menjadi fotografer pada majalah mode Jardin des Modes. Prancis tampaknya memberi udara segar baginya. Kafe-kafe pinggir jalan, film, dan segala hal tentang Paris memberinya inspirasi. Karakter fotografi modenya mulai terbentuk di sana. Sempat kembali ke Australia pada 1959-1961, namun ia kembali ke Paris dan tinggal di sana sebagai fotografer Vogue hingga 1983.
Untuk menghabiskan masa tuanya, ia memilih Monte Carlo. Namun, ia tak memilih di mana harus bertemu dengan maut. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di New York, 2004.
3
Saat meminta Nicole Kidman menjadi model dalam pemotretan untuk Vogue, Anna Wintour sebagai pemimpin redaksi mengatakan kepada aktris itu bahwa pemotretan akan dilakukan oleh Helmut Newton. Dengan antusias Kidman mengatakan, “Oh, ya, foto-fotonya pasti akan nge-seks.” Foto-foto Helmut memang selalu menggabungkan tiga hal: seks, mode, dan seni. “Porno chic,” demikian Wintour menjuluki karya Newton. Foto-foto erotisnya yang menyingkap sisi lain seks membuatnya mendapat gelar King of Kink.
Salah satu foto modenya yang erotis adalah foto-foto pakaian dalam untuk majalah Nova pada 1971. Koleksi pakaian bermerek terkenal itu dipakai oleh pelacur jalanan dalam kamar hotel murahan yang sempit, kumuh, dan muram. Tak masalah pakaian berkelas itu kelihatan murah atau bentuknya menjadi tak beraturan, yang jelas ia ingin mengangkat pesan yang ditulis di artikel sebelahnya: pakaian dalam itu bukan tergantung pada selera pemakainya, tapi pada kesan pria yang melihatnya. Itu sebabnya ia memotret melalui pantulan cermin yang memasukkan dirinya yang sedang mengintip dari lensa kamera.
Untuk Vogue Amerika, pada 1975 ia menampilkan seorang model dalam baju Dior yang buah dadanya sedang diremas oleh seorang pria. Juga foto seorang model yang memakai gaun backless untuk Vogue Prancis. Foto itu diambil dari belakang, saat model menaiki anak tangga dan bajunya tersingkap hingga pantatnya yang sentosa terlihat jelas. Yang paling sensual adalah foto-foto mode untuk Vogue Italia dan Prancis. Setiap foto dalam serial itu ia buat dobel. Versi dengan model berpakaian lengkap dan versi dengan model bugil. Dalam kedua versi itu sang model bergaya persis sama. Helmut menampilkan dua keindahan perempuan dalam bentuk yang berbeda.
Seks dan sensualitas juga sering dipakai oleh Newton untuk mengangkat topik feminisme. Dalam foto-fotonya, perempuan tampak tampil erotis, namun sebenarnya merekalah yang justru berkuasa. “Lewat lensanya ia membelokkan masalah seksual dan revolusi feminis, membuat perempuan tampil sebagai obyek seks, namun tetap mengendalikan takdirnya,” tulis jurnalis mode senior Suzy Menkes di International Herald Tribune.
Ia selalu punya alasan mengapa seorang model harus tampil telanjang atau sensual. Untuk foto aksesori mode, misalnya, Newton cenderung menampilkan model telanjang, karena dengan begitu ia dapat menciptakan fokus visual pada aksesori, bukan pada busana, yang dipakai. Itulah yang ia lakukan saat memotret jam mewah untuk halaman mode Vogue Prancis. Hal yang sama ia lakukan saat memotret penutup bahu (shoulder cap) dari kulit dan kalung emas untuk Vogue Italia.
Selain soal alasan teknis visual, sensualitas biasanya ia manfaatkan untuk mengangkat sebuah cerita, seperti pemotretan pakaian dalam untuk Nova tadi, misalnya. Oleh karena itu, kekuatan fotografi mode Newton bukan terletak pada sensualitasnya. Sensualitas hanyalah alat untuk mengangkat sebuah tema atau konsep. Kekuatannya sendiri ada pada tema dan konsep itu. Konsep dan cerita itu selalu ia tuangkan dalam buku tulisnya. Ia bahkan memasukkan buku tulis sebagai “My Photographic Equipment” dalam biografinya. Semua konsep dan tema yang terlintas selalu ia tulis. Tema itu ia dapat tidak sebagai sesuatu yang datang dengan sendirinya, tapi merupakan “pekerjaan berhari-hari dari perbincangan di telepon dan ruang rapat.” Meski tampak spontan, latar dan konsep fotonya merupakan sesuatu yang matang.
