Sontag, Citra, Waktu
Nirwan Ahmad Arsuka
Jika seni rupa adalah sastra, dan lukisan
adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa. Antara lain karena kemampuannya
yang tanpa preseden dalam mengabadikan dan menggandakan semua citra (bukan
hanya yang bisa langsung dicerap), fotografi memang bukan lagi sekadar sebuah
bentuk seni; ia lebih luas dari seni. "Fotografi adalah medium yang
dengannya seni diciptakan-Susan Sontag menggaritkan kalimat ini di buku On
Photography. 1 Pendapat yang menandaskan bahwa fotografi-dan
tentu saja sinema-adalah bahasa, sudah muncul juga, misalnya, pada André Bazin.2
Dengan memumpunkan perhatian pada fotografi dan menangguhkan pertautannya
dengan sinema, Sontag menggarap dan memperkokoh pendirian itu lebih lanjut. Di
OP, kitab tipis yang menjadi salah satu "karya terpenting tentang
fotografi",3 Sontag bahkan menyebut fotografi sebagai sebuah
meta-seni: sebuah medium sekaligus cita-cita tertinggi seni. Di abad ke-19,
Walter Pater menyebut bahwa semua seni bercita-cita menjadi seperti musik yang
mampu melebur habis bentuk dan isi. Sontag, di abad ke-20, mengoreksi pendapat
Pater dan menandaskan betapa semua seni justru bercita-cita menjadi seperti
fotografi. Selain sanggup hidup seperti musik yang mengolah mediumnya sebagai
isi itu sendiri, fotografi juga berwatak demokratis karena bisa dikerjakan oleh
siapapun-serempak mengeram kekuatan revolusioner mendobrak diskriminasi antara
seni buruk dan seni indah.
Di buku Regarding the Pain of Others,4
Sontag kembali
mengangkat kekuatan fotografi-khususnya kekuatan yang membuat meta-seni
pelukisan dengan cahaya itu sanggup mewujudkan cita-cita mustahil sastra. Watak
obyektif pada fotografi adalah sesuatu yang niscaya: hubungan antara fotografi
dan obyektivitas adalah hubungan antara garam dapur dan rasa asinnya, antara
butir intan dan kerapian struktur karbonnya. Sesuatu bahkan bisa disebut
benar-benar terjadi jika ada fotonya-sebuah jaminan sekaligus tilas yang
diabadikan bukan oleh makhluk hidup yang bisa subyektif, tetapi oleh benda mati
yang tak punya pikiran dalam dirinya sendiri: kamera. Namun, kamera bisa
mengabadikan tilas karena ada tangan yang membidikkannya; subyek yang punya
pikiran sendiri. Gabungan antara kamera dan fotografer itu memungkinkan fotografi
menjadi rekaman obyektif sekaligus testimoni pribadi; menjadi copy atau
transkrip sebuah momen aktual realitas, serentak interpretasi atas realitas
itu. Paduan dua segi istimewa yang saling langgar ini, menurut Sontag, adalah
cita-cita abadi sastra yang tak dapat diwujudkan secara harfiah oleh sastra.
Banyak
penulis, termasuk Sontag, menyebut Jorge Luis Borges sebagai pembaca dan
penulis terpenting abad ke-20.5 Kalimat Borges yang kerap dikutip
antara lain adalah: "cermin dan senggama sama buruknya, karena keduanya
memperbanyak jumlah manusia ... keduanya melipatgandakan dan menyebarluaskan
alam semesta."6 Lebih dahsyat dari cermin dan kopulasi,
kamera juga meluapkan jumlah makhluk, menangkarkan dan menyebarluaskan alam
semesta. Cermin memang memperbanyak jumlah manusia, tetapi cermin tak sanggup
mempercantik manusia yang digandakannya; kecuali mungkin di dalam fiksi, dalam
salah satu cerpen Anton Chekov, misalnya.7 Hubungan suami istri pun
tak selalu menghasilkan keturunan yang lebih memikat, dan lebih lestari, dari
pasangan yang membuahkannya. Kamera merengkuh perhatian antara lain karena
kemampuannya menghasilkan salinan yang lebih jelita, lebih indah dari aslinya.
Kamera bahkan bisa menciptakan sejenis kenyataan yang belum pernah ada,
menghadirkan kenyataan-kenyataan yang tak terjangkau-atau tak ingin
dijangkau?-oleh mata telanjang.
Kemungkinan-kemungkinan di atas membuat piranti turunan
camera obscura itu tampil bagaikan black hole dalam spekulasi teoritis sejumlah
pakar
kosmologi dan astrofisika. Stephen Hawking, Lee Smolin, Andrei Linde, Hugh
Everett, Kip Thorne, Mike Morris, Matt Visser atau Serguei Krasnikov, misalnya,
adalah bagian dari kalangan ilmuwan kontemporer yang mencurahkan seluruh energi
intelektualnya untuk mendalami black hole. Sebagian di antara mereka berjuang
gigih membayangkan bagaimana black hole menjadi persambungan alam
semesta kita ke alam semesta lain; sebagian lagi bertungkuslumus menjabarkan black
hole sebagai gerbang hipotesis topologis yang memungkinkan perjalanan menembus
waktu (time travel) dan ruang antarsemesta. Pada kamera, dunia yang
ditangkap oleh lensa, yang kemudian diteruskan ke unit perekamnya, dengan jelas
dan tanpa susah payah telah terbukti menghasilkan dunia lain yang bahkan bisa
lebih dahsyat dari sumbernya.
Dengan tahana sebagai black hole, di mana dunia
yang menempuh lensanya
akan muncul menjadi dunia lain-semesta lain-kamera menangani waktu dengan cara
yang menarik. Ada
tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama: waktu selalu
mengalir, tak terbendung. Kedua: waktu hanya bergerak asimetris, selalu
mengarah ke depan. Ketiga: aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa
saja yang ditempuhnya. Aspek waktu yang ketiga ini meninggalkan pengaruh sangat
besar dalam kebudayaan. Jejaknya terlihat pada mitologi Batara Kala sang
penimpa bala atau Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya.
Peninggalan peradaban Mesir Kuno antara lain adalah kompleks mumi yang
tersimpan di dalam piramida-piramida penuh labirin, yang dibuat untuk menahan
dan menyesatkan intrusi waktu yang tak kenal ampun. Dalam khazanah fisika,
ketiga aspek waktu yang saling jalin ini dikenal sebagai Hukum Termodinamika
II.
Kekuatan dahsyat kamera yang langsung terlihat adalah kemampuannya menghentikan
waktu. Dalam sejumlah komposisi musik dan puisi, arus waktu mungkin terasa
tertahan sesaat, untuk kemudian bergerak berpusar dan membubung menghimpun
diri-dan mereka yang menyimak seakan terangkat sejenak melambung di atas waktu.
Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu tampak membeku untuk
selama-lamanya; dan terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot, yang
sulit-bahkan mustahil-terlihat, mustahil disadari, dalam aliran waktu.
Penyingkapan "ketaksadaran-arus-waktu" ini adalah bagian dari apa
yang oleh Walter Benjamin disebut penyingkapan ketaksadaran optis manusia.
Aliran waktu yang selalu asimetris juga dapat ditaklukkan oleh kamera, dan
waktu pun tampak bergerak mundur ke masa silam. Cerita, dalam sastra dan
teater, juga mengenal kilas balik (flashback) yang seperti memungkinkan
manusia kembali ke masa lalu. Namun dalam cerita, setidaknya sampai munculnya
kamera, waktu tidaklah benar-benar bergerak mundur: cerita hanya melangkah ke
urutan kronologis yang lebih belakang, untuk kemudian bergerak maju ke depan
mematuhi rentetan sebab akibat. Sedangkan kamera, di sisi lain, benar-benar
mampu membuat waktu bergerak mundur, mengalir dari masa kini ke masa silam
sambil membalik-sekaligus mempertegas-hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan
arah, dan kecepatan gerak waktu-mempercepat atau memperlambatnya-adalah
penaklukan kedua kamera atas waktu.
Penjinakan terakhir kamera atas waktu, yang terkait
dengan dua penjinakan
sebelumnya, terlihat pada kekuatan kamera dan perangkat rekayasa citra yang tak
hanya menghasilkan citra-citra yang tahan waktu, tapi juga citra yang malah
terlihat kian menarik dalam perjalanan waktu. Dalam banyak kasus, waktu yang
berlalu bukannya menelan dan melapukkan citra-citra yang dihasilkan, tetapi
justru menyunggi foto yang tadinya dianggap buruk jadi tampak bagus. Teknologi
citra telah lama menunjukkan kemampuannya mengubah citra yang rusak dan buram
menjadi citra utuh yang lebih kaya warna, memulut mata dan pikiran. Kamera
memang tak lagi sekadar menentang daya rusak waktu, tapi akhirnya menaklukkan
waktu, menjadikan Batara Kala atau Dewa Kronos itu sebagai hamba setia
fotografi. Jika di alam semesta yang tunduk pada Hukum Termodinamika II, waktu
adalah kekuatan sangat perkasa yang bahkan akan menghancurkan alam semesta;
maka di jagat fotografi, waktu menjadi tunggangan yang bergerak membuat
barang-barang cendala menjadi benda seni. Jagat seperti ini adalah bagian dari
jagat yang lebih besar di mana kenyataan (fisis dan kognitif) hadir menampakkan
diri mula-mula sangat tak sesuai dengan indra dan nalar intuitif manusia, tapi
yang kemudian merapatkan dirinya kian intim ke tangan manusia yang akan
memasukinya.
