Sontag, Citra, Waktu
Nirwan Ahmad Arsuka
Kalam 23 · 2007
Fotografi dan Budaya Visual
1 Susan Sontag, On Photography (New York: Penguin, 1977). Selanjutnya disingkat OP. Pernyataan Sontag ini tertuang dalam esai “Photographic Evangels”, OP, 115-149.
2 André Bazin, “The Ontology of the Photographic Image”, The Philosophy of the Visual Arts, suntingan Philip Alperson (New York: Oxford University Press, 1992), 277-280. Esai Bazin ini adalah bagian dari buku What is Cinema? (1967).
3 Di sampul belakang OP, tercantum antara lain kalimat novelis dan kritikus John Berger: “The most original and important work yet written on the subject.”
Jika seni rupa adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa. Antara lain karena kemampuannya yang tanpa preseden dalam mengabadikan dan menggandakan semua citra (bukan hanya yang bisa langsung dicerap), fotografi memang bukan lagi sekadar sebuah bentuk seni; ia lebih luas dari seni. “Fotografi adalah medium yang dengannya seni diciptakan—Susan Sontag menggaritkan kalimat ini di buku On Photography. 1 Pendapat yang menandaskan bahwa fotografi—dan tentu saja sinema—adalah bahasa, sudah muncul juga, misalnya, pada André Bazin.2 Dengan memumpunkan perhatian pada fotografi dan menangguhkan pertautannya dengan sinema, Sontag menggarap dan memperkokoh pendirian itu lebih lanjut. Di OP, kitab tipis yang menjadi salah satu “karya terpenting tentang fotografi”,3 Sontag bahkan menyebut fotografi sebagai sebuah meta-seni: sebuah medium sekaligus cita-cita tertinggi seni. Di abad ke-19, Walter Pater menyebut bahwa semua seni bercita-cita menjadi seperti musik yang mampu melebur habis bentuk dan isi. Sontag, di abad ke-20, mengoreksi pendapat Pater dan menandaskan betapa semua seni justru bercita-cita menjadi seperti fotografi. Selain sanggup hidup seperti musik yang mengolah mediumnya sebagai isi itu sendiri, fotografi juga berwatak demokratis karena bisa dikerjakan oleh siapapun—serempak mengeram kekuatan revolusioner mendobrak diskriminasi antara seni buruk dan seni indah.
4 Susan Sontag, Regarding the Pain of Others (New York: Penguin, 2003). Selanjutnya disingkat RPO.
Di buku Regarding the Pain of Others,4 Sontag kembali mengangkat kekuatan fotografi—khususnya kekuatan yang membuat meta-seni pelukisan dengan cahaya itu sanggup mewujudkan cita-cita mustahil sastra. Watak obyektif pada fotografi adalah sesuatu yang niscaya: hubungan antara fotografi dan obyektivitas adalah hubungan antara garam dapur dan rasa asinnya, antara butir intan dan kerapian struktur karbonnya. Sesuatu bahkan bisa disebut benar-benar terjadi jika ada fotonya—sebuah jaminan sekaligus tilas yang diabadikan bukan oleh makhluk hidup yang bisa subyektif, tetapi oleh benda mati yang tak punya pikiran dalam dirinya sendiri: kamera. Namun, kamera bisa mengabadikan tilas karena ada tangan yang membidikkannya; subyek yang punya pikiran sendiri. Gabungan antara kamera dan fotografer itu memungkinkan fotografi menjadi rekaman obyektif sekaligus testimoni pribadi; menjadi copy atau transkrip sebuah momen aktual realitas, serentak interpretasi atas realitas itu. Paduan dua segi istimewa yang saling langgar ini, menurut Sontag, adalah cita-cita abadi sastra yang tak dapat diwujudkan secara harfiah oleh sastra.
5 “A Letter to Borges,” dalam Where the Stress Falls (New York: Picador/Farrar, Straus and Giroux, 2001). Dalam surat yang dibuat 10 tahun setelah Borges wafat, Sontag menulis kepada penulis besar itu, “If ever a contemporary seemed destined for literary immortality, it was you.”
6 Jorge Luis Borges, Labirin Impian, terjemahan Hasif Amini (Yogyakarta: LKiS, 1999), 19 & 20. Sekian bulan setelah benih esai ini didiskusikan di Teater Utan Kayu, 22 April 2005, saya temukan resensi William H. Gass yang murah hati atas On Photography. Resensi bertajuk A Different Kind of Art itu terbit di New York Times edisi 18 Desember 1977, dengan paragraf awal yang juga menautkan kamera dengan cermin yang disinggung fiksi Borges.
7 Anton Chekov, “Cermin Perot: Cerita Natal”, Pengakuan: Sekumpulan Cerita Pendek, terjemahan Koesalah Soebagyo Toer (Jakarta: KPG, 2004), 20-25.
Banyak penulis, termasuk Sontag, menyebut Jorge Luis Borges sebagai pembaca dan penulis terpenting abad ke-20.5 Kalimat Borges yang kerap dikutip antara lain adalah: “cermin dan senggama sama buruknya, karena keduanya memperbanyak jumlah manusia … keduanya melipatgandakan dan menyebarluaskan alam semesta.”6 Lebih dahsyat dari cermin dan kopulasi, kamera juga meluapkan jumlah makhluk, menangkarkan dan menyebarluaskan alam semesta. Cermin memang memperbanyak jumlah manusia, tetapi cermin tak sanggup mempercantik manusia yang digandakannya; kecuali mungkin di dalam fiksi, dalam salah satu cerpen Anton Chekov, misalnya.7 Hubungan suami istri pun tak selalu menghasilkan keturunan yang lebih memikat, dan lebih lestari, dari pasangan yang membuahkannya. Kamera merengkuh perhatian antara lain karena kemampuannya menghasilkan salinan yang lebih jelita, lebih indah dari aslinya. Kamera bahkan bisa menciptakan sejenis kenyataan yang belum pernah ada, menghadirkan kenyataan-kenyataan yang tak terjangkau—atau tak ingin dijangkau?—oleh mata telanjang.
