"Nafsu Mata" atas Derita*
Perihal Tatapan Fotografis
F. Budi Hardiman
Kalam 23 · 2007
Fotografi dan Budaya Visual
* Tulisan ini berasal dari makalah yang pernah dibawakan oleh penulis dalam diskusi bertajuk "Tatapan Fotografis: Diskusi mengenai Batas-Batas Etis Fotografi" di GoetheHaus Jakarta, 17 April 2005.
Wajah adalah jiwa dari tubuh.
- Ludwig Wittgenstein
Marilah kita mulai dengan sebuah konsep yang terdengar ganjil di telinga kita yang sudah dijinakkan oleh kediktatoran kelaziman ini. Negativitas. Ada banyak cara untuk menjelaskannya. Dalam magnetisme, yang negatif adalah kutub lawan dari yang positif. Negativitas bukanlah sesuatu yang netral. Dia juga bukan ketiadaan atau nol, melainkan sesuatu, yakni sesuatu yang tidak dirumuskan dari dirinya sendiri, melainkan dari efek yang ditimbulkannya. Kita memahami eksistensi negativitas dalam kenyataan bahwa ia tidak membuat sesuatu menjadi hilang, melainkan kurang. Dalam matematika, yang negatif diberi tanda minus. Minus adalah suatu kekurangan dan bukan ketiadaan atau nol, maka negativitas adalah suatu realitas, realitas minus. Dan karena tidak irreal, melainkan real, yang negatif itu merupakan suatu daya yang menghisap dan membuat hal-hal menjadi minus seperti dirinya. Terpuruk di dalam negativitas berarti defisit.
Bagaimana orang dapat menampilkan negativitas? Apakah negativitas seperti itu dapat dihadirkan kembali untuk orang lain? Pertanyaan seperti ini muncul jika kita menimbang-nimbang fenomena seperti suguhan penderitaan lewat kamera atau fotografi. Wajah korban yang celaka dipotret, lalu fotonya dipasang di media massa, dipamerkan atau diterbitkan di internet. Pengamat tahu ada yang menderita di sana, dan ada pula yang "menikmati" foto itu sebagai karya estetis. Fotografi bukan sekadar menangkap gambar obyek; kamera memuat suatu sikap yang melekat pada mata, jika kita boleh memahaminya sebagai perpanjangan mata atau visualitas. Sikap yang melekat pada visualitas itu adalah jarak. Dapatkah menghadirkan kembali penderitaan secara visual, yakni dalam jarak, sementara kehadiran itu suatu kelangsungan dan bukan mediasi, suatu keterlibatan dan bukan jarak?
Negativitas sebagai destruksi
1 Georg Simmel, Soziologie (Frankfurt a.M.: STW, 1992), 533, cetak miring dari penulis.
Sebelum memasuki persoalan fotografi dan visualitas, ada baiknya kita lihat lebih dahulu apa itu negativitas. Saya akan mengacu pada pemikiran Georg Simmel dalam Exkurs ueber die Negativitaet kollektiver Verhaltungsweisen (Ekskursus tentang Negativitas Bentuk Perilaku Kolektif). "Pada aksi-aksi massa," demikian tulisnya, "motif-motif para individu sering sedemikian berbeda-beda sehingga penyatuan mereka akan semakin mungkin bila isi penyatuan itu semakin negatif, yakni semakin destruktif."1 Yang pelik bukanlah massa, melainkan negativitas yang darinya puluhan, ratusan, ribuan orang atau lebih menjarah, membantai, merusak, dan mengungsi bersama seolah-olah yang tak terbilang dan berbeda-beda itu adalah satu makhluk tunggal yang homogen. Dalam arti ini negativitas tidak hanya dialami dalam kerusuhan Mei 1998, pembantaian Gerakan 30 September, konflik etnis dan agama di Kalimantan dan Ambon, atau serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, melainkan juga dalam malapetaka tsunami di Aceh di ujung tahun 2004 yang lalu. Negativitas menyamakan yang berbeda-beda dengan menghisap mereka ke dalamnya; yang berbeda-beda menyatu dengan mengelak dari negativitas. Seperti dipikirkan oleh Simmel, negativitas merupakan tujuan dan alasan pembentukan massa, entah massa yang melakukan destruksi seperti dalam kerusuhan dan kekerasan massa ataupun destruksi yang menghasilkan massa seperti dalam bencana alam yang menghasilkan massa pengungsi.