Karena ingin menampilkan sebuah cerita, Newton selalu menolak membuat foto mode dalam studio, meski ini jauh lebih aman untuk tata rias, suasana hati model, dan keselamatan busana (terutama untuk adibusana yang supermahal dan ringkih). Ia sadar, di dalam ruangan yang dingin dan kaku tak mungkin ia membangun sebuah cerita. Ini adalah “pemberontakan” Newton yang lain terhadap fotografi mode yang saat itu masih senang memakai studio. “Saya menolak kerja dalam studio,” tulis Newton dalam biografinya. “Saya sangat tidak bahagia berada dalam studio, kendati kami tengah mengerjakan koleksi adibusana.”
Berbeda dari fotografer sebelumnya yang hanya menjadikan luar ruang sebagai bentuk lain studio (di mana para model berpose seakan-akan tengah berada di studio), Newton memanfaatkan benar pemandangan luar ruang itu untuk mengangkat tema yang ingin ia capai. Pada 1963, misalnya, ia memotret baju-baju perancang Jerman di dekat tembok Berlin. Bahkan, seorang modelnya berdiri di pos pengawas sambil membawa binokular. Di depannya, berdiri tembok Berlin, lengkap dengan kawat berduri. Juga ada seorang model yang menjadi pelarian dari Timur yang ditangkap oleh polisi.
Di puncak perang dingin, memotret mode di tembok Berlin bukanlah ide waras. Dan tentu saja mengundang kritik. Heinz Mohr, presiden Industri Garmen Wanita Berlin, bahkan mengatakan kepada Associated Press bahwa foto karya Newton tak memiliki selera. Mohr ada benarnya. Setidaknya, foto di Vogue Eropa itu tidak terlalu istimewa, malah lebih mirip foto berita yang dibidik buru-buru, dibanding dengan foto mode yang dikonsep matang. Tapi memang itulah Newton. Ia sering tak peduli apakah busana atau aksesori yang ia potret akan terlihat bagus atau tidak. Ia lebih mengedepankan tema daripada bentuk busana.
Lewat mata Newton, kita melihat mode tidak melulu berarti cantik, indah, mewah, dan anggun, tetapi juga bisa murahan, menjijikkan, rakus, binal, dan horor. Cartier harus merelakan sepatunya tampak seperti papan berduri di bawah tulang kaki saat Newton memotretnya dengan sinar X untuk Vogue Prancis. Busana bukan lagi obyek utama yang harus terlihat rapi, tapi menjadi pelengkap sebuah cerita yang kadang berbentuk tak sebagaimana mestinya. Ia seolah membebaskan busana bermerek dari fungsinya sebagai simbol sebuah kelas, menjadikannya sebuah alat untuk menceritakan dunia dengan segala macam isinya. Bukan cuma yang indah, tapi juga sisi kelamnya.
“Helmut selalu, terkadang dengan menakjubkan, menggabungkan kegemaran dan referensinya—yang sering berakar pada momen tergelap di abad ke-20—dengan kewajiban yang harus dimiliki oleh foto mode,” tulis Wintour dalam American Photo. Karya-karya mewah lewat lensa Newton menjadi murahan dan sebuah adibusana menjadi banal. “Kemanisan adalah sesuatu yang tak pernah menarik Helmut,” tulis Wintour. Tapi justru dengan demikian Newton telah menyelamatkan mode luks dari keterasingan. Ia telah menggabungkan kemewahan mode dengan kebinalan yang murah. “Newton cenderung memompa kemewahan dan kebejatan seksual,” tulis Menkes.
Selain pelacuran murah, Newton juga sering mengangkat hal yang menjijikkan sebagai temanya. Di antaranya adalah tangan penuh perhiasan mewah dari Bulgari yang membedah tubuh ayam, berlendir, lengkap dengan jeroannya dan pisau daging (Vogue Prancis 1994). Atau baju kuning Calvin Klein yang dipakai oleh model dengan bermacam obat di lidahnya yang terjulur dan liur kental yang menetes dari bibir merahnya.
Uniknya, Newton melakukan hal-hal di atas, yakni memberi makna berbeda pada mode, bukan karena ia pernah berada di tengah pusaran revolusi mode saat itu di London pada 1960-an. Ia justru meninggalkan salah satu kutub mode itu beberapa saat sebelum mode menjelma agen subkultur anak muda London. Newton justru melakukannya di Paris, di mana mode dianggap barang sakral dan harus diperlakukan dengan baik. Ia dapat mengatakan bahwa apa yang ia lakukan orisinal. Ia dapat mengatakan bahwa dirinya adalah kekecualian.
