Waktu Ketiga
St. Sunardi
Kalam 23 · 2007
Fotografi dan Budaya Visual
Roland Barthes mengawali perjalanan intelektualnya di bidang leksikografi, lalu kritik sastra strukturalis, kritik budaya kontemporer, dan akhirnya fotografi. Dari seseorang yang sibuk mencari makna kata, struktur kalimat, kekuatan sastra, dan bentuk-bentuk ideologi, di kemudian hari ia menjadi seseorang yang berdialog dengan foto yang bisu dan membaca foto yang tak bisa dibaca. Buku terakhirnya, Camera Lucida, adalah bukti akan hal itu.
1 Roland Barthes, Image-Music-Text, terjemahan Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 32-51.
Apakah Barthes benar-benar membuat teori tentang fotografi? Banyak orang berpendapat begitu. Sejumlah orang pun mengikuti langkah-langkahnya saat menafsirkan foto. Namun, pendapat itu sesungguhnya sulit berlaku jika kita membaca Camera Lucida. Buku ini lebih mirip buku harian atau catatan rohani seorang Barthes ketimbang teori tentang fotografi. Wacana teoritis tentang foto secara sepintas memang kita temukan dalam artikelnya "Rhetoric of the Image".1 Tetapi tulisan itu pun sebenarnya tidak mengulas foto secara khusus. Di sana ia pertama-tama membicarakan iklan dan media massa. Meskipun demikian, nama Barthes dan tulisan-tulisannya tentang fotografi tampaknya sulit dilewatkan ketika orang membahas masalah fotografi.
Teori tentang citra
Untuk sementara, saya ingin mengesampingkan status Barthes sebagai teoritikus fotografi dan mencoba mengedepankannya sebagai pencari teori tentang citra. Apa yang selama ini disebut teori fotografi Barthesian bisa kita bahas dalam konteks teori tentang citra. Sudut pandang ini bisa membantu kita mengaitkan tulisan-tulisannya tentang fotografi dengan tulisan-tulisan sebelumnya yang sebagian besar bicara tentang teks.
Pembahasannya tentang citra tidak bisa kita pahami secara sempit. Barthes tidak tertarik dengan citra pada dirinya sendiri. Minatnya pada persoalan citra sejalan dengan minatnya mengamati masyarakat konsumen di mana citra menjadi sangat dominan terhadap kesadaran manusia. Pembicaraannya tentang citra (termasuk dalam fotografi) tidak bisa dilepaskan dari kepentingan praktis. Hal demikian sangat dekat dengan apa yang dilakukan oleh Deleuze dengan film. Sebagaimana Deleuze menjalankan "praktik konsep", yakni menyediakan konsep praktis untuk mendekati hasil budaya produksi citra, Barthes juga menggunakan konsep-konsep yang ditarik dari budaya media untuk menguraikan persoalan-persoalan kemanusiaan pada zamannya.
Teknologi fotografi (juga film) menjadi pintu masuk yang menantangnya untuk bicara tentang citra. Ia melihat bahwa budaya media telah menghasilkan citra-citra yang menjadi umum atau stereotipe sehingga kekuatan dahsyat foto terjinakkan. Kekuatan yang mana? Kekuatan itu ia kisahkan dari awal sampai akhir dalam Camera Lucida. Buku ini merupakan semacam kesaksian seorang Barthes ketika ia—menggunakan istilah Barthes sendiri—merefleksikan fotografi. Di sana ia mengangkat berbagai topik yang tercecer oleh cara baca struktural.
2 "The Image", dalam Roland Barthes, The Rustle of Language, terjemahan Richard Howard (Berkeley: University of California Press, 1978), 356.