Kemungkinan-kemungkinan di atas membuat piranti turunan camera obscura itu tampil bagaikan black hole dalam spekulasi teoritis sejumlah pakar kosmologi dan astrofisika. Stephen Hawking, Lee Smolin, Andrei Linde, Hugh Everett, Kip Thorne, Mike Morris, Matt Visser atau Serguei Krasnikov, misalnya, adalah bagian dari kalangan ilmuwan kontemporer yang mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk mendalami black hole. Sebagian di antara mereka berjuang gigih membayangkan bagaimana black hole menjadi persambungan alam semesta kita ke alam semesta lain; sebagian lagi bertungkuslumus menjabarkan black hole sebagai gerbang hipotesis topologis yang memungkinkan perjalanan menembus waktu (time travel) dan ruang antarsemesta. Pada kamera, dunia yang ditangkap oleh lensa, yang kemudian diteruskan ke unit perekamnya, dengan jelas dan tanpa susah payah telah terbukti menghasilkan dunia lain yang bahkan bisa lebih dahsyat dari sumbernya.
Dengan tahana sebagai black hole, di mana dunia yang menempuh lensanya akan muncul menjadi dunia lain—semesta lain—kamera menangani waktu dengan cara yang menarik. Ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama: waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua: waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Ketiga: aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya. Aspek waktu yang ketiga ini meninggalkan pengaruh sangat besar dalam kebudayaan. Jejaknya terlihat pada mitologi Batara Kala sang penimpa bala atau Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Peninggalan peradaban Mesir Kuno antara lain adalah kompleks mumi yang tersimpan di dalam piramida-piramida penuh labirin, yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan intrusi waktu yang tak kenal ampun. Dalam khazanah fisika, ketiga aspek waktu yang saling jalin ini dikenal sebagai Hukum Termodinamika II.
Kekuatan dahsyat kamera yang langsung terlihat adalah kemampuannya menghentikan waktu. Dalam sejumlah komposisi musik dan puisi, arus waktu mungkin terasa tertahan sesaat, untuk kemudian bergerak berpusar dan membubung menghimpun diri—dan mereka yang menyimak seakan terangkat sejenak melambung di atas waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu tampak membeku untuk selama-lamanya; dan terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot, yang sulit—bahkan mustahil—terlihat, mustahil disadari, dalam aliran waktu. Penyingkapan “ketaksadaran-arus-waktu” ini adalah bagian dari apa yang oleh Walter Benjamin disebut penyingkapan ketaksadaran optis manusia. Aliran waktu yang selalu asimetris juga dapat ditaklukkan oleh kamera, dan waktu pun tampak bergerak mundur ke masa silam. Cerita, dalam sastra dan teater, juga mengenal kilas balik (flashback) yang seperti memungkinkan manusia kembali ke masa lalu. Namun dalam cerita, setidaknya sampai munculnya kamera, waktu tidaklah benar-benar bergerak mundur: cerita hanya melangkah ke urutan kronologis yang lebih belakang, untuk kemudian bergerak maju ke depan mematuhi rentetan sebab akibat. Sedangkan kamera, di sisi lain, benar-benar mampu membuat waktu bergerak mundur, mengalir dari masa kini ke masa silam sambil membalik—sekaligus mempertegas—hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah, dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.
Penjinakan terakhir kamera atas waktu, yang terkait dengan dua penjinakan sebelumnya, terlihat pada kekuatan kamera dan perangkat rekayasa citra yang tak hanya menghasilkan citra-citra yang tahan waktu, tapi juga citra yang malah terlihat kian menarik dalam perjalanan waktu. Dalam banyak kasus, waktu yang berlalu bukannya menelan dan melapukkan citra-citra yang dihasilkan, tetapi justru menyunggi foto yang tadinya dianggap buruk jadi tampak bagus. Teknologi citra telah lama menunjukkan kemampuannya mengubah citra yang rusak dan buram menjadi citra utuh yang lebih kaya warna, memulut mata dan pikiran. Kamera memang tak lagi sekadar menentang daya rusak waktu, tapi akhirnya menaklukkan waktu, menjadikan Batara Kala atau Dewa Kronos itu sebagai hamba setia fotografi. Jika di alam semesta yang tunduk pada Hukum Termodinamika II, waktu adalah kekuatan sangat perkasa yang bahkan akan menghancurkan alam semesta; maka di jagat fotografi, waktu menjadi tunggangan yang bergerak membuat barang-barang cendala menjadi benda seni. Jagat seperti ini adalah bagian dari jagat yang lebih besar di mana kenyataan (fisis dan kognitif) hadir menampakkan diri mula-mula sangat tak sesuai dengan indra dan nalar intuitif manusia, tapi yang kemudian merapatkan dirinya kian intim ke tangan manusia yang akan memasukinya.
8 Walter Benjamin, “Little History of Photography”, Selected Writings Volume 2: 1927-1934 (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), 507-530; “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility: Third Version”, Selected Writings Volume 4: 1938-1940 (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2003), 251-283. Lihat juga The Arcades Project (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), khususnya “Convolute Y: Photography”, 671-692.
Kendati bekerja dalam skala yang relatif “mungil”, dengan bidang bermatra dua, fotografi telah menunjukkan kemampuannya mewujudkan sebagian cita-cita tertinggi seni, politik, dan pengetahuan ilmiah tentang ruang-waktu kosmos. Bagi sejumlah orang, kemampuan-kemampuan dahsyat fotografi seperti disebut tadi jelas menjanjikan banyak pembebasan. Walter Benjamin, yang oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai kritikus sastra dan pemikir kebudayaan paling otentik yang muncul di ranah berbahasa Jerman di abad ke-20, adalah intelektual pertama yang memaparkan watak revolusioner fotografi dan film—kendati, seperti ditunjuk Benjamin, potensi kreatif dahsyat fotografi sudah dicerap setengah abad lebih sebelumnya oleh pelukis Belgia, Antoine-Joseph Wiertz. Buat Sontag, Benjamin terang menduduki singgasana kritikus fotografi yang terpenting dan paling orisinal. Bagi Benjamin, selain menyingkap ketaksadaran optis manusia, fotografi sanggup menjawab tuntutan revolusioner poltik seni, mendorong lebih jauh seluk-susup seni dan sains, sembari membebaskan seni dari pengabdiannya pada ritual yang parasitik. Fotografi mampu merontokkan monopoli modal kultural pada kelompok-kelompok tertentu yang mengambil manfaat dari benda-benda seni yang tadinya tak dapat direproduksi luas.8 Benjamin yang mendukung pandangan seniman-teknokrat Hungaria László Moholy-Nagy tentang pentingya literasi citra itu, menuliskan harapannya di paruh pertama abad ke-20 ketika fotografi belum punya teknologi reproduksi dan distribusi sedahsyat sekarang. Revolusi teknologi, khususnya teknologi informasi, kini praktis telah membuat selembar foto bisa direproduksi dalam jumlah tak terhingga, dan bisa disebarkan secara real time ke hampir setiap titik di planet Bumi, atau di titik manapun di alam semesta yang bisa dijangkau kecerdasan manusia.