Simmel memberikan sebuah makna yang lugas untuk negativitas, yaitu destruksi atau hal-hal destruktif. Itulah yang melebur segala yang berbeda ke dalam sesuatu yang niscaya, yakni keniscayaan bahwa berbagai bentuk, struktur, dan diferensiasi yang memperbedakan sesuatu dari yang lain menjadi kabur. Negativitas, yakni destruksi, adalah tujuan yang menyatukan; tetapi destruksi juga adalah hasil negatif yang diraih. Yang berbeda-beda raib dan sebagai gantinya muncul keluluhlantakan yang menimbun segala lapisan menjadi tanpa lapisan. Untuk mengerti negativitas, kita dapat menderet kata-kata yang dipakai untuk melukiskan tindakan-tindakan destruktif manusia: menghancurkan, membunuh, memerkosa, merampas, menyingkirkan, memusnahkan.
Negativitas juga terkandung di alam. Dalam bencana tsunami di ujung tahun 2004 yang lalu, gelombang dahsyat sekonyong-konyong mengubah kota-kota menjadi semacam kloaka-kloaka. Tak ada yang mampu meninggikan diri lagi di dalam kloaka raksasa itu, karena segala kelas sosial, suku, agama, jenis kelamin, tak peduli mereka itu saleh atau kafir, sedang memikirkan hal-hal yang ningrat atau bejat, tanpa kecuali menjadi rata oleh "pencernaan" monster alamiah yang bernama tsunami itu sebelum dihempaskan ke dalam "selokan raksasa" yang mengerikan itu. Manusia dalam malapetaka alam tidak mengatasi alam, sebagaimana dibicarakan dengan mulia di dalam filsafat atau teologi, melainkan "elemen alam" atau bahkan—lebih buruk lagi—"buangan alam". Konstruksi-konstruksi rasional macet dan tak mampu menghentikan ketakmengertian manusia saat berbenturan dengan kenyataan bahwa anak-anak yang tak berdosa juga terbilang di antara para korban. Kloaka menampung apa pun tanpa pandang bulu setakar dengan daya destruktif yang mendahuluinya. Di situlah negativitas menyingkapkan sosoknya sebagai kekuasaan.
2 Elias Canetti, Masse und Macht (Frankfurt a.M.: Fischer, 1995), 247. Selanjutnya ditulis Masse und Macht.
Marilah kita cermati lebih dekat lagi negativitas, jika ia dimengerti sebagai destruksi. Elias Canetti, seorang sastrawan pemenang Nobel, mencoba memahami makna dari ketakbermaknaan buangan kita setiap hari: tahi. Benda ini kita tak ingin lihat, meski sejujurnya kita semua mengakui bahwa ia pernah merupakan bagian diri kita. Apakah sesungguhnya yang dapat kita lihat dari tahi kita sendiri, bukan di dalam dunia hakikat di seberang sana, melainkan pada apa yang nyata terlihat di depan mata? "Tahi," demikian tulis Canetti, "mengandung seluruh kesalahan kita. Padanya dapat dikenali apa yang telah kita bunuh. Ia adalah jumlah lumatan dari seluruh indikasi yang melawan kita."2 Pada tahi kita, kita menyaksikan destruksi, tetapi bukan destruksi itu belaka, melainkan juga berbagai hal yang telah kita destruksikan, segala yang pernah mencoba melawan, namun akhirnya remuk dalam pencernaan kita dan kita keluarkan sebagai hal-hal negatif dari tubuh kita, yakni mangsa atau korban yang merupakan makanan kita. Kita bukan hanya tak ingin melihat apa yang telah kita nikmati itu. Digayuti oleh rasa malu yang entah mengapa sulit dijelaskan, momen pelepasan hajat merupakan momen yang sangat privat. "Manusia sungguh-sungguh sendirian dengan tahinya" (Masse und Macht, 247). Tahi adalah tanda negatif kekuasaan sebagai proses destruksi yang disembunyikan. Perbedaan antara momen ekskresi biologis ini dan politik cuci tangan rezim tiranis setelah melakukan pembantaian terhadap minoritas tidaklah besar, karena pada timbunan jenazah korban itu rezim pemangsa sangat tidak nyaman menatap negativitas dirinya sendiri. Jejak-jejak kejahatan harus disingkirkan ke dalam ruang rahasia, sebagaimana buang air besar tetap tinggal sebagai yang tersembunyi. Seperti kata Canetti, rahasia adalah inti terdalam kekuasaan.