Sebelum menulis Camera Lucida, ia cenderung membaca citra dalam foto sebagaimana ia membaca teks. Kalau toh dibicarakan, kategori citra kurang penting. Sebagai seseorang yang tumbuh di lapangan linguistik hingga pragmatik, ia tergila-gila pada kategori makna. Dalam struktur tidak ada citra, yang ada hanya makna, lalu obyek, dan akhirnya mitos/ideologi. Meskipun demikian tidak berarti ia menolak adanya citra. Ia mengakui tetapi belum menjelajah ke sana. Dalam hal ini manusia digambarkan sebagai makhluk pencari makna (Saussure) atau makhluk ideologis (Althusser). Saat teks tidak bisa dijelaskan dengan teori produksi makna, ia menciptakan konsep baru, yaitu signifiance. Saat ia tidak bisa memasuki wilayah citra dengan kategori teori teks, ia menyebutnya sebagai after-the-fact. Oleh karena itu saya mempertegas nama semiotikanya dengan sebutan "semiotika negativa". Ini adalah semiotika tentang wilayah tak terbaca. Hampir pasti dalam benak Barthes ada theologia negativa.2 Pada saat berhadapan dengan wilayah tak terbaca itulah kategori citra mulai mendapatkan tempat agak penting.
Buku Camera Lucida adalah sebuah pengudaran gairah Barthes dalam membahas citra. Ini adalah "teori" tentang hal yang tidak bisa diteorikan—yang dijalankan hanya dengan sikap percaya pada pengalaman langsung. Menarik diperhatikan bahwa kali ini ia dibayang-bayangi ihwal Waktu. Pengalaman paling mencolok saat merefleksikan foto adalah pengalaman akan waktu. Seandainya tidak mati mendadak, bisa jadi ia akan meneruskan perjalanan intelektualnya dengan penelitian tentang waktu.
Catatan awal tentang studium - punctum
Untuk membahas teori Barthes tentang citra dalam foto (dan kaitannya dengan Waktu), kita berhadapan dengan sejumlah konsep. Ada konsep-konsep yang sudah lazim dipakai (seperti citra, representasi), ada konsep yang jarang dipakai (seperti oneiric dan ecmnesic), dan ada pula konsep yang kelihatannya baru sama sekali, yaitu studium dan punctum. Sepasang konsep inilah yang menjadi tulang punggung Camera Lucida. Jika sebuah konsep dalam sebuah teori memiliki kekuatan menjelaskan untuk sementara, ada baiknya kita menelusurinya sejenak untuk tahu persoalan apa yang hendak dijelaskan lewat konsep itu.
3 Derek Attridge "Roland Barthes’s Obtuse, Sharp Meaning and the Responsibilities of Commentary", dalam Jean-Michel Rabaté, ed., Writing the Image After Roland Barthes (University of Pennsylvania Press, 1997), 77-89. Dalam buku kumpulan artikel ini Derek Attridge bukan satu-satunya penulis yang membahas konsep studium dan punctum.
Konsep studium dan punctum amatlah penting sehingga para penafsir tulisan Barthes tentang foto tidak pernah melewatkannya. Sejauh ini saya melihat bahwa hampir semua penafsir mencoba memahaminya dari dalam (intra-tekstual). Misalnya, dalam sebuah artikelnya Derek Attridge dengan tepat menjelaskan hubungan konsep punctum dengan teori Barthes tentang "makna ketiga".3 Namun, ketika sampai pada pembahasan istilah studium dan punctum, ia mengatakan bahwa kedua ungkapan ini bukanlah konsep. Keduanya lebih merupakan nama diri (proper names) daripada kategori teoritis. Keduanya dimunculkan untuk menamai keunikan pengalaman. Tapi mengapa ia tiba-tiba menggunakan nama Latin? Mengapa tidak, misalnya, menggunakan kata Yunani seperti banyak dilakukan oleh Deleuze?
4 Helen McDonald, Erotic Ambiguities: The Female Nude in Art (London: Routledge, 2001). Selanjutnya ditulis Erotic Ambiguities.
Hal serupa juga dilakukan oleh pengamat lain, Helen McDonald.4 Dalam pembahasannya tentang ambiguitas representasi dalam fotografi ia mengangkat kedua konsep Barthes tersebut. Ia hanya mencirikan studium sebagai sesuatu yang terkodekan, sedangkan punctum tidak. Kedua konsep ini dipakai untuk menjelaskan ambiguitas representasi dalam foto. "Fotografi", sebagaimana dikutip oleh McDonald, "menjadi medium yang aneh, bentuk halusinasi: palsu pada tingkat persep, benar pada tingkat waktu" (Erotic Ambiguities, 79). Lalu bagaimana perjalanan dari studium ke punctum? Sama sekali tak disentuh.