Bahwa meningkatnya—melambungnya—kemampuan reproduksi dan distribusi teknologi fotografi ternyata tak berjalan seiring dengan—bahkan menghambat gerak—meluas dan menguatnya demokratisasi; keluhan ini sudah disuarakan Sontag sejak di OP dan kian lantang di RPO. Keluhan yang berpusar pada perangkat teknologi fotografi ini tampaknya adalah gema atavistik dari sebuah pandangan pra-ilmiah berusia ribuan tahun yang sangat berpengaruh, yang melihat kelindan yang rapat, bahkan niscaya, antara kejatuhan manusia dan perolehan pengetahuan (yang selalu diraih lewat citra). Dengan jangkauan yang lebih luas dan mendalam, tapi dengan arah provokasi yang berbeda, keluhan yang mirip diajukan Albert Einstein 75 tahun silam, ketika Tokoh Terpenting Abad Ke-20 versi majalah Time itu menyampaikan pidato wisuda mahasiswa California Institute of Technology. Pidato bertanggal 16 Februari 1931 itu berisi gugatan mengapa perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu luar biasa belum juga membawa kesejahteraan yang cukup revolusioner pada umat manusia. Gugatan itu memuncak 24 tahun kemudian ketika Albert Einstein, Bertrand Russell, dan serombongan cendekiawan kelas dunia menandatangani sebuah manifesto yang diumumkan di London, 9 Juli 1955. Manifesto itu—lahir di tengah horor Perang Dingin—adalah seruan penghentian penyebaran dan produksi senjata pemunah massal, yang bisa menghancurkan seluruh dunia dan segenap kehidupan yang pernah berkembang di atasnya.
9 RPO, 18.
Penyebaran dan produksi senjata nuklir memang relatif bisa dibendung kini, namun perang ternyata tetap saja terjadi, dan tak menutup kemungkinan datangnya horor termonuklir yang meledakkan inti matahari di Bumi, menghanguskan segala bentuk kehidupan yang berkembang di atasnya. Fotografi yang semula diharapkan dapat ikut membendung perang dengan membeberkan citra-citra brutal perang, dengan menyalakan kembali rasa kemanusiaan yang dipantik oleh citra-citra yang menyentuh yang dijumput dari reruntuhan pertempuran, kini bukan saja tampak tak berdaya, tapi bahkan terlihat menumpang hidup dari perang itu. Bagai burung nasar, meminjam gaya bahasa Sontag, sejumlah fotografer berkeliaran ke seluruh penjuru buana berputar-putar mengintai momen-momen menentukan tumpahnya darah dan rontoknya nyawa manusia untuk mereka patuk berkali-kali dengan kamera yang kekuatan penetrasinya kian tajam. Dengan kaidah if it bleeds, it leads,9 jurnalisme foto membanjiri dunia dengan luapan citra yang menyajikan secara spektakuler tragedi dan bencana manusia. Sejumlah orang pun menjadi kaya dan terkenal akibat perburuan citra-citra tersebut yang terus menerus diproduksi dan direproduksi tanpa henti lalu dipompakan jauh hingga ke ruang-ruang pribadi masyarakat.
Kemampuan merasakan dan memberi makna pada derita orang lain memang punya peran penting, selain akar yang sangat panjang, dalam peradaban. Peradaban Barat-Kristen, juga peradaban Islam, setidaknya di kalangan Syiah, menandaskan bahwa kemampuan “menghadirkan” dan memberi makna pada derita sang tokoh, baik itu Kristus atau Imam Ali dan putra-putranya, adalah—dan telah menjadi—sumber energi kultural yang memberi daya hidup. Telaah mutakhir evolusi Homo sapiens menunjukkan betapa dorongan berkorban para individu untuk kepentingan kelompok yang lebih besar merupakan tenaga yang membuat kelangsungan hidup spesies terjamin lebih baik. Di zaman kita ini, kemampuan merasakan dan memberi makna pada derita orang lain, kemampuan yang bisa menggerakkan manusia berkorban untuk sesamanya, telah mengalami penumpulan, dan sebagian penyebabnya, seperti dikeluhkan Sontag, adalah fotografi. Ketimbang mengikis penderitaan korban yang tertangkap lensa, fotografi bahkan bisa memantik munculnya penderitaan lain yang sama sekali tak ada gunanya. Sang korban pun bisa mengalami penindasan kedua, yang tak hanya menimpa dirinya tapi juga orang-orang yang terpaut dengannya, kali ini lewat jepretan kamera beserta berbagai jenis reproduksi dan distribusi citra yang mengikutinya.
10 Yang luput dari indra zaman yang riuh bertikai saling tumpas ini adalah bahwa yang menjuntai di tangkai Pohon Larangan itu tak lain dari “Buah Citra”—mereka yang mencicip daging dan menghirup ruap getahnya, akan melihat citra-citra di taman Ilahi itu secara lain. Mereka bahkan bisa menciptakan citra-citra, imaji-imaji, baru yang sama sekali tak terbayangkan, dan karena itu belum punya nama. Citra-citra baru itu tak sesuai dengan nama-nama yang diajarkan. Kemampuan tertata menciptakan citra-citra baru mendesakkan juga keterampilan sistematis menciptakan nama-nama yang sungguh tak dikenal di taman eden yang tenteram penuh rahmat. Karena kemampuan menciptakan citra-citra baru itu, penghuni Taman Firdaus didorong untuk meninggalkan taman yang tak lagi memadai bagi imajinasi mereka. Dilihat dari sekian sisi, buah citra itu memang pilihan yang lebih menarik sekaligus lebih penting dari “Buah Tanwaktu” yang menawarkan hidup baka tapi buta membedakan antara yang ada (dan batas-batasnya) dengan yang mungkin (dan ketakterbasannya). Dengan buah citra, manusia yang memupuk cinta dan melahirkan turunan untuk menanggap dendam rindu waktu kelak mungkin menumbuhkan sendiri pohon hidup nirkala. (Ini adalah tafsiran penulis atas kisah manusia di Taman Firdaus.)