Kendati bekerja dalam skala yang relatif "mungil", dengan bidang
bermatra dua, fotografi telah menunjukkan kemampuannya mewujudkan sebagian
cita-cita tertinggi seni, politik, dan pengetahuan ilmiah tentang ruang-waktu
kosmos. Bagi sejumlah orang, kemampuan-kemampuan dahsyat fotografi seperti
disebut tadi jelas menjanjikan banyak pembebasan. Walter Benjamin, yang oleh
sejumlah kalangan dianggap sebagai kritikus sastra dan pemikir kebudayaan
paling otentik yang muncul di ranah berbahasa Jerman di abad ke-20, adalah
intelektual pertama yang memaparkan watak revolusioner fotografi dan
film-kendati, seperti ditunjuk Benjamin, potensi kreatif dahsyat fotografi
sudah dicerap setengah abad lebih sebelumnya oleh pelukis Belgia,
Antoine-Joseph Wiertz. Buat Sontag, Benjamin terang menduduki singgasana
kritikus fotografi yang terpenting dan paling orisinal. Bagi Benjamin, selain
menyingkap ketaksadaran optis manusia, fotografi sanggup menjawab tuntutan
revolusioner poltik seni, mendorong lebih jauh seluk-susup seni dan sains,
sembari membebaskan seni dari pengabdiannya pada ritual yang parasitik.
Fotografi mampu merontokkan monopoli modal kultural pada kelompok-kelompok
tertentu yang mengambil manfaat dari benda-benda seni yang tadinya tak dapat
direproduksi luas.8 Benjamin yang mendukung pandangan
seniman-teknokrat Hungaria László Moholy-Nagy tentang pentingya literasi citra
itu, menuliskan harapannya di paruh pertama abad ke-20 ketika fotografi belum
punya teknologi reproduksi dan distribusi sedahsyat sekarang. Revolusi
teknologi, khususnya teknologi informasi, kini praktis telah membuat selembar
foto bisa direproduksi dalam jumlah tak terhingga, dan bisa disebarkan secara real
time ke hampir setiap titik di planet Bumi, atau di titik manapun di alam
semesta yang bisa dijangkau kecerdasan manusia.
Bahwa meningkatnya-melambungnya-kemampuan
reproduksi dan distribusi teknologi
fotografi ternyata tak berjalan seiring dengan-bahkan menghambat gerak-meluas
dan menguatnya demokratisasi; keluhan ini sudah disuarakan Sontag sejak di OP
dan kian lantang di RPO. Keluhan yang berpusar pada perangkat teknologi
fotografi ini tampaknya adalah gema atavistik dari sebuah pandangan pra-ilmiah
berusia ribuan tahun yang sangat berpengaruh, yang melihat kelindan yang rapat,
bahkan niscaya, antara kejatuhan manusia dan perolehan pengetahuan (yang selalu
diraih lewat citra). Dengan jangkauan yang lebih luas dan mendalam, tapi dengan
arah provokasi yang berbeda, keluhan yang mirip diajukan Albert Einstein 75
tahun silam, ketika Tokoh Terpenting Abad Ke-20 versi majalah Time itu
menyampaikan pidato wisuda mahasiswa California Institute of Technology. Pidato
bertanggal 16 Februari 1931 itu berisi gugatan mengapa perkembangan ilmu dan
teknologi yang begitu luar biasa belum juga membawa kesejahteraan yang cukup
revolusioner pada umat manusia. Gugatan itu memuncak 24 tahun kemudian ketika
Albert Einstein, Bertrand Russell, dan serombongan cendekiawan kelas dunia
menandatangani sebuah manifesto yang diumumkan di London, 9 Juli 1955. Manifesto itu-lahir di
tengah horor Perang Dingin-adalah seruan penghentian penyebaran dan produksi
senjata pemunah massal, yang bisa menghancurkan seluruh dunia dan segenap
kehidupan yang pernah berkembang di atasnya.
Penyebaran dan produksi senjata nuklir
memang relatif bisa dibendung kini,
namun perang ternyata tetap saja terjadi, dan tak menutup kemungkinan datangnya
horor termonuklir yang meledakkan inti matahari di Bumi, menghanguskan segala
bentuk kehidupan yang berkembang di atasnya. Fotografi yang semula diharapkan
dapat ikut membendung perang dengan membeberkan citra-citra brutal perang,
dengan menyalakan kembali rasa kemanusiaan yang dipantik oleh citra-citra yang
menyentuh yang dijumput dari reruntuhan pertempuran, kini bukan saja tampak tak
berdaya, tapi bahkan terlihat menumpang hidup dari perang itu. Bagai burung
nasar, meminjam gaya
bahasa Sontag, sejumlah fotografer berkeliaran ke seluruh penjuru buana
berputar-putar mengintai momen-momen menentukan tumpahnya darah dan rontoknya
nyawa manusia untuk mereka patuk berkali-kali dengan kamera yang kekuatan
penetrasinya kian tajam. Dengan kaidah if it bleeds, it leads,9 jurnalisme foto
membanjiri dunia dengan luapan citra yang menyajikan secara
spektakuler tragedi dan bencana manusia. Sejumlah orang pun menjadi kaya dan
terkenal akibat perburuan citra-citra tersebut yang terus menerus diproduksi
dan direproduksi tanpa henti lalu dipompakan jauh hingga ke ruang-ruang pribadi
masyarakat.
Kemampuan merasakan dan memberi makna pada derita orang lain memang punya
peran
penting, selain akar yang sangat panjang, dalam peradaban. Peradaban
Barat-Kristen, juga peradaban Islam, setidaknya di kalangan Syiah, menandaskan
bahwa kemampuan "menghadirkan" dan memberi makna pada derita sang
tokoh, baik itu Kristus atau Imam Ali dan putra-putranya, adalah-dan telah
menjadi-sumber energi kultural yang memberi daya hidup. Telaah mutakhir evolusi
Homo sapiens menunjukkan betapa dorongan berkorban para individu untuk
kepentingan kelompok yang lebih besar merupakan tenaga yang membuat
kelangsungan hidup spesies terjamin lebih baik. Di zaman kita ini, kemampuan
merasakan dan memberi makna pada derita orang lain, kemampuan yang bisa
menggerakkan manusia berkorban untuk sesamanya, telah mengalami penumpulan, dan
sebagian penyebabnya, seperti dikeluhkan Sontag, adalah fotografi. Ketimbang
mengikis penderitaan korban yang tertangkap lensa, fotografi bahkan bisa
memantik munculnya penderitaan lain yang sama sekali tak ada gunanya. Sang
korban pun bisa mengalami penindasan kedua, yang tak hanya menimpa dirinya tapi
juga orang-orang yang terpaut dengannya, kali ini lewat jepretan kamera beserta
berbagai jenis reproduksi dan distribusi citra yang mengikutinya.
Seberapa tinggikah
derajat kesahihan keluhan, bahkan tuduhan, bahwa tak
berkembang luasnya nalar kritis dan demokrasi-yang ikut dimungkinkan oleh
fotografi-sebagian besar disebabkan justru oleh kekuatan dahsyat fotografi itu
sendiri? Bagi Sontag, ketimbang mendorong perluasan demokrasi seperti
dibayangkan Walter Benjamin, kekuatan hebat fotografi justru memalang
pertumbuhan kekuatan politik kultural arus bawah. Kesimpulan Sontag ini bisa
ditarik dari beberapa bagian tulisannya yang kadang memang tampak tidak
konsisten, hal yang membuat W.J.T. Mitchell mengusulkan agar buku On
Photography sebaiknya diganti judulnya menjadi Against Photography. Ada fotografer
yang tak
lagi menyentuh kamera selama tiga tahun setelah membaca OP. Dan sejumlah orang
bahkan bisa meraba sebentuk reproduksi pandangan religius purba dalam karya
Sontag itu: sebuah prasangka teologis yang menandaskan bahwa ketimbang
memuliakan manusia, pengetahuan dan citra (yang antara lain tumbuh lewat
teknologi fotografi) yang dahsyat itu, justru akan menghempaskan dan meyesatkan
mereka. Dalam mitologi Taman Firdaus tradisi monoteisme Ibrahim-yang sumbernya
bisa dilacak ke sehimpun cerita yang lebih tua di Sumeria lama-leluhur pertama
umat manusia diajari nama-nama, lalu kehilangan rahmat dan terlempar ke dunia
yang nista seusai mereka mendekati Pohon Pengetahuan.10
Kontradiksi yang
tampak pada pernyataan-pernyataan Sontag tentang fotografi
berakar pada ketakpedulian Sontag membedakan dengan tegas antara fotografi
sebagai kemungkinan teknologis, dan fotografi sebagai ekstensi antropologis
"masyarakat abad ke-19 dan 20" yang tak punya banyak sumber daya
intelektual, atau yang daya intelektualnya belum rekah penuh. Sebagai
kemungkinan teknologis, fotografi memang bisa revolusioner; tetapi sebagai
ekstensi dari masyarakat yang masih diringkus iliterasi visual, fotografi yang
bisa menaklukkan waktu itu, akhirnya takluk pada manusia, pada konservatisme
dan ketakberdayaannya. Faktor manusia dan iliterasi visual itulah yang membuat
hadirnya-jika dieksplisitkan-dua masalah besar yang terus berulang yang
dimunculkan Sontag dan para pengecam fotografi sejak Charles Baudelaire.