Sejak semula saya bertanya-tanya mengapa Barthes memakai istilah studium dan punctum. Mengapa keduanya ia kaitkan dengan satori? Saya menduga kedua konsep itu ia petik dari tradisi latihan rohani, seperti halnya semiotika negativa dari tradisi teologi. Dugaan saya ini menguat saat saya memeriksa kembali analisisnya tentang latihan rohani yang terdapat dalam Sade/Fourier/Loyola.5 Dalam tradisi latihan rohani yang lazim dipraktikkan di Eropa, puncta adalah saat seseorang menemukan pokok-pokok renungan. Sebelum mendapatkan puncta, orang biasanya melakukan studium atau bacaan rohani (bukan belajar).
5 Roland Barthes, Sade/Fourier/Loyola (The Johns Hopkins University Press, 1976), 39-75. Selanjutnya ditulis Sade.
Kedudukan puncta ini dengan jelas kita lihat dalam "Pohon Latihan Rohani" yang kita temukan dalam Sade/Fourier/Loyola.5 Tanpa bermaksud mereduksi teori citra pada spiritualisme, cobalah bandingkan istilah yang dipakai Barthes tersebut dengan salah satu tahap dalam latihan rohani: Oratio, Preparatio, Puncta, dan Colloquium. Puncta merupakan pokok-pokok yang hendak direnungkan selama seseorang menjalankan latihan rohani. Puncta biasanya merupakan hasil suatu penjelajahan, pengamatan. Dalam studium seseorang masih boleh membaca. Dalam puncta, sebaliknya, orang harus menutup mata dan membiarkan apa yang diingat untuk direnungkan. Dalam puncta orang bebas membuat ceritanya sendiri sampai akhirnya orang berbicara (dalam doa tentunya berbicara dengan Tuhan) dan tidak lain menjadi subyek pasif.
Dengan menghubungkan konsep studium dan punctum kepada tradisi latihan rohani, saya hanya ingin menegaskan bahwa kedua konsep ini dipakai untuk menunjukkan sebuah proses di mana gerak dari satu tahap ke tahap lain menyiratkan adanya kontinuitas dan diskontinuitas, dan akhirnya mengalami kebaruan sama sekali. Kalau fotografi mempunyai kekuatan dahsyat, bahkan gila, hal itu pertama-tama tidak terletak pada obyeknya yang spektakuler melainkan pada cara memandangnya.
Kritik estetika foto
Tujuan Barthes merefleksikan fotografi sebenarnya cukup sederhana. Tujuan itu dikatakan pada akhir Camera Lucida: mencapai ekstasi fotografis, kembali ke Waktu. Ekstasi ini dicapai sejauh kita bisa berhadapan dengan kegilaan fotografi. Pencapaian ini meliputi pembalikan "jalan lazim hal-ihwal". Jadi, Waktu merupakan tujuan akhir dari refleksi tentang foto. Apa yang terjadi saat kita ingin kembali pada Waktu? Hal-hal apa saja yang memungkinkan kita kembali pada Waktu? Apa itu Waktu? Bagaimana Waktu dialami lewat refleksi fotografis? Dapatkah kita mengalami Waktu dalam ketelanjangannya? Kalau tidak, lewat bentuk apa Waktu itu dapat dialami? Persoalan-persoalan ini merangsang kita membaca ulang tulisan-tulisan Barthes tentang fotografi. Dalam tulisan ini saya hanya membatasi pada tingkat pengalaman saat kita berhadapan dengan fotografi dan secara khusus pengalaman mencapai Waktu.6
Waktu Pertama (Studium)
6 Dalam hal ini saya setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Derek Attridge yang menghubungkan Camera Lucida dengan artikel Barthes "The Third Meaning".