Seberapa tinggikah derajat kesahihan keluhan, bahkan tuduhan, bahwa tak berkembang luasnya nalar kritis dan demokrasi—yang ikut dimungkinkan oleh fotografi—sebagian besar disebabkan justru oleh kekuatan dahsyat fotografi itu sendiri? Bagi Sontag, ketimbang mendorong perluasan demokrasi seperti dibayangkan Walter Benjamin, kekuatan hebat fotografi justru memalang pertumbuhan kekuatan politik kultural arus bawah. Kesimpulan Sontag ini bisa ditarik dari beberapa bagian tulisannya yang kadang memang tampak tidak konsisten, hal yang membuat W.J.T. Mitchell mengusulkan agar buku On Photography sebaiknya diganti judulnya menjadi Against Photography. Ada fotografer yang tak lagi menyentuh kamera selama tiga tahun setelah membaca OP. Dan sejumlah orang bahkan bisa meraba sebentuk reproduksi pandangan religius purba dalam karya Sontag itu: sebuah prasangka teologis yang menandaskan bahwa ketimbang memuliakan manusia, pengetahuan dan citra (yang antara lain tumbuh lewat teknologi fotografi) yang dahsyat itu, justru akan menghempaskan dan meyesatkan mereka. Dalam mitologi Taman Firdaus tradisi monoteisme Ibrahim—yang sumbernya bisa dilacak ke sehimpun cerita yang lebih tua di Sumeria lama—leluhur pertama umat manusia diajari nama-nama, lalu kehilangan rahmat dan terlempar ke dunia yang nista seusai mereka mendekati Pohon Pengetahuan.10
Kontradiksi yang tampak pada pernyataan-pernyataan Sontag tentang fotografi berakar pada ketakpedulian Sontag membedakan dengan tegas antara fotografi sebagai kemungkinan teknologis, dan fotografi sebagai ekstensi antropologis “masyarakat abad ke-19 dan 20” yang tak punya banyak sumber daya intelektual, atau yang daya intelektualnya belum rekah penuh. Sebagai kemungkinan teknologis, fotografi memang bisa revolusioner; tetapi sebagai ekstensi dari masyarakat yang masih diringkus iliterasi visual, fotografi yang bisa menaklukkan waktu itu, akhirnya takluk pada manusia, pada konservatisme dan ketakberdayaannya. Faktor manusia dan iliterasi visual itulah yang membuat hadirnya—jika dieksplisitkan—dua masalah besar yang terus berulang yang dimunculkan Sontag dan para pengecam fotografi sejak Charles Baudelaire. Pertama adalah masalah epistemologis, dan kedua adalah masalah etis.
Meski proses kognisi manusia jelas tak persis sama dengan proses kerja komputer, namun prinsip dasar komputer yang membuahkan kecerdasan buatan, bisa membantu memahami akar-akar masalah epistemologis fotografi. Citra fotografis pada dasarnya adalah irisan kenyataan; irisan yang sangat tipis dari tubuh kenyataan yang mungkin sangat besar dan rumit. Ketimbang menampung sebuah kenyataan dengan segala kerumitannya, otak manusia lebih mudah menyimpan sejumlah kecil citra fotografis yang tak jarang dianggap mewakili seluruh kenyataan, dan inilah akar pertama masalah epistemologis fotografi. Ini juga yang menyebabkan citra statis umumnya lebih dalam menancap di benak ketimbang citra yang bergerak. Kalaupun ada sejumlah citra bergerak yang menancap sangat dalam, penyebabnya bukan terutama karena citra yang tampak tapi cerita yang bergerak mengikat citra-citra tersebut. Banyak hal yang diperkarakan Sontag dalam OP, khususnya esai “In Plato’s Cave” dan “The Image-World”, yang kemudian muncul lagi di RPO, berakar pada keterbatasan daya tampung memori dan daya olah kognisi manusia. Persoalan bisa muncul dari dorongan kognitif memberhalakan dan melupakan bahwa citra yang digambar dengan cahaya itu hanyalah irisan tipis dari kenyataan, bukan kenyataan seluruhnya. Selembar foto mungkin saja menjadi “wakil” kenyataan, dan dunia pun seakan bisa diringkas dalam sebuah antologi citra, namun citra-citra tersebut dan album yang menatanya tetap bukan kenyataan itu sendiri.
11 Tentang persoalan jumlah dan koherensi informasi citra fotografis, lihat misalnya John Berger dan Jean Mohr, Another Way of Telling (Cambridge: Granta Books, 1982). Bahasa fotografi adalah bahasa bisu yang mungkin membuat selembar foto tak berdusta. Namun, seperti halnya Hermes dalam mitologi Mediterania, sekalipun tak berdusta, foto sungguh tak mungkin menyatakan seluruh hal sekaligus. Kini, dengan Photoshop dan berbagai piranti manipulasi citra, lembaran foto bukan saja tak dapat menyatakan segala hal, foto pun sudah bisa berpuisi dan berdusta; dan pengamat pintar yang bermata rabun akan memerkarakan kamera yang tampak menggiring orang memproduksi sekaligus memeriahkan karnaval dusta fotografi.
Sebagai rekaman irisan peristiwa, citra fotografis senantiasa terancam oleh keterbatasan jumlah dan mutu informasi, dan inilah akar kedua masalah epistemologis fotografi. Selembar foto tak dengan sendirinya memberi informasi yang memadai tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah irisan peristiwa yang terekam. Meski tidak selalu, informasi yang terbatas memang bisa berubah menjadi informasi yang sesat dan meyesatkan.11 Tekanan jumlah informasi yang terbatas mungkin bisa diringankan dengan membuat rekaman peristiwa sebanyak mungkin. Namun, dibanding mengunyah gunung lembaran citra rekaman yang tetap musykil menangkap seluruh kenyataan, otak dan mata manusia, serta kecenderungan artistiknya, akan memilih menghadapi sejumlah tertentu saja citra fotografis, yang walau terbatas jumlah informasinya tetap dapat mengekpresikan hal-hal yang kompleks, membuka jalan ke matra majemuk makna yang sekaligus menyajikan perspektif atas pengalaman manusia. Hal ini bisa dipenuhi jika citra fotografis, dengan jumlah informasinya yang mustahil tak terbatas, sanggup menyajikan informasi yang koheren. Masalahnya adalah bahwa selain kualitas sang fotografer dan kamera yang disandangnya, unsur-unsur lain seperti nasib baik dan sekian hal yang tak selamanya bisa diramalkan dan dikendalikan, berperan besar, dan kadang bisa lebih menentukan, dalam menjerat momen dengan tingkat koherensi informasi yang tinggi.