Pertama adalah masalah epistemologis, dan kedua adalah masalah etis.
Meski proses kognisi
manusia jelas tak persis sama dengan proses kerja
komputer, namun prinsip dasar komputer yang membuahkan kecerdasan buatan,
bisa membantu memahami akar-akar masalah epistemologis fotografi. Citra
fotografis pada dasarnya adalah irisan kenyataan; irisan yang sangat tipis dari
tubuh kenyataan yang mungkin sangat besar dan rumit. Ketimbang menampung sebuah
kenyataan dengan segala kerumitannya, otak manusia lebih mudah menyimpan
sejumlah kecil citra fotografis yang tak jarang dianggap mewakili seluruh
kenyataan, dan inilah akar pertama masalah epistemologis fotografi. Ini
juga yang menyebabkan citra statis umumnya lebih dalam menancap di benak
ketimbang citra yang bergerak. Kalaupun ada sejumlah citra bergerak yang
menancap sangat dalam, penyebabnya bukan terutama karena citra yang tampak tapi
cerita yang bergerak mengikat citra-citra tersebut. Banyak hal yang
diperkarakan Sontag dalam OP, khususnya esai "In Plato's Cave" dan
"The Image-World", yang kemudian muncul lagi di RPO, berakar pada
keterbatasan daya tampung memori dan daya olah kognisi manusia. Persoalan
bisa muncul dari dorongan kognitif memberhalakan dan melupakan bahwa citra yang
digambar dengan cahaya itu hanyalah irisan tipis dari kenyataan, bukan
kenyataan seluruhnya. Selembar foto mungkin saja menjadi "wakil"
kenyataan, dan dunia pun seakan bisa diringkas dalam sebuah antologi citra,
namun citra-citra tersebut dan album yang menatanya tetap bukan kenyataan itu
sendiri.
Sebagai rekaman irisan peristiwa, citra fotografis senantiasa terancam oleh
keterbatasan jumlah dan mutu informasi, dan inilah akar kedua masalah
epistemologis fotografi. Selembar foto tak dengan sendirinya memberi informasi
yang memadai tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah irisan peristiwa yang
terekam. Meski tidak selalu, informasi yang terbatas memang bisa berubah
menjadi informasi yang sesat dan meyesatkan.11 Tekanan jumlah
informasi yang terbatas mungkin bisa diringankan dengan membuat rekaman
peristiwa sebanyak mungkin. Namun, dibanding mengunyah gunung lembaran citra
rekaman yang tetap musykil menangkap seluruh kenyataan, otak dan mata manusia,
serta kecenderungan artistiknya, akan memilih menghadapi sejumlah tertentu saja
citra fotografis, yang walau terbatas jumlah informasinya tetap dapat
mengekpresikan hal-hal yang kompleks, membuka jalan ke matra majemuk makna yang
sekaligus menyajikan perspektif atas pengalaman manusia. Hal ini bisa dipenuhi
jika citra fotografis, dengan jumlah informasinya yang mustahil tak terbatas,
sanggup menyajikan informasi yang koheren. Masalahnya adalah bahwa selain
kualitas sang fotografer dan kamera yang disandangnya, unsur-unsur lain seperti
nasib baik dan sekian hal yang tak selamanya bisa diramalkan dan dikendalikan,
berperan besar, dan kadang bisa lebih menentukan, dalam menjerat momen dengan
tingkat koherensi informasi yang tinggi.
Foto-foto yang setara dengan seribu kata memang
selalu mengandung informasi
yang saling topang. Kian tinggi tingkat koherensi informasi foto itu, kian kuat
pula citra fotografis itu bercahaya menerangi dirinya sendiri. Di sisi lain,
cahaya epistemik yang muncul dari citra fotografis sebagian ditentukan oleh
kekuatan orang yang memandangnya. Roland Barthes menegaskan: citra fotografi
pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message
without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi yang
secara paradoksal menjadi dasar pembentukan pesan berisi kode yang pembacaannya
sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.12 Khazanah
pengalaman dan pengetahuan yang memadai memungkinkan orang mengupas
lapis-lapis makna dan menemukan hal-hal penting yang sembunyi di
balik-sekaligus menyingkapkan diri lewat-obyek-obyek yang tertangkap kamera.
Sebagaimana tak semua foto mengandung informasi dengan jumlah dan koherensi
yang memadai, tak semua orang beruntung atau tergerak membekali dirinya
sumberdaya epistemik menyalakan citra-citra fotografis, dan inilah sumber
masalah epistemologis ketiga.13
Citra fotografis memanglah bundelan
kuanta informasi, dan informasi hanya bisa
diproses oleh manusia jika masukan yang datang adalah masukan yang masuk akal,
yang cocok atau kompatibel dengan sistem pengetahuan dan keyakinan manusia yang
menatapnya. Citra-citra fotografis yang mengejutkan, tidak masuk akal, yang
tidak sesuai dengan perangkat lunak manusia bisa membuat otak hang.
Setidaknya otak akan menolak memproses citra-citra seperti itu. Foto-foto yang
menghadirkan ketelengasan perang dan berbagai kekejian manusia mula-mula
mungkin bisa dicerna, bahkan dengan sepercik gairah. Namun, foto-foto ini, selain
bisa membeberkan kekejaman yang mampu dilakukan manusia terhadap sesamanya,
juga sanggup berpendar-pendar menerangi banyak hal yang merongrong pikiran,
termasuk ihwal ketakberdayaan manusia mencegah perang. Kian banyak foto perang
dihasilkan, kian mereka terpojok dengan perasaan tak berkutik itu.
Ketakberdayaan bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan, juga bukan sesuatu
yang bisa ditanggungkan dalam jangka waktu panjang; dan semua itu dapat
disembunyikan dengan cara mengabaikan citra-citra tersebut.
Karena citra-citra fotografis
adalah analogon kenyataan, rusukannya pada
manusia, dan tanggapan manusia terhadapnya, menjadi sangat mendalam.
Citra-citra fotografis yang menghadirkan tubuh yang ringsek dan cacat,
permukiman yang hangus dan terburai, dan berbagai hal yang porak-poranda yang
sangat dekat dengan hidup manusia, akan membangkitkan tanggapan yang sangat
instingtif, sangat atavistik; tanggapan yang datang dari akar-akar yang juga
telah melahirkan solidaritas kemanusiaan dan kebudayaan. Tubuh-tubuh itu
mungkin milik orang lain, bahkan mungkin musuh yang mengancam, yang menurut
ideologi dan iman si pemandang sungguh layak dihancurkan; namun tubuh-tubuh itu
begitu mirip dengan tubuh milik sendiri-citra-citra primordial yang telah
dikenali dengan sangat intim jauh sebelum manusia dapat berbicara, berpikir,
dan berteori. Citra-citra yang menghadirkan tubuh dan kota-kota yang luluh
lantak, baik karena bencana alam maupun bencana karya manusia, bisa sangat
menusuk bagai jarum, atau menghunjam bagai ruyung yang menyiksa manusia dalam
ketercabikan antara bangunan nalar dan tanggapan naluri. Karena citra-citra itu
bisa sangat menikam, maka penampikan terhadap citra-citra fotografis menjadi
tampak lebih sengit.
Masalah epistemologis yang berlapis-lapis, yang puncaknya
menonjolkan
ketakberdayaan, kekejian, dan kedunguan manusia ini membawa masalah etis yang
sangat dirisaukan Sontag. Masalah etis itu, yang ia tuangkan dalam satu buku
tersendiri, RPO, tak lain adalah ketakmampuan manusia bersimpati pada penderitaan
orang lain. Ketakpahaman, ketakberdayaan, mengakibatkan ketakpedulian pada
nasib buruk sesama manusia. Setelah menyesatkan pikiran manusia yang terbatas
dengan pemberian informasi yang tak selalu memadai, fotografi kini melumpuhkan
daya tindak mereka. Yang tampak muncul dari limpahan citra-citra itu akhirnya
adalah kebasnya manusia terhadap citra-citra yang brutal dan tidak manusiawi.
Tetapi, gejala kebasnya manusia pada citra-citra brutal bukanlah pertanda
matinya secara permanen solidaritas manusia. Gejala kebas itu lebih merupakan
petunjuk ketakmampuan bertindak secara tepat dan pantas untuk menyurutkan
penderitaan orang. Sekali manusia bisa memahami situasi dan tahu bahwa
tindakannya bisa berarti, maka respon terhadap penderitaan akan menjadi sesuatu
yang niscaya.