Wajah homo patiens
Di dalam raut wajah korban-korban destruksi, entah itu akibat kekerasan massa atau bencana alam, tergurat negativitas suatu kekuasaan misterius yang tak terpecahkan oleh nalar. Barangsiapa pernah berhadapan dengan negativitas tak akan yakin lagi bahwa manusia adalah tuan atas dirinya sendiri, suatu subjectum, sebagaimana diyakini sejak Pencerahan abad ke-18. Tuan atas dirinya sendiri adalah pencipta sejarahnya, produsen makna hidupnya, pengarang skenario masa depannya sendiri. Pengalaman negatif, yakni keniscayaan bahwa manusia tanpa ditanya sebelumnya sekonyong-konyong "ditempatkan" di dalam situasi yang tidak dikehendakinya, membuat proyek-proyek hidupnya tiba-tiba macet. Wajah-wajah korban itu bukanlah milik para pahlawan Promethean yang muncul dari kekelaman ketaksadaran membawa api nalar; mereka adalah milik para survivor yang entah mengapa seolah direnggut dari detak-detak monoton keseharian yang tak mencurigakan, dilemparkan untuk menghadapi kelamnya kematian mereka sendiri, dan entah mengapa pula ditarik dari bahaya itu lalu ditempatkan dalam posisi untuk melihat bahwa kehidupan itu berharga. Bukanlah subyek sejarah yang tampil dalam wajah-wajah mereka; patahnya nalar dalam pengalaman negatif telah membawa mereka bermukim di suatu ruang jiwa yang mengerti apa artinya menyerahkan diri kepada kehidupan itu sendiri.
Viktor Frankl, psikolog humanis, pendiri logoterapi sekaligus tahanan kamp konsentrasi Nazi, telah mempersoalkan tradisi Pencerahan yang memahami manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale, yakni makhluk rasional yang merupakan sutradara atas proyek-proyek hidupnya sendiri, dan mengganti konsep itu dengan homo patiens, yakni makhluk yang mampu menderita. Manusia tidak sekokoh dan seterang makhluk berkesadaran penuh yang digambarkan dalam filsafat sejak Descartes, yakni makhluk yang mampu mengerti dunia, tubuh, Tuhan, dan bahkan nasibnya sendiri. Makhluk rasional seperti itu adalah sosok sehat, muda, kelas menengah ke atas, tak pernah tersengat luka batin, dan tampaknya juga cukup berkuasa memerintah orang lain (sebagai budaknya). Dia tentu bukanlah orang tua yang sakit, penyandang cacat atau—apa yang kita bicarakan sejak tadi—korban peristiwa negatif yang berada di luar jangkauan akalnya.
3 Franz Kafka, Die Verwandlung und andere Erzaehlungen (Koeln: Koenemann, 1995), 26.
4 Lihat Leksono-Supelli, Karlina, "Mendengarkan Suara Kesunyian", dalam Eddy Kristiyanto, ed., Etika Politik dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 39.