12 Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image-Music-Text, terjemahan Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9. Walau bukan kenyataan itu sendiri, analogon adalah turunan-salinan sempurna dari kenyataan. Kodrat analogon ditentukan oleh hubungannya yang sangat rapat dengan kenyataan, melebihi tilas kaki atau topeng kemangkatan (death mask).
13 Tak semua manusia memang adalah Walter Benjamin, atau Roland Barthes, yang punya cukup sumberdaya epistemik menghidupkan citra-citra bisu yang dilukis dengan cahaya. Di halaman awal Camera Lucida (1980), Barthes—mungkin pembaca citra visual paling khusyuk di paruh terakhir abad 20, pemikir yang sudah menganjurkan pembacaan fotografi dengan mata tertutup—mengakui bahwa ketakjuban pada fotografi adalah sejenis kesendirian: ketakjuban itu tak mudah dibagi bersama dengan orang lain, bahkan tak gampang untuk sekadar dipahami oleh orang lain.
Foto-foto yang setara dengan seribu kata memang selalu mengandung informasi yang saling topang. Kian tinggi tingkat koherensi informasi foto itu, kian kuat pula citra fotografis itu bercahaya menerangi dirinya sendiri. Di sisi lain, cahaya epistemik yang muncul dari citra fotografis sebagian ditentukan oleh kekuatan orang yang memandangnya. Roland Barthes menegaskan: citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi yang secara paradoksal menjadi dasar pembentukan pesan berisi kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.12 Khazanah pengalaman dan pengetahuan yang memadai memungkinkan orang mengupas lapis-lapis makna dan menemukan hal-hal penting yang sembunyi di balik—sekaligus menyingkapkan diri lewat—obyek-obyek yang tertangkap kamera. Sebagaimana tak semua foto mengandung informasi dengan jumlah dan koherensi yang memadai, tak semua orang beruntung atau tergerak membekali dirinya sumberdaya epistemik menyalakan citra-citra fotografis, dan inilah sumber masalah epistemologis ketiga.13
Citra fotografis memanglah bundelan kuanta informasi, dan informasi hanya bisa diproses oleh manusia jika masukan yang datang adalah masukan yang masuk akal, yang cocok atau kompatibel dengan sistem pengetahuan dan keyakinan manusia yang menatapnya. Citra-citra fotografis yang mengejutkan, tidak masuk akal, yang tidak sesuai dengan perangkat lunak manusia bisa membuat otak hang. Setidaknya otak akan menolak memproses citra-citra seperti itu. Foto-foto yang menghadirkan ketelengasan perang dan berbagai kekejian manusia mula-mula mungkin bisa dicerna, bahkan dengan sepercik gairah. Namun, foto-foto ini, selain bisa membeberkan kekejaman yang mampu dilakukan manusia terhadap sesamanya, juga sanggup berpendar-pendar menerangi banyak hal yang merongrong pikiran, termasuk ihwal ketakberdayaan manusia mencegah perang. Kian banyak foto perang dihasilkan, kian mereka terpojok dengan perasaan tak berkutik itu. Ketakberdayaan bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan, juga bukan sesuatu yang bisa ditanggungkan dalam jangka waktu panjang; dan semua itu dapat disembunyikan dengan cara mengabaikan citra-citra tersebut.
Karena citra-citra fotografis adalah analogon kenyataan, rusukannya pada manusia, dan tanggapan manusia terhadapnya, menjadi sangat mendalam. Citra-citra fotografis yang menghadirkan tubuh yang ringsek dan cacat, permukiman yang hangus dan terburai, dan berbagai hal yang porak-poranda yang sangat dekat dengan hidup manusia, akan membangkitkan tanggapan yang sangat instingtif, sangat atavistik; tanggapan yang datang dari akar-akar yang juga telah melahirkan solidaritas kemanusiaan dan kebudayaan. Tubuh-tubuh itu mungkin milik orang lain, bahkan mungkin musuh yang mengancam, yang menurut ideologi dan iman si pemandang sungguh layak dihancurkan; namun tubuh-tubuh itu begitu mirip dengan tubuh milik sendiri—citra-citra primordial yang telah dikenali dengan sangat intim jauh sebelum manusia dapat berbicara, berpikir, dan berteori. Citra-citra yang menghadirkan tubuh dan kota-kota yang luluh lantak, baik karena bencana alam maupun bencana karya manusia, bisa sangat menusuk bagai jarum, atau menghunjam bagai ruyung yang menyiksa manusia dalam ketercabikan antara bangunan nalar dan tanggapan naluri. Karena citra-citra itu bisa sangat menikam, maka penampikan terhadap citra-citra fotografis menjadi tampak lebih sengit.
Masalah epistemologis yang berlapis-lapis, yang puncaknya menonjolkan ketakberdayaan, kekejian, dan kedunguan manusia ini membawa masalah etis yang sangat dirisaukan Sontag. Masalah etis itu, yang ia tuangkan dalam satu buku tersendiri, RPO, tak lain adalah ketakmampuan manusia bersimpati pada penderitaan orang lain. Ketakpahaman, ketakberdayaan, mengakibatkan ketakpedulian pada nasib buruk sesama manusia. Setelah menyesatkan pikiran manusia yang terbatas dengan pemberian informasi yang tak selalu memadai, fotografi kini melumpuhkan daya tindak mereka. Yang tampak muncul dari limpahan citra-citra itu akhirnya adalah kebasnya manusia terhadap citra-citra yang brutal dan tidak manusiawi. Tetapi, gejala kebasnya manusia pada citra-citra brutal bukanlah pertanda matinya secara permanen solidaritas manusia. Gejala kebas itu lebih merupakan petunjuk ketakmampuan bertindak secara tepat dan pantas untuk menyurutkan penderitaan orang. Sekali manusia bisa memahami situasi dan tahu bahwa tindakannya bisa berarti, maka respon terhadap penderitaan akan menjadi sesuatu yang niscaya.