Bahkan kata pun mendadak terbang meninggalkan dunia yang terhenyak
menyaksikan
Banda Aceh, Calang, Meulaboh, dan sejumlah tempat di garis pantai Asia
Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur diterjang oleh Gelombang Tsunami 26
Desember 2004. Gelombang maut akibat gempa tektonik 9.3 skala richter yang
berpusat di dasar laut Andaman, Sumatra, itu
menelan korban hampir 250.000 jiwa dan membuat sekitar 1.700.000 orang
kehilangan tempat tinggal. Ledakan bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki,
yang menghentak dan mengubah sejarah dunia modern, tak menelan korban sebesar
itu. Banda Aceh dan tempat-tempat lain bagai terhempas ke alaf purba, diterjang
kekuatan gelap yang seakan tak berasal dari dunia ini. Untuk beberapa saat,
pemandangan yang luar biasa mengerikan itu di mana cakrawala tampak habis
terbalik, membanting lumpuh akal dan menyihir manusia membatu dalam ketakutan.
Namun, hanya beberapa hari setelah kelumpuhan akal itu, dunia menyaksikan
sebuah gelombang lain yang kemudian saling susul: gelombang solidaritas lintas
benua.
Jika gelombang raya tsunami melumpuhkan mereka yang memandang tayangannya
antara lain karena gambaran kiamat yang banyak disinggung dalam khazanah agama,
maka gelombang solidaritas lintas benua itu mencengangkan justru karena sama
sekali tak terbayangkan oleh siapa pun sebelumnya. Orang-orang dari berbagai
penjuru bumi, bertindak membantu para korban dan ikut menampung rasa pedih
akibat bencana yang dilontarkan dari dasar samudra. Ribuan orang serentak
meninggalkan kerja rutinnya. Di tengah udara yang digantungi maut, mereka
mencari dan menguburkan para korban yang remuk bergelimpangan. Anak-anak di
belahan jagat yang lain memecah tabungan dan menggerakkan kegiatan amal
mengumpulkan dana bantuan. Bencana alam dahsyat itu ternyata telah menggerakkan
gelombang balik simpati dan solidaritas, dengan kecepatan dan keluasan yang
belum ada presedennya. Kamera, internet, dan transmisi satelit tentu ikut
berperan membangkitkan gelombang kemanusiaan berskala global itu.
Bila benar bahwa
limpahan citra penderitaan manusia akan membuat kebas mereka
yang menatapnya, maka gelombang bantuan kemanusiaan pasca-tsunami dan gelombang
bantuan untuk korban bencana alam yang lain, tentunya tak akan terjadi.
Awalnya, mereka yang menatap foto-foto dan rentetan video bencana tsunami itu
mungkin memang terpaku beku. Tetapi kemudian mereka bergerak. Dan mereka
bergerak karena mereka tahu, mereka yakin, bahwa gerakan mereka akan ada
gunanya. Simpati pada penderitaan orang memang akan lebih efektif dan bisa segera
mewujudkan diri jika ditopang oleh kemantapan pengetahuan-keyakinan bahwa
serentetan tindakan akan membawa hasil yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tak
akan membuahkan akibat tak terduga yang dapat merugikan diri sendiri. Terlalu
banyak contoh yang tandas menunjukkan bahwa sesungguhnya niat mulia yang
disangga oleh pengetahuan buruk itu adalah separuh dari bencana.
Telaah ringkas atas
masalah epistemologis dan etis fotografi menunjukkan
setidaknya dua hal. Pertama, bahwa masalah epistemologis itu tidaklah tertanam
secara esensial pada citra fotografi atau kamera itu sendiri seperti yang
berkali-kali dikeluhkan oleh Sontag. Akar terdalam masalah itu ada pada
manusia: pada sejarah dan pengetahuannya, bahkan lebih jauh lagi, pada
konstitusi dan proses kognitif manusia. Otak manusia, dari segi pemrosesan
informasi, secara umum ternyata adalah prosesor primitif yang buruk yang hanya
bisa memikirkan satu hal secara baik untuk satu periode waktu tertentu. Luapan
informasi citra fotografis yang datang dari berbagai penjuru mengepung manusia
tidak dalam kuanta dan paket yang langsung bisa dicerna. Agar bisa dicerna,
arus informasi itu harus disederhanakan dan disesuaikan dengan daya cerna
manusia: sejumlah informasi pun disingkirkan dari citra-citra itu. Penyingkiran
informasi ini bisa bersifat temporer, bisa juga permanen.
Konstitusi kognitif manusia, evolusi otak Homo
sapiens, membuat kecenderungan melupakan menjadi sesuatu yang alami.
Kecenderungan ini juga membantu mereka mengatasi hal-hal yang sulit dimengerti
dan tak dapat dikendalikan. Jika hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti namun
menyenangkan dikendalikan antara lain dalam bentuk fiksi, maka hal-hal yang tak
dimengerti dan menyakitkan ditangani dengan cara lupa. Lupa tak saja bisa
membantu manusia meneruskan kehidupan yang luar biasa getir. Lupa pun berperan
sangat besar, seperti ditunjukkan oleh Ernest Renan, dalam kenangan
selektif-kolektif yang membentuk perasaan ikut memiliki suatu peninggalan yang
kaya dan tanah air tempat sekelompok manusia merasa sama-sama meneruskan sebuah
warisan agung dan pelbagai sesal yang membekas. Dilebur oleh kobaran hasrat
untuk hidup bersama, lupa melahirkan satuan sosial politik terpenting dalam
beberapa abad terkahir: bangsa-bangsa. Kemampuan kognitif untuk melupakan itu
juga yang agaknya membuat foto begitu mudah diterima manusia modern. Dengan
meringkas dunia dalam lembaran, fotografi memberikan jalan yang tampak mudah
untuk menangani kenyataan dan masa depan yang gampang lepas.
Kesadaran bahwa foto adalah
irisan kenyataan membuat masyarakat ilmiah dan
industri citra menjadi kelompok yang paling banyak mengambil manfaat dari foto.
Kaum ilmuwan menggunakan foto untuk menguji dan memperluas pengetahuan mereka.
Foto menjadi sarana untuk memperjelas kenyataan-kenyataan yang rumit. Sementara
itu, industri citra menangguk untung dengan mereproduksi citra yang menawarkan
kenyataan yang tampak dekat dan disukai namun belum terjangkau oleh banyak
manusia. Pertautan antara kapitalisme citra dan "konservatisme"
kognisi konsumen menggerakkan manusia memanipulir kemampuan kamera untuk
menggandakan sekaligus "mempercantik manusia dan dunia menurut selera
(banal) masing-masing", sehingga "the vast maw of modernity has
chewed up reality and spat the whole mess out as images".14 Kamera menjadi
black hole yang menetaskan kosmos yang lebih buruk,
kosmos yang menjadi parasit besar bagi kosmos inang penghasil kamera. Seluruh
persoalan yang ditimpakan pada fotografi memang berakar pada fakta bahwa
fotografi adalah meta-seni, adalah teknologi, yang terkait langsung dengan
manusia, dan manusia adalah nama lain dari masalah. Manusia, betapapun, adalah
"penyimpangan" di alam semesta, persambungan dari hidup arkaik yang
berawal dari sel-sel sederhana yang bertungkus lumus melanjutkan hidup dengan
segala cara di tengah lingkungan yang bukan firdaus.
Hal kedua, yang masih berkaitan
dengan hal pertama adalah bahwa Sontag sendiri
juga secara niscaya terkena oleh hukum universal proses kognitif tahap awal
itu. Ia pun bisa berpikir secara fotografis yang menangkap peristiwa secara
terpenggal-penggal; kalimat-kalimatnya yang aforistis, pikiran-pikirannya atas
kamera dan citra fotografis, adalah snapshot-snapthought yang
diabadikan dan disebarluaskan dengan teknik penyusunan kata yang memang
brilian. Buku OP yang memenangi National Book Critics Circle Award for
Criticism pada 1978, banyak didandani oleh kasus-kasus khusus yang disajikan
seakan fenomena umum yang berwatak fundamental. Sontag memang tak begitu hirau
menegaskan batas-batas telaah dan penilaiannya. Sejumlah gejala yang mungkin
berlangsung luas tapi terjadi dalam waktu yang sebenarnya singkat, atau gejala
yang mungkin akan berlangsung lama tetapi terjadi hanya pada kalangan tertentu
saja, dipulung Sontag dan diangkat sedemikian rupa sehingga tampak menjadi
bukti dari semacam hukum universal fotografi. Hal-hal yang temporer, yang
merupakan bagian dari rangkaian proses yang panjang, dicopot Sontag dan
dibekukan menjadi sesuatu yang seolah permanen. Proses belajar manusia, dan
tanggapannya yang tampak mentah-gagap terhadap citra foto, diomeli Sontag dan
kadang ditangani seakan sindrom dari sebuah patologi sosial menular yang
berbahaya. Sekian peristiwa persinggungan manusia dengan kamera dan lembaran
foto yang diperkarakan Sontag, sungguh bisa-dan telah-menjadi bahan yang baik
bagi puisi dan prosa yang menyentuh.15
16 Pada edisi Penguin, foto
dengan citra manusia yang dibuat
kira-kira 1850 oleh seorang fotografer Amerika yang tak diketahui namanya,
masih terpampang di sampul OP, dan itulah satu-satunya foto di buku yang
menelaah fotografi itu. Pada edisi Picador, foto keluarga manusia itu telah
sama sekali hilang, diganti oleh foto tampang lintang batang kayu yang sudah
lama mati (disain oleh Helfand / Drenttel Studio), dan satu foto Sontag sendiri
berukuran mungil di sampul belakang yang dibuat oleh Annie Leibovitz. Buku RPO
sama sekali tak mengandung citra fotografis; sampul depan buku itu hanya
mereproduksi Lempeng 36 Bencana Perang Francisco Goya.