7 Roland Barthes, Camera Lucida, terjemahan Richard Howard (New York: Hill and Wang, 1981), 28-39.
8 Buku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun, 1922-1952.
Tahap studium adalah tahap menjelajahi berbagai obyek, saat saya menempatkan diri di depan foto, dan saat saya menghayati foto sebagai keruangan. Pengalaman dominan di sini adalah pengalaman akan ruang yang disusun oleh berbagai obyek dalam foto.
Di tahap itu ada komunikasi dan informasi. Komunikasi muncul bukan pertama-tama karena tema fotonya melainkan karena setiap foto senantiasa membawa jejak-jejak zamannya yang bisa diurai oleh orang yang melihat sesuai dengan kode yang dimilikinya. Dalam Camera Lucida, Barthes menyebut lima fungsi yang membuat kita tertarik pada suatu foto: memberi informasi, menunjuk suatu referen, menyerupai gambar, memberikan kejutan karena jarang, dan menimbulkan gairah. Kelima fungsi ini ia kaitkan dengan kepentingan kita sebagai anggota masyarakat.7 Jadi ini soal kode, soal kebiasaan, soal selera yang dibiasakan oleh masyarakat kepada kita.
Lihatlah, misalnya, foto-foto yang menyertai peringatan 30 tahun Taman Siswa.8 Untuk mengetahui sejarah pendidikan di Indonesia (sejarah pendidikan kita sendiri), kita tidak perlu bersusah payah menyusun gagasan. Ki Hadjar Dewantara yang banyak disebut sudah berdiri di sana tanpa butuh penjelasan, murid-murid calon guru angkatan pertama berdiri lugu mengitari papan tulis bertuliskan "Taman Siswa, Mulo-Kweekschool, Yogyakarta 7 Djuli 1924", anak-anak dari Taman Anak berkerumun lucu didampingi guru-guru mereka. Foto-foto ini memperteguh sejarah Taman Siswa, berfungsi sebagai semacam sertifikat keaslian sejarah Taman Siswa. Taman Siswa ada, ada di sana, di hadapan kita. Jaminan sejarah Taman Siswa tidak hanya didukung oleh teks yang bisa bergulir dengan sendirinya (itinerable, kata Derrida). Kisah Taman Siswa yang heroik itu pernah ada. Bukti ini tidak berupa pidato melainkan berupa hal-hal kecil: atap yang hampir melengkung, pagar bambu sederhana untuk menyangga simbol Taman Siswa, dan sebagainya. Jadi, informasi, referensi, keindahan, kejutan, dan gairah kita dapatkan dalam foto sebagai medium. Pengetahuan (kode) kita tentang pendidikan, tentang Indonesia, tentang Taman Siswa diperluas dalam medium itu. Ki Hadjar yang terkenal (sudah dikodekan!) dengan semangat non-kooperatif menjadi lebih "manusiawi" dalam foto-foto ini. Pada tahap ini masih ada kebisingan dan kesibukan yang harus kita tata.
Pengalaman akan waktu berupa pengakuan akan masa lampau. Melihat foto berarti pengakuan akan bukti adanya masa lampau. Waktu dialami secara sekuensial, kronologis. Antara waktu dalam foto dan waktu saya terjajar rangkaian peristiwa. Tak ada masa lampau yang tanpa perantara, betapapun dekatnya, sekalipun itu hanya satu detik. Foto menyediakan "citra gerak" (movement-image) bukan dalam artian Deleuzian (penghasil auto-temporalization), melainkan dalam arti kita diminta menata waktu. Foto ibarat anak panah yang siap diluncurkan dari kekinian masa lampau menuju kekinian saya. Dari anak panah itulah saya akan menciptakan citra lain yang digambar sesuai dengan kode-kode yang saya miliki. Kita tidak membolehkan itu berdiri sendirian. (Saya menduga foto seri antara lain lahir dari pengalaman semacam ini.) Jadi, dalam foto pun kita mengalami waktu kronologis. Foto menjadi mediasi untuk mengalami masa lalu dan untuk mengalami arus kronologis yang menghubungkan titik masa lampau dengan masa kini.