Bahkan kata pun mendadak terbang meninggalkan dunia yang terhenyak menyaksikan Banda Aceh, Calang, Meulaboh, dan sejumlah tempat di garis pantai Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur diterjang oleh Gelombang Tsunami 26 Desember 2004. Gelombang maut akibat gempa tektonik 9.3 skala richter yang berpusat di dasar laut Andaman, Sumatra, itu menelan korban hampir 250.000 jiwa dan membuat sekitar 1.700.000 orang kehilangan tempat tinggal. Ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang menghentak dan mengubah sejarah dunia modern, tak menelan korban sebesar itu. Banda Aceh dan tempat-tempat lain bagai terhempas ke alaf purba, diterjang kekuatan gelap yang seakan tak berasal dari dunia ini. Untuk beberapa saat, pemandangan yang luar biasa mengerikan itu di mana cakrawala tampak habis terbalik, membanting lumpuh akal dan menyihir manusia membatu dalam ketakutan. Namun, hanya beberapa hari setelah kelumpuhan akal itu, dunia menyaksikan sebuah gelombang lain yang kemudian saling susul: gelombang solidaritas lintas benua.
Jika gelombang raya tsunami melumpuhkan mereka yang memandang tayangannya antara lain karena gambaran kiamat yang banyak disinggung dalam khazanah agama, maka gelombang solidaritas lintas benua itu mencengangkan justru karena sama sekali tak terbayangkan oleh siapa pun sebelumnya. Orang-orang dari berbagai penjuru bumi, bertindak membantu para korban dan ikut menampung rasa pedih akibat bencana yang dilontarkan dari dasar samudra. Ribuan orang serentak meninggalkan kerja rutinnya. Di tengah udara yang digantungi maut, mereka mencari dan menguburkan para korban yang remuk bergelimpangan. Anak-anak di belahan jagat yang lain memecah tabungan dan menggerakkan kegiatan amal mengumpulkan dana bantuan. Bencana alam dahsyat itu ternyata telah menggerakkan gelombang balik simpati dan solidaritas, dengan kecepatan dan keluasan yang belum ada presedennya. Kamera, internet, dan transmisi satelit tentu ikut berperan membangkitkan gelombang kemanusiaan berskala global itu.
Bila benar bahwa limpahan citra penderitaan manusia akan membuat kebas mereka yang menatapnya, maka gelombang bantuan kemanusiaan pasca-tsunami dan gelombang bantuan untuk korban bencana alam yang lain, tentunya tak akan terjadi. Awalnya, mereka yang menatap foto-foto dan rentetan video bencana tsunami itu mungkin memang terpaku beku. Tetapi kemudian mereka bergerak. Dan mereka bergerak karena mereka tahu, mereka yakin, bahwa gerakan mereka akan ada gunanya. Simpati pada penderitaan orang memang akan lebih efektif dan bisa segera mewujudkan diri jika ditopang oleh kemantapan pengetahuan—keyakinan bahwa serentetan tindakan akan membawa hasil yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tak akan membuahkan akibat tak terduga yang dapat merugikan diri sendiri. Terlalu banyak contoh yang tandas menunjukkan bahwa sesungguhnya niat mulia yang disangga oleh pengetahuan buruk itu adalah separuh dari bencana.
Telaah ringkas atas masalah epistemologis dan etis fotografi menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa masalah epistemologis itu tidaklah tertanam secara esensial pada citra fotografi atau kamera itu sendiri seperti yang berkali-kali dikeluhkan oleh Sontag. Akar terdalam masalah itu ada pada manusia: pada sejarah dan pengetahuannya, bahkan lebih jauh lagi, pada konstitusi dan proses kognitif manusia. Otak manusia, dari segi pemrosesan informasi, secara umum ternyata adalah prosesor primitif yang buruk yang hanya bisa memikirkan satu hal secara baik untuk satu periode waktu tertentu. Luapan informasi citra fotografis yang datang dari berbagai penjuru mengepung manusia tidak dalam kuanta dan paket yang langsung bisa dicerna. Agar bisa dicerna, arus informasi itu harus disederhanakan dan disesuaikan dengan daya cerna manusia: sejumlah informasi pun disingkirkan dari citra-citra itu. Penyingkiran informasi ini bisa bersifat temporer, bisa juga permanen.
Konstitusi kognitif manusia, evolusi otak Homo sapiens, membuat kecenderungan melupakan menjadi sesuatu yang alami. Kecenderungan ini juga membantu mereka mengatasi hal-hal yang sulit dimengerti dan tak dapat dikendalikan. Jika hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti namun menyenangkan dikendalikan antara lain dalam bentuk fiksi, maka hal-hal yang tak dimengerti dan menyakitkan ditangani dengan cara lupa. Lupa tak saja bisa membantu manusia meneruskan kehidupan yang luar biasa getir. Lupa pun berperan sangat besar, seperti ditunjukkan oleh Ernest Renan, dalam kenangan selektif-kolektif yang membentuk perasaan ikut memiliki suatu peninggalan yang kaya dan tanah air tempat sekelompok manusia merasa sama-sama meneruskan sebuah warisan agung dan pelbagai sesal yang membekas. Dilebur oleh kobaran hasrat untuk hidup bersama, lupa melahirkan satuan sosial politik terpenting dalam beberapa abad terkahir: bangsa-bangsa. Kemampuan kognitif untuk melupakan itu juga yang agaknya membuat foto begitu mudah diterima manusia modern. Dengan meringkas dunia dalam lembaran, fotografi memberikan jalan yang tampak mudah untuk menangani kenyataan dan masa depan yang gampang lepas.