Perkataan Franz Kafka mungkin akan lebih menjelaskan conditio humana dalam pengalaman negatif. "Kita," demikian tulisnya, "adalah akar-akar pohon di dalam salju. Akar-akar itu tampaknya terletak rata, dan dengan dorongan kecil saja orang tentu dapat menyingkirkannya. Tidak, orang tak bisa melakukan itu, karena akar-akar itu tertancap kuat di tanah. Tapi lihatlah, bahkan hal itu pun hanyalah tampaknya saja."3 Wajah para korban adalah—meminjam istilah Karl Jaspers—Ziffer yang menunjuk pada palung tak berdasar di bawah setiap negativitas hidup. Dari mata mereka tersembul pertanyaan: mengapa semua ini harus terjadi pada mereka; suatu pertanyaan mendasar yang tetap menganga kendati ada jawaban-jawaban cerdas terhadapnya. Akar-akar keberadaan kita tampaknya rapuh dan hanya tampaknya saja kuat, padahal dalam kenyataan kita tak tahu seberapa kuat akar-akar kita itu tertancap di dalam tanah kehidupan. Pengalaman negatif membuat manusia tidak yakin akan keberdayaannya sendiri, hingga tertunduk bersama Ayub dan berkata: "Sesungguhnya aku ini terlalu hina; jawaban apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan" (Alkitab, Ayub 39:37). Kebungkaman—itulah "suara kesunyian" dari para korban peristiwa negatif.4
Mata yang mencerabut dan mata yang mendengarkan
Ada yang sakral di dalam penderitaan—bukan dalam arti bahwa penderitaan itu berasal dari yang ilahi ataupun kutukan dari dunia transendental, melainkan bahwa dalam penderitaan manusia bersentuhan dengan misteri kehidupan yang tak tersentuh akal dan membuatnya bungkam. Misteri tidaklah dilihat dengan sorot mata, melainkan dilibati dengan hati. Itulah sebabnya "melihat" penderitaan orang lain akan tampak sebagai keangkuhan, bila tidak disertai keterlibatan. Bukanlah "aku berpikir" atau "aku melihat" yang dibutuhkan untuk terlibat dalam penderitaan orang lain, melainkan "di sinilah aku". Di dalam penderitaan, ada yang mudah terluka oleh sorot mata orang lain. Melihat memiliki momen kekerasannya sendiri, tatkala sorot mata itu berjarak, mengabaikan ketunggalan dan menghunjam dengan sudut pandang egosentrisnya sendiri. Itulah tatapan yang melakukan inspeksi, melihat sekilas, menelanjangi sesuatu sebagai obyek hasrat, menghakimi, dan seterusnya. Cara melihat yang dapat kita sebut the violence of vision ini berbeda dari "mata yang mendengarkan" sebagaimana dikemukakan oleh Emmanuel Levinas dalam hubungannya dengan melihat wajah l’autre (orang lain).5 Dalam perjumpaan dengan wajah orang yang menderita, mata harus berhenti mengawasi atau menikmati, dan harus mulai "mendengarkan" ketunggalan dalam peristiwa negatif itu, sebab wajah l’autre adalah suatu trauma yang tidak dapat dihadirkan oleh yang melihat (Textures of Light, 89). Wajah itu, juga dalam segala pasivitasnya, "berbicara" dan hanya memaknai dirinya sendiri. Mata yang mengawasi dan menikmati tidak mampu mendengarkannya; hanya "mata yang mendengarkan", yakni penglihatan yang merawat, membiarkan wajah itu berbicara.
5 Lihat Cathryn Vasseleu, Textures of Light: Vision and Touch in Irigaray, Levinas and Merleau-Ponty (London: Routledge, 1998), 88 dst. Selanjutnya ditulis Textures of Light.
6 Lihat Walter Benjamin, Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit (Frankfurt a.M.: Suhrkamp, 1996), 11. Selanjutnya ditulis Das Kunstwerk.