Semuanya berjalan mengikuti kode yang kita pelajari dalam masyarakat. Kode-kode ini akan menentukan kekuatan informasional dan komunikasinya, dinamika negosiasi antara spectator dan spectrum. Tanpa kode, fotografi bisu. Sebaliknya, dengan kode, kita bisa membedakan obyek dalam foto dengan obyek yang berada di luar foto.
Waktu Kedua (Puncta–punctuatio–punctum)
Waktu kedua dialami lewat puncta, punctuatio, dan akhirnya punctum. Waktu kedua meliputi saat kita melihat berbagai titik api, mempertimbangkan masing-masing titik, dan akhirnya berhenti pada satu titik. Ini saat kita menentukan irama saya sendiri di tengah kebisingan yang dilahirkan oleh foto.
Puncta adalah saat obyek-obyek berubah menjadi tanda, menjadi simbol. Kode-kode yang berlaku bukan lagi kode-kode sosial dan kultural melainkan kode-kode fotografis. Papan nama tidak lagi bicara tentang "Taman Siswa" melainkan tentang kebiasaan orang berdiri di depan kamera. Pose. Dahi-dahi licin tiba-tiba terpisah dari tubuh-tubuh yang menyangganya dan minta ditafsirkan secara tersendiri. Kepolosan, misalnya. Demikian juga tutup kepala seperti peci dan blangkon. Belum lagi cara duduk atau berdiri. Kita tidak lagi tertarik pada obyek melainkan forma atau simbol. Formalisasi dan simbolisasi ini tidak mengikuti kaidah-kaidah struktural melainkan sepenuhnya tergantung pada kesadaran yang diberikan oleh data optik. Luruhnya obyek menjadi forma atau simbol ini mirip dengan yang digambarkan Barthes di tempat lain: secara perlahan-lahan diri kita luruh bersama hasis yang kita hisap dan terbang bersama asapnya (Sade, 64).
Puncta kemudian diikuti oleh punctuatio dan saat punctum. Dengan punctuatio dimaksudkan saat kita mulai tertarik hanya pada satu titik, satu punctum. Foto tidak lagi bising, citra tidak lagi bergerak ritmis (kepala, lurik, duduk, dan seterusnya) namun terhenti. Terhenti di mana? Di punctum. Barthes berkali-kali mengatakan bahwa punctum datang secara tiba-tiba di luar kemauan saya, tanpa penjelasan (karena penjelasan mengasumsikan kode!). Punctum senantiasa menolak dikodekan. Dalam "The Third Meaning", situasi ini seperti saat kita berada dalam ketumpulan makna, obtusus. Jadi tidak terkomunikasikan. Bagi saya, dalam "Taman Anak & Kursus Guru" tatapan seorang anak yang bertopang dagu sama sekali tidak mau dikodekan. Ia seakan tidak mau difoto, tidak merasa sedang difoto melainkan sedang heran melihat kamera di depannya. Kadang-kadang pandangannya juga terarah pada temannya yang sedang difoto. Ini bukti untuk apa? Ia seakan keluar dari bingkai foto sebagai sertifikasi masa lalu dan memberi tahu pada saya "Aku tidak seperti mereka". Ia tidak mau dijadikan bukti sejarah Taman Siswa melainkan untuk dipahami sendiri. Ia ingin berhubungan dengan dunia luar atas pilihannya sendiri.
Waktu Ketiga
Para pembaca Barthes biasanya hanya membedakan studium dan punctum. Kita masih bisa menambah satu tahap lagi, yaitu satori. Orang juga menyebutnya sebagai punctum kedua. Kalau studium maupun punctum masih bersifat spasial (formal), satori tidak. Istilah yang diambil dari tradisi Zen ini merupakan tahap kontemplasi.