14 RPO, 109.
Kesadaran bahwa foto adalah irisan kenyataan membuat masyarakat ilmiah dan industri citra menjadi kelompok yang paling banyak mengambil manfaat dari foto. Kaum ilmuwan menggunakan foto untuk menguji dan memperluas pengetahuan mereka. Foto menjadi sarana untuk memperjelas kenyataan-kenyataan yang rumit. Sementara itu, industri citra menangguk untung dengan mereproduksi citra yang menawarkan kenyataan yang tampak dekat dan disukai namun belum terjangkau oleh banyak manusia. Pertautan antara kapitalisme citra dan “konservatisme” kognisi konsumen menggerakkan manusia memanipulir kemampuan kamera untuk menggandakan sekaligus “mempercantik manusia dan dunia menurut selera (banal) masing-masing”, sehingga “the vast maw of modernity has chewed up reality and spat the whole mess out as images”.14 Kamera menjadi black hole yang menetaskan kosmos yang lebih buruk, kosmos yang menjadi parasit besar bagi kosmos inang penghasil kamera. Seluruh persoalan yang ditimpakan pada fotografi memang berakar pada fakta bahwa fotografi adalah meta-seni, adalah teknologi, yang terkait langsung dengan manusia, dan manusia adalah nama lain dari masalah. Manusia, betapapun, adalah “penyimpangan” di alam semesta, persambungan dari hidup arkaik yang berawal dari sel-sel sederhana yang bertungkus lumus melanjutkan hidup dengan segala cara di tengah lingkungan yang bukan firdaus.
15 Puisi yang menggarap secarik potret dengan bagus terlihat misalnya pada sajak Goenawan Mohamad, Buat HJ dan PG. Baca juga ulasan Seno Gumira Ajidarma atas sajak ini, dalam esai “Kalacitra”, Lembar Bentara, Kompas, Jumat, 7 Juli 2000 — terbit kembali dalam Esei-Esei Bentara 2002, suntingan J.B. Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003). Margaret Atwood menulis sajak yang menyedot bertajuk This Is a Photograph of Me; sajak ini dengan cerdas memain-mainkan tatapan fotografis. Selain roman Bayangan Memudar: Kehidupan Sebuah Keluarga Indo karya E Breton de Nijs, yang juga diulas Ajidarma di “Kalacitra”, prosa yang menjadikan fotografi bagian yang integral dirinya misalnya adalah novel André Breton, Nadja; dan keempat novel WG Sebald: Austerlitz, The Rings of Saturn, The Emigrants, dan Vertigo.
Hal kedua, yang masih berkaitan dengan hal pertama adalah bahwa Sontag sendiri juga secara niscaya terkena oleh hukum universal proses kognitif tahap awal itu. Ia pun bisa berpikir secara fotografis yang menangkap peristiwa secara terpenggal-penggal; kalimat-kalimatnya yang aforistis, pikiran-pikirannya atas kamera dan citra fotografis, adalah snapshot—snapthought yang diabadikan dan disebarluaskan dengan teknik penyusunan kata yang memang brilian. Buku OP yang memenangi National Book Critics Circle Award for Criticism pada 1978, banyak didandani oleh kasus-kasus khusus yang disajikan seakan fenomena umum yang berwatak fundamental. Sontag memang tak begitu hirau menegaskan batas-batas telaah dan penilaiannya. Sejumlah gejala yang mungkin berlangsung luas tapi terjadi dalam waktu yang sebenarnya singkat, atau gejala yang mungkin akan berlangsung lama tetapi terjadi hanya pada kalangan tertentu saja, dipulung Sontag dan diangkat sedemikian rupa sehingga tampak menjadi bukti dari semacam hukum universal fotografi. Hal-hal yang temporer, yang merupakan bagian dari rangkaian proses yang panjang, dicopot Sontag dan dibekukan menjadi sesuatu yang seolah permanen. Proses belajar manusia, dan tanggapannya yang tampak mentah-gagap terhadap citra foto, diomeli Sontag dan kadang ditangani seakan sindrom dari sebuah patologi sosial menular yang berbahaya. Sekian peristiwa persinggungan manusia dengan kamera dan lembaran foto yang diperkarakan Sontag, sungguh bisa—dan telah—menjadi bahan yang baik bagi puisi dan prosa yang menyentuh.15
16 Pada edisi Penguin, foto dengan citra manusia yang dibuat kira-kira 1850 oleh seorang fotografer Amerika yang tak diketahui namanya, masih terpampang di sampul OP, dan itulah satu-satunya foto di buku yang menelaah fotografi itu. Pada edisi Picador, foto keluarga manusia itu telah sama sekali hilang, diganti oleh foto tampang lintang batang kayu yang sudah lama mati (disain oleh Helfand / Drenttel Studio), dan satu foto Sontag sendiri berukuran mungil di sampul belakang yang dibuat oleh Annie Leibovitz. Buku RPO sama sekali tak mengandung citra fotografis; sampul depan buku itu hanya mereproduksi Lempeng 36 Bencana Perang Francisco Goya.
Polimath Inggris Jonathan Miller pernah menyebut Susan Sontag sebagai “probably the most intelligent woman in America”, tapi pembacaan atas tulisan-tulisan Sontag, setidaknya tulisannya tentang fotografi, menunjukkan bahwa Sontag adalah pandai kata yang piawai menata epigram yang sekilas tampak rancung berkilau, tapi kadang rapuh dari segi isi. Sontag mungkin pengamat yang peka, dengan erudisi yang memang luas, namun jelas bukan analis yang sungguh tajam. Esai-esainya adalah Taman Jalan Setapak Bercecabang yang kadang rapat dihiasi mekarsari logical fallacy, surga gemilang bagi para pencari spesimen berona cemerlang psikologi pemikiran, dan labirin bayang-bayang buram bagi pencari spesimen kukuh epistemologi pemecahan masalah. Psikologi pemikiran Sontag memang menonjol membuatnya unggul mengindra berbagai matra dari selaur masalah. Kadang psikologi dan kepekaannya bekerja “begitu kuat” sehingga ia sanggup membentangkan sederet masalah yang sebenarnya bukan masalah—setidaknya bukan masalah besar seperti yang dimasygulkan Sontag. Menghadapi masalah epistemologis dan etis fotografi, Sontag menyajikan tawaran yang selintas terlihat cemerlang kemasannya, tapi cukup menggelikan isinya. Di bagian akhir OP, Sontag mengajukan apa yang ia sebut sebagai Ecology of Image: sebuah upaya untuk menyensor jumlah dan distribusi citra-citra yang membuat kebas manusia. Pembatasan jumlah dan pengedaran citra fotografis yang diniatkan untuk melindungi manusia dari mudarat kamera itu dilakukan Sontag bahkan sejak dari buku OP sendiri.16
Sesungguhnya solusi masalah epistemologis dan etis fotografi sudah ada pada Sontag, dan menampakkan diri lebih tegas pada apa yang dikerjakan Sontag, bukan pada apa yang dipikirkannya tentang fotografi. Dengan kalimat lain, solusi itu sebagian telah dibentangkan Sontag bukan pada apa yang dinyatakannya, tetapi pada apa yang dilakukannya. Pemecahan masalah epistemologis sekaligus etis fotografi bukanlah menjatah jumlah citra yang dikonsumsi manusia, bukan juga meninting jenis citra yang akan beredar. Unsur terpenting untuk membuat terang citra-citra itu tak lain adalah waktu, yakni waktu yang sudah dijinakkan. Darmabakti Batara Kala hadir dalam dua bentuk yang saling kait. Pertama, waktu menjadi ruang. Selain bisa menjadi semacam ragi yang membuat citra-citra yang tak bermutu berubah menjadi karya seni, waktu juga dapat menjadi ruang lapang hening yang memungkinkan proses algoritme kognisi manusia bekerja penuh dan tumbuh mengembangkan diri hingga piawai mengolah citra-citra fotografis yang datang tanpa henti dan semula menampik mengisahkan diri.