Masyarakat kapitalistis-konsumeristis dewasa ini telah melakukan desakralisasi penderitaan lewat the violence of vision. Untuk menjelaskan ini, kita dapat belajar dari Walter Benjamin dalam Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischer Reproduzierbarkeit (Karya Seni di Era Reproduksi Mekanis). Reproduksi mekanis karya seni, misalnya lewat fotografi, melenyapkan singularitas kehadiran obyek dalam ruang dan waktu tertentu.6 Tatapan fotografis—jika kita boleh menyebutnya demikian—"mencerabut" obyek itu dari akar-akar peristiwa tempat obyek itu berada sehingga dapat ditempatkan dalam situasi-situasi lain yang tidak dicapai oleh situasi aslinya dan dengan cara ini mendapatkan pemaknaan yang berbeda. Teknik zooming dan seleksi obyek lebih jauh lagi menegakkan kediktatoran pengamat atas obyeknya yang dibagikan kepada massa penikmat hasil fotografi itu (Das Kunstwerk, 12). Benjamin bicara tentang pudarnya "aura" obyek itu, yakni ketunggalannya yang tak terulangi dan cirinya sebagai peristiwa. Seorang pengamat yang mengalami aura mampu melihat kembali dirinya sendiri lewat karya yang dipandangnya. Jarak tersebut raib dengan raibnya singularitas karya seni akibat reproduksi dan perbanyakan karya itu secara mekanistis. Kamera memperbanyak dan merutinkan penglihatan, dan melihat berkali-kali melenyapkan jarak dan ketunggalan yang dilihatnya. Dalam arti ini, penglihatan adalah "racun" yang mencekik roh yang bermukim di dalam karya itu. Demikian pula memotret mereka yang menderita dan mereproduksi gambar mereka adalah memperlakukan penderitaan sebagai obyek di antara obyek-obyek lain di dunia teknis. Dicabut dari konteks peristiwa aslinya dan dipindahkan ke pasar kapitalistis, foto-foto wajah mereka yang menderita, yakni para korban, sekarang terbuka rentan terhadap tatapan konsumeristis massa.
Ada suatu dilema yang melekat dalam citra fotografis tentang penderitaan, sebagaimana ditampilkan oleh media massa setelah bencana tsunami. Di satu pihak, foto memungkinkan perpanjangan dan perbanyakan penglihatan, sehingga kita "tahu" tanpa melihat langsung di lapangan; namun di lain pihak, tatapan fotografis itu merupakan hasil inspeksi mata yang memperlakukan wajah korban sebagai obyek, seolah-olah penderitaan itu dapat disuguhkan. "Sebagai obyek" berarti juga—di dalam modernitas kapitalistis-konsumeristis ini—"dapat dinikmati dan dikonsumsi". Kamera adalah teknologisasi mata yang melakukan inspeksi, the violence of vision, yang berpretensi mengubah misteri menjadi informasi yang dapat ditangkap, maka godaan sangat besar adalah bahwa para penatap foto-foto korban menghadapi mereka hanya sebagai informasi dalam arti "aku melihat" kalian dan bukan "di sini aku" bersama kalian. Memotret korban mengungkap kenyataan ambivalen antara menolong lewat meneruskan penglihatan dan mengintip penderitaan orang lain. Tatapan publik di sini berasal dari "nafsu mata" (Augenlust), yakni—seperti dikatakan Heidegger sehubungan dengan "keingintahuan" (Neugier)—"melihat, bukan untuk memahami yang dilihat..., melainkan hanya untuk melihat".7 Untuk mendekati penderitaan orang lain dibutuhkan "mata yang mendengarkan", penglihatan yang merawat, yang digerakkan dari respek dalam hati. Respek ini tidak melakukan inspeksi atas apa yang ditatapnya, tidak menikmatinya, tidak mengintipnya, dan akhirnya juga tidak melihatnya demi melihat. Ia membiarkan wajah yang ditatap itu berbicara.