Satori adalah saat saya bebas keluar dari kekakuan kode dan dari ketumpulan punctum. Mengutip Kafka, Barthes mengatakan, "Kita mengambil foto sesuatu untuk membuangnya dari benak kita. Kisah saya merupakan cara untuk menutup mata saya" (Camera Lucida, 53). Jadi, akhirnya fotografi bukan untuk dilihat! Fotografi akhirnya untuk membuat kisah saya, kisah saya setelah mengamati secara teliti sampai akhirnya menemukan satu titik. Satori adalah saat saya tidak butuh lagi memandang dan memandangi fotografi. Saat itulah subyektivitas saya lahir dengan membuat kisah saya sendiri. Dengan nada agak agitatif (polemis?) ia malah mengatakan: "Fotografi menyentuh saya jika saya menjauhkannya dari kebiasaan omong kosong: ‘Teknik’, ‘Realitas’, Reportase’, ‘Seni’, dan sebagainya: Jangan ngomong, tutup mata, biarkan pernik-perniknya muncul sesuai dengan kesadaran afektifnya" (Camera Lucida, 53). Biarkan topang dagu seorang bocah bebas dari kode ideologis pendidikan, biarkan tangan seorang siswi Sekolah Guru bebas dari dari kode submisif perempuan. Pernik-pernik itu memiliki kesadaran afektifnya sendiri, memiliki kisahnya sendiri.
9 Bandingkan dengan konsep opsign dan sonsign Deleuze.
10 Gilles Deleuze, Negotiations: 1972-1990, terjemahan Martin Joughin (New York: Columbia University Press, 1995).
Waktu ketiga adalah waktu yang hadir secara murni. Ini bukan saat mimpi (oneiric). Ini saat Waktu menentukan kekuasaannya untuk menghadirkan apa saja yang sudah kita temukan dalam tahap studium. Waktu tidak butuh dihadirkan, melainkan sebaliknya: waktu menghadirkan. Persepsi yang ada tidak lagi merupakan hasil dari kekuatan motor-sensoris melainkan optik (dan suara).9 Inilah pengalaman Waktu sebagai subyektivitas.
Apakah dengan demikian tahap-tahap sebelumnya hilang sama sekali? Pasti tidak. Lalu apa hubungannya? Deleuze bisa membantu kita dengan konsepnya tentang benih/lingkungan.10 Istilah serupa juga kita temukan dalam salah satu bab dalam kumpulan tulisan Barthes The Rustle of Language. Bab terakhir diberi judul "Environs of the Image" di mana antara lain kita menemukan tulisan tentang film ("Leaving the Movie Theatre") dan citra ("The Image").
Kita sebenarnya tidak perlu gelisah dengan apa yang oleh Barthes disebut "citra yang menjadi umum" (generalized image). Citra demikian akan menjadi persoalan kalau kita tidak punya semacam citra primadona yang bisa dipakai untuk melihat lautan citra menurut cerita kita sendiri. Bahkan foto-foto dokumentasi yang sangat berharga (antara lain karena kelangkaannya) dari Taman Siswa bisa menjadi foto-foto yang banal sejauh kita tidak berhasil membiarkan suatu punctum menuliskan dirinya sendiri. Cerita ini barangkali secara perlahan-lahan akan menjadi kode. Bukankah budaya adalah proses peremajaan kode-kode? Bukankah kode-kode yang kita ciptakan merupakan salah satu langkah untuk menyatukan waktu kronologis menjadi waktu absolut? Halusinasi sempurna yang dikhawatirkan Barthes muncul saat kita tidak punya kisah kita sendiri.
Akhirnya, harus diakui bahwa penafsiran ulang tulisan-tulisan Barthes tentang fotografi pada khususnya, dan citra pada umumnya, masih jauh dari selesai. Berhenti pada Camera Lucida bisa menjerumuskan kita pada spiritualisme, namun berhenti pada "Rhetoric of the Image" juga bisa membuat kita terperangkap pada jerat strukturalisme teknis. Keduanya memang pantas kita anggap sebagai tonggak dalam tafsir tentang fotografi. Akan tetapi, sebenarnya masih banyak tonggak kecil yang perlu dibaca ulang dalam kerangka yang lebih luas, yaitu pencarian Barthes akan teori citra.