Polimath Inggris Jonathan
Miller pernah menyebut Susan Sontag sebagai "probably
the most intelligent woman in America",
tapi pembacaan atas tulisan-tulisan Sontag, setidaknya tulisannya tentang
fotografi, menunjukkan bahwa Sontag adalah pandai kata yang piawai menata
epigram yang sekilas tampak rancung berkilau, tapi kadang rapuh dari segi isi.
Sontag mungkin pengamat yang peka, dengan erudisi yang memang luas, namun jelas
bukan analis yang sungguh tajam. Esai-esainya adalah Taman Jalan Setapak
Bercecabang yang kadang rapat dihiasi mekarsari logical fallacy, surga
gemilang bagi para pencari spesimen berona cemerlang psikologi pemikiran, dan
labirin bayang-bayang buram bagi pencari spesimen kukuh epistemologi pemecahan
masalah. Psikologi pemikiran Sontag memang menonjol membuatnya unggul mengindra
berbagai matra dari selaur masalah. Kadang psikologi dan kepekaannya bekerja
"begitu kuat" sehingga ia sanggup membentangkan sederet masalah yang
sebenarnya bukan masalah-setidaknya bukan masalah besar seperti yang dimasygulkan
Sontag. Menghadapi masalah epistemologis dan etis fotografi, Sontag menyajikan
tawaran yang selintas terlihat cemerlang kemasannya, tapi cukup menggelikan
isinya. Di bagian akhir OP, Sontag mengajukan apa yang ia sebut sebagai Ecology
of Image: sebuah upaya untuk menyensor jumlah dan distribusi citra-citra
yang membuat kebas manusia. Pembatasan jumlah dan pengedaran citra fotografis
yang diniatkan untuk melindungi manusia dari mudarat kamera itu dilakukan
Sontag bahkan sejak dari buku OP sendiri.16
Sesungguhnya solusi masalah
epistemologis dan etis fotografi sudah ada pada
Sontag, dan menampakkan diri lebih tegas pada apa yang dikerjakan Sontag, bukan
pada apa yang dipikirkannya tentang fotografi. Dengan kalimat lain, solusi itu
sebagian telah dibentangkan Sontag bukan pada apa yang dinyatakannya, tetapi
pada apa yang dilakukannya. Pemecahan masalah epistemologis sekaligus etis
fotografi bukanlah menjatah jumlah citra yang dikonsumsi manusia, bukan juga
meninting jenis citra yang akan beredar. Unsur terpenting untuk membuat terang
citra-citra itu tak lain adalah waktu, yakni waktu yang sudah dijinakkan.
Darmabakti Batara Kala hadir dalam dua bentuk yang saling kait. Pertama, waktu
menjadi ruang. Selain bisa menjadi semacam ragi yang membuat citra-citra yang
tak bermutu berubah menjadi karya seni, waktu juga dapat menjadi ruang lapang
hening yang memungkinkan proses algoritme kognisi manusia bekerja penuh dan
tumbuh mengembangkan diri hingga piawai mengolah citra-citra fotografis yang
datang tanpa henti dan semula menampik mengisahkan diri.
Ketika waktu menjadi ruang, dan
gerak hadir lebih aktif berlapis, waktu
sekaligus menitis jadi arus yang akan merangkai dan menghidupkan citra-citra.
Menghidupkan citra adalah menghembuskan waktu ke dalam citra-citra tersebut,
memberi kualitas temporal pada citra-citra itu, yang kemudian menjelma menjadi
rangkaian cerita. Citra-citra yang ditata menjadi cerita akan menghamparkan
pengetahuan yang dapat membimbing tindakan dan solidaritas manusia. Diwadahi
oleh kecerdasan bahasa, cerita tertata menjadi sastra yang mampu membentangkan
bukan hanya satu jenis pengetahuan, yang bisa saling menegaskan batas dan
kekuatan masing-masing. Jika komposit pengetahuan itu terpadu secara sangat
koheren, maka hadirlah sebuah dunia, sebuah buana bentukan baru yang lebih
tinggi tingkatannya dan lebih besar dari penjumlahan seluruh pengetahuan yang
menjadi unsur-unsurnya. Sastra yang berintikan cerita, pada gilirannya dapat
diringkas menjadi sejumlah citra. Citra yang dihablurkan dari sastra, bukan
saja menandaskan kekuatan dan pencapaian sastra tersebut; citra-citra itu juga
akan mempermudah otak menampung sastra itu dan memuluskan transmisi kebudayaan
dari generasi ke generasi. Di halaman akhir RPO, yang ditulis hampir tiga
dekade setelah OP, Sontag-yang mencoba memasukkan waktu ke dalam rangkaian
citra dengan menggarap novel, cerpen, drama dan film-akhirnya menandaskan
betapa cerita bisa lebih ampuh dari citra.
Tetapi kata dan cerita tak dengan sendirinya
memecahkan soal etis dan epistemologis.
Bahkan bisa dikatakan bahwa sebagian soal manusia terletak pada cerita.
Sebagaimana citra dapat membawa masalah etis-epistemologi, cerita pun dapat
menyesatkan pikiran dan tindakan manusia. Ditata oleh perangkat kognitif yang
belum berkembang optimal, dikepung oleh lingkungan yang tak sepenuhnya tembus
pandang, cerita-cerita besar yang dihasilkan oleh perangkat kognitif itu juga
dapat menjelma jadi masalah besar. Cerita-cerita agung manusia, dalam bentuk
agama dan ideologi, adalah kekuatan yang dapat mengipas api dan menggiring
manusia saling tumpas. Sebuah bangsa, sekumpulan umat, tentu saja tak akan
langsung menumpas sesama manusia hanya karena mendengar cerita. Di tengah
tumpukan masalah ekonomi politik yang tak dapat diatasi, sebuah cerita besar
dapat menjadi angin yang meniup bara di tengah tumpukan itu dan menstrukturkan
kekerasan yang yang berkobar. Alangkah banyak cerita-cerita besar yang dulunya
mungkin cukup ampuh untuk menjadi kerangka rujukan yang membimbing manusia
memahami kenyataan dan menyalakan tindakan mereka, kini sudah tak lagi memadai.
Upaya untuk terus bertahan menggunakan cerita-cerita besar itu, selain tak
banyak membantu, juga bisa merusak.
Sejak awal karier intelektualnya, Sontag sudah
mengangkat masalah yang
diakibatkan oleh cerita-cerita besar itu. Masalah itu disajikan Sontag dalam
esai yang ikut melambungkan namanya: Against Interpretation. Bagi
Sontag, interpretasi harus dilawan, karena interpretasi adalah balas dendam
nalar pada seni, bahkan balas dendam nalar pada dunia. Di bagian lain esai itu,
Sontag mengakui bahwa interpretasi yang dia maksud tidaklah sebombastis yang
dirumuskannya. Interpretasi yang hendak dilawannya itu tak lain hanyalah
pemaksaan cerita-cerita tua, dalam hal ini teori seni yang didasarkan pada
Psikoanalisis dan Marxisme, untuk menilai kenyataan-kenyataan baru yang
menampakkan diri pada karya-karya artistik mutakhir. Tentu saja bukan tindak
interpretasi itu sendiri yang jadi soal; tindak tafsir adalah hal yang sangat
alami bagi manusia. Yang jadi soal adalah tak memadainya cerita-cerita tua yang
dikenal manusia untuk dipakai menafsir citra-kadaluwarsanya perangkat lunak
besar yang bernama agama dan ideologi untuk mengolah informasi baru.
Perangkat lunak
besar atau grand narratives selalu mencari, menggali,
isi informasi yang sesuai dengan dirinya sambil terus mengabaikan informasi
yang tak dapat diprosesnya. Semakin banyak informasi yang tak dapat ia olah,
semakin tidak stabil sebuah sistem. Sistem yang terbuka memiliki kemampuan
untuk belajar mencerna informasi-informasi baru sambil berubah mengembangkan
diri. Sistem yang tertutup, yang tak ingin mengubah diri namun ngotot
mempertahankan kelangsungan hidupnya, hanya punya satu pilihan: menyingkirkan
dan bahkan menghancurkan informasi-informasi ganjil yang tak dapat diprosesnya.
Menghadapi kepungan perangkat lunak besar tertutup seperti ini, orang bisa
dengan gampang menampik kehadiran grand narratives dan ngotot
memperjuangkan perlawanan terhadap tafsir, lalu dengan sikap fundamentalistik
bersikukuh bahwa karya adalah bentuknya. Tak lebih dan tak kurang.