Sebagaimana diketahui, pada dasawarsa 1960-an-1970-an mode terbagi menjadi dua kutub: London dan Paris. Di London anak-anak muda menjadikan mode, selain musik dan seni grafis, sebagai salah satu agen pemberontakan budaya. Busana di butik-butik kecil London dan Chelsea adalah busana yang mencerminkan perubahan budaya itu. Gaya hippie, psychedelic, army look, hingga punk, merupakan busana yang bicara soal keresahan anak muda, pemberontakan mereka, dan kecenderungan politik mereka.
Sebaliknya, di Paris (juga Milan) mode tetap di awang-awang. Para desainer hidup di menara gading dan baru memasukkan jins dan army look yang dipakai para demonstran perdamaian ke dalam koleksi mereka, di akhir 1970-an. Busana mereka mewah, rapi, tapi autis. Mode Paris adalah simbol kelas atas yang mengatakan tahi kucing kepada revolusi subkultur jalanan dan perang. Busana yang mengangkat dagu dan merasa paling suci.
Di saat itulah Newton muncul di Paris. Ia melakukan pemberontakan pada pakem fotografi mode dan menurunkan derajat rumah mode menjadi lebih awam. Ia adalah jembatan yang menghubungkan ide para desainaer di atas menara gading dengan gejolak di dasar bumi. Bukan lewat pesan politik, tapi lewat pengungkapan sisi lain dari dunia para pemakai busana mewah yang selama ini tak pernah dijepret oleh fotografer mode. Seperti saat ia melihat sisi kelam kehidupan kaum superkaya Berlin di sebuah hotel pada masa kecilnya.
Newton sering memilih teknik sederhana dalam memotret model. Pencahayaan langsung, bayangan keras ada di mana-mana. Secara teknik, Newton mengakui bahwa ia tak istimewa. “Tidak ada yang banyak berubah pada teknik pengambilan gambarku sejak saya masih bocah,” katanya. Itu juga yang menjelaskan mengapa ia benci studio yang miskin cahaya.
Tidak seperti fotografer lain yang bisa menghabiskan belasan rol film untuk sebuah sesi pemotretan, Newton hanya butuh satu atau dua rol. Ia tak perlu mengambil gambar yang secara teknik amat istimewa. Ia hanya membutuhkan gambar tentang sebuah situasi. Masalah detail teknik biarlah menjadi urusan fotografer lain. Tetapi justru dengan cara ini ia lebih mampu menghadirkan sisi banal foto-foto modenya. Semua obyeknya terlihat biasa, bukan produk rumah mode mewah yang istimewa. Keliaran justru muncul dari teknik seperti itu.
Hal paling istimewa dari foto-fotonya adalah bahasa tubuh dari obyek di dalamnya, terutama para model. Bahasa tubuh memang cara paling efektif untuk mendukung tema sebuah foto. Dan Newton sadar akan hal itu.
4
Helmut Newton, singkat kata, tidak hanya memberi sentuhan baru pada dunia fotografi. Lebih dari itu, ia telah mampu memberi makna baru pada mode. Lewat foto-fotonya, Newton mengatakan bahwa busana semewah apa pun tetap harus memiliki akar yang kuat di masyarakat sekitarnya. Itu sebabnya para desainer sejak pertengahan 1970-an mulai memberi tema pada tiap koleksinya. Mereka sadar, sebuah gaya dalam sebuah koleksi harus memiliki sandaran tema yang kuat. Ada keterkaitan antara koleksi mereka dengan apa pun yang terjadi di dunia ini. Bukan cuma kumpulan baju cantik yang mewah.
Keliaran Newton sedikit banyak menyadarkan rumah mode di Paris untuk menampung ide-ide liar para desainer Inggris yang kini banyak mereka rekrut, termasuk Vivienne Westwood, pencipta busana punk yang pernah menjadi manajer grup band Sex Pistols. Newton-lah yang secara tak langsung menjadi jembatan antara dunia mode Paris dan London yang sering berlawanan kecenderungan itu. Lewat foto-fotonya, Newton telah memberi inspirasi kepada semua yang terlibat di dunia mode.
Rujukan:
Helmut Newton, Autobiography (New York: Nan A. Talese,
2003).
Untuk melihat gambar, silakan kunjungi:
http://user.tninet.se/~ryk484d/newton/newton.htm