Tentu saja ada karya
yang sepintas tak mengandung "isi". Karya yang
tak bertumpu pada analogon kenyataan di dunia ini, karya yang tumbuh
hanya dari murni pemikiran, seperti seni rupa abstrak, musik atonal dan
terutama matematika murni yang luar biasa kaya karena selalu terpentang untuk
dihantam dan dilampaui itu, adalah jenis karya yang tak mengandung isi yang
dapat dipisahkan dari bentuknya. Karya-karya seperti ini memang harus didekati
melulu pada permukaannya saja dan upaya untuk menggali isi di baliknya akan
mirip dengan kerja keras menggali senja. Karya-karya ini tentu punya tempat
mulianya sendiri; selain memberi ruang bagi permainan kognitif yang sangat
intelektual, karya-karya semacam ini, setidaknya karya spekulasi matematis,
juga menyimpan kunci pemahaman atas alam semesta seisinya. Makin banyak hal
yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk khayal apa pun yang logis secara matematis
akan mungkin juga terjadi secara fisis. Yang paling merangsang dari pergulatan
atas bentuk-bentuk matematis ini adalah kemungkinan penyingkapan struktur alam
semesta kendati pembuktian fisis belum juga memungkinkan, dan itu bagaikan
mengalami rekahan fajar ketika seluruh daratan dan cakrawala masih terkubur
dalam palung malam.
Jika karya yang tak bertumpu pada analogon kenyataan
cenderung membubung
dan mendorong batas langit tertinggi imajinasi, serta tampak seakan melepaskan
diri dari segala warna yang dikenal manusia; maka karya yang bertumpu pada analogon kenyataan
cenderung terpancang di dunia menyuruki ngarai terdalam pengalaman
manusia, menapaki seluruh spektrum emosi yang bergelimang warna, dan condong
bertahan di ranah di mana warna-warna yang paling kelam berkibar merajalela.
Jika kekuatan utama ranah karya yang pertama adalah inteligensi, maka tenaga
istimewa gugus karya yang kedua adalah solidaritas. Karya yang mengunggulkan
inteligensi memang cenderung bergerak sentrifugal, sementara yang mengutamakan
solidaritas akan bergerak sentripetal. Jika yang pertama tampak sangat asyik
dalam pergulatan dengan bentuk yang terus menjauh dari kenyataan manusia, yang
kedua tampak sangat resah dalam pergulatan merekatkan ikatan antarmanusia yang
terburai dengan jalan mengubah nasib manusia, setidaknya membongkar dominasi warna
dunia.
Pembagian dua kutub karya ini tentu saja adalah penyederhanaan. Sebuah karya
bisa sekaligus punya bentuk dan isi, sekaligus bergulat dengan inteligensi dan
solidaritas. Meski dibangun murni dari inteligensi, karya-karya yang tak
bertumpu dan tak tertarik pada kenyataan dunia, akhirnya akan berjumpa (saling
betot dan saling uji) dengan kenyataan dunia yang tak dipedulikannya; dan hanya
karya yang benar-benar teruji yang sanggup bertahan hidup. Meski berharga
karena solidaritas yang diajukannya, karya yang bertumpu pada kenyataan dunia
juga mengharuskan hadirnya topangan inteligensi; dan bentuk yang tepat sungguh
sanggup menduniakan isi: membuatnya jadi sebuah dunia sendiri, sekaligus
membantu menembus batas menyebar ke seluruh dunia.
Bentuk-bentuk kreatif selalu berasal
dari bentuk-bentuk dasar yang universal,
bentuk primordial yang agaknya berkerabat dekat dengan apa yang dikenal sebagai
cellular automata dalam Teori Komputabilitas, Matematika, dan Biologi
Teoritis.17 Bentuk-bentuk ini adalah perlawanan yang berhingga atas
yang tercerap sebagai tak berhingga, pergulatan menghimpun keanekaragaman dan
kekayaan informasi sebesar mungkin dengan ruang dan materi yang seringkas
mungkin; pertarungan daya hidup menghadapi dunia yang tegak mengangkang dengan
hukum besi yang tak tertawar. Cellular automata itu mematuhi hukum besi
dunia, hanya untuk kemudian mengubah dan melampauinya. Karena sifat dasar
inilah, bentuk, yang selalu dicerap sebagai citra, tampak dapat menembus batas
ruang dan waktu manusia, menyebar melintasi jurang-jurang geografis dan
linguistik, meneruskan diri dari zaman ke zaman. Bentuk-bentuk itu sesungguhnya
tak menembus batas, mereka hanya mengunjungi diri mereka sendiri, yakni hidup
bertarung melampaui dunia dan dirinya sendiri, yang mendekam di ruang dan waktu
yang lain. Bentuk memang tak mengenal pusat dan pinggiran, mereka hanya tahu
yang tunas dan yang rimbun. Tunas adalah potensi yang mendekam, dan menjadi
rimbun karena unsur-unsur sosio-historis dan terobosan para jenius. Diolah oleh
nalar yang gemilang, bentuk dapat tumbuh menjadi visi. Dunia mungkin terlalu
besar dan terlalu rumit untuk ditampung oleh ingatan seorang manusia, namun
dengan visi yang benar-benar hebat, dunia bisa menyusut menjadi terlalu kecil
dan terlalu sederhana buat imajinasinya.
Sastra terbentang luas di sepanjang spektrum
tadi karena unsur dasar sastra adalah kata, yang sekaligus mengandung bunyi dan
makna. Unsur bunyi yang juga menjadi bahan dasar musik, membuat (suku) kata
seperti bata dalam membangun kota:
bahan dasar menyusun struktur dan menata bentuk yang kompleks. Bunyi, dan
kemudian juga aksara, adalah unsur indrawi dari kata, namun ketika sepatah kata
dilahirkan, maknanya-lah yang secara intuitif mula-mula menggerakkan manusia.
Makna yang berkembang secara gemilang niscaya akan merangsang rentetan tindakan
manusia yang juga cemerlang, dan dunia pun dengan bergairah bergerak meniru
sastra. Makna yang tertata dalam waktu adalah perangkat paling bagus untuk
"menggerakkan" hal-hal dalam waktu. Menyebut suatu benda atau suatu
kerja berarti menghadirkannya dari masa yang bukan hanya sekarang. Selain ikut
dalam permainan bentuk, makna selalu membuat kata menunjuk pada kenyataan yang
ada di dunia, baik kenyataan yang sudah ada sebelum bahasa-world is ancient, word is
recent-tapi yang kehadirannya kian disadari dalam bahasa, maupun
kenyataan yang kemunculannya hanya dimungkinkan oleh perkembangan bahasa.
Bahasa dan kebudayaan manusia memang gejala yang sangat baru, walau benar-benar
revolusioner, dalam evolusi makhluk hidup di Bumi.
Karena jelas mengandung
analogon kenyataan, fotografi, khususnya yang
merekam penderitaan umat manusia, menjadi yang paling kuat tertarik oleh
gravitasi dunia manusia. Bagi sensibilitas penyembah bentuk, isi dunia dalam
fotografi bisa membawa soal. Isi tentang penderitaan dan kebuasan manusia, bisa
sangat menganggu kenikmatan mencerna bentuk-bentuk imajinatif dengan berbagai
mutasi dan transformasinya. Sensibilitas timpang yang hanya mentok memuja
bentuk-bentuk yang tampak di permukaan, akan cenderung mengosongkan isi, dan
mereka punya tendensi kuat terjerat menakhlikkan karya yang apolitis, disengaged.
Pengosongan isi pada sastra memungkinkan sastra lepas dari timbangan kekuatan
isi, dari takaran struktur dan morfologi gagasan-pengosongan yang sekaligus
juga membebaskan sastrawan dengan naif memulung rongsokan epistemik.18 Pengosongan isi pada
fotografi dapat membebaskan si penatap dari runjaman etis
sembari memanjakan diri dengan bentuk-bentuk yang mungkin saja sangat membius.
Tapi justru rasa nikmat atas bentuk yang disesap dari citra yang merekam
penderitaan manusia inilah yang diperkarakan Sontag panjang lebar. Sontag
jelaslah bagian dari mereka para penjunjung karya yang selain menghormati
intelek yang gemar bentuk, juga mengukuhkan solidaritas yang menuntut tindakan
etis-politis untuk ikut menata ulang mayapada. Meski tak selalu bisa ia
wujudkan, karya seperti inilah yang diidam-idamkan Sontag.
Dalam hal Sontag, aspek
solidaritas ini memang bisa, bahkan kerap lebih kuat,
dari aspek intelektualnya. Solidaritas itulah sesungguhnya tulang punggung
pikiran-pikiran Sontag. Bahkan esai-esai awal dia yang sontak melambungkan nama
Sontag, esai-esai yang suntuk menggugat interpretasi sembari memuliakan style,
adalah teks yang ditenun oleh solidaritas: pembelaan terhadap sensibilitas yang
terabaikan. Solidaritas itu pula yang berpengaruh kuat dalam penyusunan
naskah-naskah terbaik dia yang memang sungguh memikat, hangat dan berpendar,
yakni esai-esai yang ditata untuk mengenang dan menimbang para penulis pemberi
ilham-Walter Benjamin, Elias Canetti, Albert Camus, Roland Barthes. Solidaritas
pada Sontag begitu besar, sehingga ia bisa menangguhkan tuntutan inteligensi,
yakni inteligensi pembangun sistem yang serentak mencintai bentuk dan menghormati
struktur logika yang kokoh. Preferensi atas solidaritas yang mendahului
inteligensi ini condong terjadi dalam situasi yang sangat menekan, dan
merupakan akibat dari hukum dasar kehidupan. Solidaritas memang berkait rapat
dengan dorongan untuk mempertahankan hidup bersama hari ini, dan inteligensi
tak lain dari temuan mutakhir kehidupan yang diperoleh dengan susah payah untuk
membantu pergulatan mengawal kelangsungan hidup di masa depan. Takkan ada masa
depan tanpa kelangsungan hidup hari ini memang, kendati kelangsungan hidup hari
ini akan semakin lebih baik jika ada wawasan kokoh yang cendekia atas masa
depan.
Ada memang orang yang punya kegilaan tertentu
yang menyeret mereka melupakan diri lebur di tengah massa, mengorganisir kaum terinjak dan
menyuarakan gema yang tersangkut di tenggorokan rakyat. Mereka ini mungkin
melihat jelas betapa perang dan penindasan sungguh merobohkan kode normal
perilaku beradab manusia,19 dan dari sana berupaya membangun solidaritas dan
menyalakan api yang membangkitkan harga diri kaum jelata. Tapi ada juga
kalangan dengan kegilaan yang lain: kegilaan inteligensi yang lebih terpukau
pada citra kenyataan ketimbang kenyataan itu sendiri; kegilaan yang mabuk pada
tilas kekekalan dalam lintasan nanodetik, pada sel kosmis yang mengandung
segenap informasi semesta yang tersemat dalam serpihan peristiwa. Kaum ini
mungkin terlibat oleh bentuk-bentuk geometris di luka yang menganga atau
lengkung kurva pada tubuh cacat ringsek yang mengerut menahan lindasan kanker
dan kekejian politik; terbantun oleh jejak yang transenden pada tubuh-tubuh
yang pasrah dikerat keroyokan belati. Kegilaan jenis ini bisa jadi datang dari
para pembunuh berantai; dari psike kanak-kanak afkir yang bersarang di tubuh
dewasa yang tak cukup dengan hanya dirangket. Tapi kegilaan jenis ini juga
menjadi fajar dari seni seperti yang dikiaskan oleh legenda Wang Fo, pelukis
lemah yang konon sanggup menciptakan kenyataan baru di kanvasnya.20 Inteligensi semacam ini
pun meretas jalan ilmu seperti yang disajikan oleh
Andreas Vesalius, yang dengan sabar dan cermat membedah serinci mungkin mayat
manusia, lalu dengan khidmat menggambar apa yang tertangkap retina matanya.
Hasilnya adalah kitab penting yang menegakkan ilmu anatomi modern: De Humani
Corporis Fabrica (Tentang Tata Kerja Tubuh Manusia).
Selain kepiawaian menata
kata yang menyesap perhatian, yang mengesankan dari
Sontag adalah bahwa ia bisa mencalang pendapatnya yang lama, bertengkar dengan
pendapat-pendapat itu dan tak gentar mengakui sekian kesalahan yang dibuatnya.
Meski kelak dikenang bukan karena kekokohan dan koherensi argumennya, tapi
kelihaian dan keberanian Sontag dalam menggelorakan sejumlah pendapat memang
menawan; begitu menawan sehingga pendapat-pendapatnya masih didekap kukuh oleh
sejumlah pemeluk teguh bahkan ketika Sontag sendiri sudah meninggalkannya. Di
esai terakhir yang ditulis menjelang kematiannya, esai yang menyorot foto-foto
di penjara Abu Ghraib dan penyiksaan telengas yang ditimpakan ke sesama
manusia, Sontag akhirnya menyambut, dengan nada yang melambung, produksi dan
distribusi citra yang mengalir tanpa henti.21 Ia pun akhirnya
percaya fotografi bisa benar-benar ikut memperbaiki dunia, dengan terus-menerus
mengingatkan kemampuan manusia bertindak brutal, sambil tanpa henti mempererat
jalinan solidaritas. Solidaritas memang akan menjadi kokoh jika ditopang oleh
pengetahuan, dan pengetahuan yang andal menuntut tafsir yang tepat. Dan tafsir
yang tepat, pengolahan informasi yang unggul, selain membutuhkan prosesor yang
baik, juga memerlukan perangkat lunak yang selalu terbuka untuk memutakhirkan
diri.
Kecepatan rerata kerja otak manusia mungkin memang belum bisa dilontarkan;
benak manusia belum perlu dibuka lalu diperindah dengan berbagai mikroprosesor
tambahan, sel tubuhnya belum harus dipercantik dengan untaian gen penambah
jumlah sel-sekaligus penghasil molekul pemicu kerja-neuron. Tapi setidaknya
prosesor biologis itu bisa dibantu dengan khazanah memori yang lebih baik,
termasuk memori visual yang berhutang banyak pada fotografi. Sembari memperlebar
basis pengambilan keputusan, penalaran moral dan pengarahan etis solidaritas
manusia yang lebih cendekia, penambahan memori itu ikut membentangkan
kemungkinan luas membebaskan dunia dari iliterasi citra, membebaskan sejarah
dari watak buruknya untuk selalu mengulang dirinya sendiri-mengulang kesalahan
lama sambil giat membiakkan kesalahan baru. Akumulasi khazanah memori-dan
abstraksi-visual dalam lumbung citra umat manusia, berjalan bareng dengan
pengembangan perangkat lunak yang lebih bagus, yang tuntas
"mengoreksi" metanaratif tua yang telah mengalami pengapuran dan
terpecah belah oleh gempuran kenyataan-kenyataan baru. Makhluk-makhluk kognitif
lawas ini bertanggung jawab melanggengkan "paradoks epistemologi
dunia" berupa kandasnya pertumbuhan kemampuan manusia meretas berbagai
masalah yang terus melimpah di saat ilmu pengetahuan justru melambung tumbuh
secara eksponensial. Cerita-cerita yang diturunkan mentah-mentah dari
metanaratif renta, yang kemudian dipakai untuk merangkai luapan citra itulah yang
ikut memasung gerak emansipasi dan mempersempit kerangka etis solidaritas
manusia.
Di bagian awal OP, Sontag menandaskan bahwa kamera punya kekuatan agresi,
seperti pistol: keduanya bisa menembak. Kamera juga punya kekuatan penetrasi,
seperti lingga, sehingga mereka yang dipotret bisa merasa seperti diperkosa.
Kini kita bisa berkata, ketimbang sebagai lingga yang punya daya penetrasi,
kamera malah lebih mirip organ reproduksi perempuan, sejenis black hole,
dengan daya tangkar yang sanggup melumpuhkan pikiran waras di satu sisi, tapi
juga mampu di sisi lain merangsang lahirnya pikiran-pikiran segar yang
cemerlang. Dengan trimurti rantai genesis citra-cerita-sastra, dengan black
hole yang disangga oleh kedua tungkai jenjang inteligensi dan solidaritas
yang pangkalnya saling tangkup, citra-citra yang direproduksi itu pada akhirnya
merekahkan munculnya citra-citra baru: dunia dan manusia "melahirkan
kembali" dirinya, melampaui batas-batas yang disungkupkan bukan saja oleh
sejarah dan kebudayaan tetapi juga oleh evolusi biologis dan evolusi kognitif
manusia.
Pelahiran sekaligus perluasan-rasa-diri itu akan berselirat dengan penyingkapan
yang lebih jauh atas ketaksadaran optik manusia yang ranahnya sungguh lebih
luas dari yang mungkin dibayangkan Walter Benjamin. Selain menghimpun dan
menghidupkan sebanyak mungkin citra, bukan hanya citra yang diproduksi oleh ibu
kota sebuah abad-seperti yang diupayakan
Benjamin dalam The Arcades Project-penyingkapan
itu mempertegas kemungkinan jenis ketaksadaran yang lain: "ketaksadaran
cahaya" yang juga menghimbau untuk dijelang dengan solidaritas, dengan
"pathos kuriositas dan keterpautan". Tak peduli setajam apa pun
perangkat optik manusia dikembangkan, akan mungkin ada wilayah kenyataan yang
kehadirannya belum dapat dicerap. Bukan karena instrumen observasi manusia tak
cukup canggih, tapi karena gelombang cahaya, tilas kenyataan tersebut, setelah
mengembara ke segala penjuru selama sekian miliar tahun, tetap belum juga tiba
di dunia. Karena galaksi-galaksi di alam semesta terus bergerak saling menjauh
dengan kecepatan yang kian pesat, maka cahaya dari wilayah tertentu semesta
mungkin tak akan pernah mencapai Bimasakti-dan tak akan mungkin bisa menyusul
sampai, sampai inteligensi sanggup mengatasi dan memainkan ruang jagat raya.
Di salah
satu fiksi Borges terpenting dan yang telah disebut di bagian depan, Tlön,
Uqbar, Orbius Tertius, si narator yang tak menyebut namanya itu antara lain
bercerita, dengan nada tawar hampir masygul, tentang penyusupan dunia fantasi
ke dalam dunia nyata, tentang tergesernya pengetahuan-pengetahuan tradisional
dan masuknya pengetahuan-pengetahuan baru di sekolah-sekolah yang disusun oleh
kaum yang hendak menciptakan ulang kehidupan di bumi. Borges, yang oleh Sontag
dibayangkan satu-satunya manusia-makhluk fana-yang layak menjadi khalik:
menjadi tuhan dengan kekekalan literer, itu mengkhayalkan betapa karya terbesar
umat manusia itu adalah penyusunan ensiklopedia raksasa yang dengannya akan
disebarkan kenyataan dan kehidupan baru. Ezra Buckley merendahkan dan
menertawai keluguan rencana agung untuk hanya menciptakan sebuah negeri
niskala, lalu menantang untuk menyusun satu set ensiklopedia mengenai sebuah
planet baru yang akan mengambil-alih kehidupan planet Bumi. Kini, mirip Ezra
Buckley, kita bisa tersenyum manis-maklum melihat keluguan fantasi ajaib Borges
yang baru sampai pada gagasan tentang penciptaan ulang kehidupan sebuah planet,
dan belum melihat kemungkinan penciptaan ulang sebuah semesta raya; fantasi
yang dengan tegas menyakini bahwa alam semesta, kuasa hukum langit, adalah
tatanan serentak labirin yang secara mutlak tak akan pernah cukup manusia
pahami.
Borges yang beranjak buta memang layak dikaji karena terobosannya melambungkan
sastra ke aras yang lebih tinggi serempak menghamparkan sebentang cakrawala
baru. Terobosan itu berkelindan dengan ketajamannya melihat tembus masa depan,
mendahului banyak peristiwa dan temuan penting di simpang alaf. Tlön, Uqbar,
Orbis Tertius yang terbit di Jurnal Sur edisi Mei 1940 itu bisa
dilihat sebagai ramalan penuh ejekan atas kebangkitan dan kekonyolan
totalitarianisme, tak hanya "Imperium Ketiga" Hitler. Cerita itu juga
bisa dicerap sebagai pelukisan kecerdasan manusia dan perubahan dahsyat yang
diakibatkannya pada dunia masa depan. Namun ukuran kedahsyatan akal dan
masa depan yang ditangkap Borges, adalah ukuran yang kini tampak culun prasaja.
Tapi kembang juga bermula dari kuncup, dan imajinasi pasca-borgesian diam-diam
merekahkan diri: imajinasi yang menarik sejauh mungkin dialektika antara
pengetahuan yang fiktif dan kenyataan yang fiksius, kenyataan yang jauh lebih
ajaib dari apa yang dibayangkan manusia tapi yang selalu membuka jalan bagi
inteligensi untuk masuk memahami. Yang sedang kita hadapi adalah sesuatu yang
jauh lebih dahsyat sekaligus lebih alami dari fiksi Borges: sejarah yang
terentang miliaran tahun yang silam mulai menyerap dan mengubah sejarah yang
pernah dituturkan di masa silam dan telah memecah belah dunia; suatu masa silam
universal yang membongkar dan mengatasi masa silam etno-religius.
Mereka yang membaca
naskah Martin Heidegger, filosof cemerlang nan sial yang
khusyuk merenungi Ada dan Waktu itu, mungkin dengan takjub akan menyebut
proses yang dikabarkan tapi keliru dimengerti oleh Borges tadi sebagai,
meminjam Heidegger, pelapangan (lichtung) dan penyingkapan total Sang
Ada pada dirinya sendiri, pada kecerdasan manusia yang adalah puisi dari Sang
Ada. Di esai pentingnya yang terakhir yang bertajuk The End of Philosophy
and the Task of Thinking, Heidegger sudah menandaskan beralihnya tugas
penyingkapan Ada, dari filsafat yang sudah tamat, ke pengetahuan ilmiah yang
berkerja seperti kibernetika yang meletakkan di titik simpul manusia yang
bertindak. Kendati pengetahuan ilmiah telah diremehkan Heidegger (dianggap tak
lain dari sekadar turunan pucat filsafat-sumber yang sudah pungkas habis),
namun pengetahuan ilmiah telah bekerja secara spektakuler menyingkap sebagian
rahasia autopoesis alam semesta seisinya.22 Proses kerja ilmu
yang berkembang semakin istimewa itu, merombak banyak cerita agung tua, sambil
membangun mahacerita baru: mahacerita alam semesta menurut alam semesta sendiri
sebagaimana yang ia singkapkan secara bertahap pada pengetahuan rasional.
Penyingkapan total itu banyak dibantu oleh fotografi. Foto bukan lagi sekadar
arsip yang pasif dari kenyataan yang akan hilang seperti yang ditandaskan
Sontag: foto telah berubah aktif menjadi semacam panggilan buat penyingkapan
lebih jauh kenyataan-kenyataan baru yang lebih menakjubkan.
Hadiah Nobel adalah salah
satu pranata bikinan dunia yang sejak kelahirannya di
fajar abad ke-20 jelas menandaskan peran vital fotografi dalam kerja
penyingkapan mahacerita semesta dan segala hal yang berkembang di dalamnya.
Alfred Nobel mewasiatkan agar hartanya dikelola untuk pengembangan ilmu yang memberi
sumbangan terpenting bagi umat manusia, untuk penciptaan sastra yang paling
menonjol menggapai cita-cita tertinggi kemanusiaan, serta untuk pengikisan
angkatan perang dan pengukuhan perdamaian antar bangsa. Ilmu yang memenuhi
syarat Nobel adalah ilmu yang obyektif, bebas nilai, dapat diuji bersama dan
punya kemampuan prediksi yang bisa membantu manusia menghadapi masa depan.
Dengan segenap keterbatasannya, fotografi berperan di dua ranah: verifikasi dan
observasi. Sebuah teori mungkin saja membentangkan kecanggihan formal
inteligensi manusia namun belum tentu menunjukkan dengan jitu hakekat pelik
kenyataan dunia yang hendak dijelaskannya. Adalah fotografi yang kadang jadi
penentu akhir kesesuaian antara prediksi teoretis dengan kenyataan alam dan
perilaku manusia. Jika kamera dan peranti observasi lainnya yang berkembang
kian halus menangkap fakta-fakta baru yang belum sanggup dijelaskan oleh
pengetahuan ilmiah, selain menggiring ilmu memasuki kawasan anyar, mereka juga
memaksa ilmu mengoreksi dan merevolusi diri. Bukan kebetulan bahwa Hadiah Nobel
pertama (1901) untuk bidang Fisika diberikan kepada Wilhelm Conrad Röntgen.
Penemuan Röntgen tak saja membuat ilmu dapat melihat tembus obyek-obyek dunia,
menyingkap sebagian ketaksadaran optis manusia. Penemuan itu juga memberi
kekuatan baru pada jagat kedokteran untuk memahami sekaligus menawar beraneka
penyakit yang telah merundung umat manusia.
Agar tubuh manusia dapat menggunakan
informasi yang tersimpan dalam gen, satu
salinan harus dibuat dulu (transkripsi) lalu ditransfer ke bagian luar sel. Di sana, salinan itu
dibaca
sebagai titah untuk membuat protein-yang pada gilirannya menyusun organisme dan
fungsi-fungsinya. Roger D. Kornberg, peraih Hadiah Nobel 2006 untuk bidang
kimia, adalah ilmuwan pertama yang membentuk satu gambar aktual tata kerja
transkripsi di tingkat molekuler pada kelompok besar organisme eukariot
(organisme yang selnya jelas punya inti). Manusia masuk ke dalam kelompok besar
ini, seperti halnya bunga rangda-bermata-hitam dan ragi-penghimpun-sukma. Jika
transkripsi macet, informasi genetik tak lagi dapat ditransfer dan tak
organisme akan mati, atau tergilas sejumlah penyakit. Kornberg memanfaatkan
teknik kristalografi yang dimungkinkan oleh penemuan Röntgen untuk menghasilkan
foto freeze frame dengan citraan pembacaan perintah yang begitu rinci
dan halus sehingga atom-atom individual bisa terlihat. Citra-citra Kornberg
adalah bagian dari khazanah citra yang bergabung membangun cerita tentang
kehidupan hayat. Jika Hadiah Nobel Fisika 2005 diberikan kepada tiga ilmuwan
yang mengembangkan optika kuantum dan spektroskopi berbasis laser, Hadiah Nobel
Fisika 2006 diberikan kepada John C. Mather dan George F. Smoot untuk temuan
yang berpaut dengan kurun awal pertumbuhan jagat raya. Cabang khusus fotografi
yakni spektrofotometri, dipakai untuk menangkap radiasi latar gelombang kosmik,
buat mengukur rona pucat di langit yang tersisa dari Big Bang, ledakan
mahabesar yang dianggap menjadi awal alam semesta sekitar 14 miliar tahun yang
silam. Citra-citra spektrofotometri itu memperjelas pengetahuan manusia atas
rincian cerita masa kanak-kanak alam semesta. 23
Bersamsung di bagian ke-2.