Ketika waktu menjadi ruang, dan gerak hadir lebih aktif berlapis, waktu sekaligus menitis jadi arus yang akan merangkai dan menghidupkan citra-citra. Menghidupkan citra adalah menghembuskan waktu ke dalam citra-citra tersebut, memberi kualitas temporal pada citra-citra itu, yang kemudian menjelma menjadi rangkaian cerita. Citra-citra yang ditata menjadi cerita akan menghamparkan pengetahuan yang dapat membimbing tindakan dan solidaritas manusia. Diwadahi oleh kecerdasan bahasa, cerita tertata menjadi sastra yang mampu membentangkan bukan hanya satu jenis pengetahuan, yang bisa saling menegaskan batas dan kekuatan masing-masing. Jika komposit pengetahuan itu terpadu secara sangat koheren, maka hadirlah sebuah dunia, sebuah buana bentukan baru yang lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar dari penjumlahan seluruh pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya. Sastra yang berintikan cerita, pada gilirannya dapat diringkas menjadi sejumlah citra. Citra yang dihablurkan dari sastra, bukan saja menandaskan kekuatan dan pencapaian sastra tersebut; citra-citra itu juga akan mempermudah otak menampung sastra itu dan memuluskan transmisi kebudayaan dari generasi ke generasi. Di halaman akhir RPO, yang ditulis hampir tiga dekade setelah OP, Sontag—yang mencoba memasukkan waktu ke dalam rangkaian citra dengan menggarap novel, cerpen, drama dan film—akhirnya menandaskan betapa cerita bisa lebih ampuh dari citra.
Tetapi kata dan cerita tak dengan sendirinya memecahkan soal etis dan epistemologis. Bahkan bisa dikatakan bahwa sebagian soal manusia terletak pada cerita. Sebagaimana citra dapat membawa masalah etis-epistemologi, cerita pun dapat menyesatkan pikiran dan tindakan manusia. Ditata oleh perangkat kognitif yang belum berkembang optimal, dikepung oleh lingkungan yang tak sepenuhnya tembus pandang, cerita-cerita besar yang dihasilkan oleh perangkat kognitif itu juga dapat menjelma jadi masalah besar. Cerita-cerita agung manusia, dalam bentuk agama dan ideologi, adalah kekuatan yang dapat mengipas api dan menggiring manusia saling tumpas. Sebuah bangsa, sekumpulan umat, tentu saja tak akan langsung menumpas sesama manusia hanya karena mendengar cerita. Di tengah tumpukan masalah ekonomi politik yang tak dapat diatasi, sebuah cerita besar dapat menjadi angin yang meniup bara di tengah tumpukan itu dan menstrukturkan kekerasan yang yang berkobar. Alangkah banyak cerita-cerita besar yang dulunya mungkin cukup ampuh untuk menjadi kerangka rujukan yang membimbing manusia memahami kenyataan dan menyalakan tindakan mereka, kini sudah tak lagi memadai. Upaya untuk terus bertahan menggunakan cerita-cerita besar itu, selain tak banyak membantu, juga bisa merusak.
Sejak awal karier intelektualnya, Sontag sudah mengangkat masalah yang diakibatkan oleh cerita-cerita besar itu. Masalah itu disajikan Sontag dalam esai yang ikut melambungkan namanya: Against Interpretation. Bagi Sontag, interpretasi harus dilawan, karena interpretasi adalah balas dendam nalar pada seni, bahkan balas dendam nalar pada dunia. Di bagian lain esai itu, Sontag mengakui bahwa interpretasi yang dia maksud tidaklah sebombastis yang dirumuskannya. Interpretasi yang hendak dilawannya itu tak lain hanyalah pemaksaan cerita-cerita tua, dalam hal ini teori seni yang didasarkan pada Psikoanalisis dan Marxisme, untuk menilai kenyataan-kenyataan baru yang menampakkan diri pada karya-karya artistik mutakhir. Tentu saja bukan tindak interpretasi itu sendiri yang jadi soal; tindak tafsir adalah hal yang sangat alami bagi manusia. Yang jadi soal adalah tak memadainya cerita-cerita tua yang dikenal manusia untuk dipakai menafsir citra—kadaluwarsanya perangkat lunak besar yang bernama agama dan ideologi untuk mengolah informasi baru.
Perangkat lunak besar atau grand narratives selalu mencari, menggali, isi informasi yang sesuai dengan dirinya sambil terus mengabaikan informasi yang tak dapat diprosesnya. Semakin banyak informasi yang tak dapat ia olah, semakin tidak stabil sebuah sistem. Sistem yang terbuka memiliki kemampuan untuk belajar mencerna informasi-informasi baru sambil berubah mengembangkan diri. Sistem yang tertutup, yang tak ingin mengubah diri namun ngotot mempertahankan kelangsungan hidupnya, hanya punya satu pilihan: menyingkirkan dan bahkan menghancurkan informasi-informasi ganjil yang tak dapat diprosesnya. Menghadapi kepungan perangkat lunak besar tertutup seperti ini, orang bisa dengan gampang menampik kehadiran grand narratives dan ngotot memperjuangkan perlawanan terhadap tafsir, lalu dengan sikap fundamentalistik bersikukuh bahwa karya adalah bentuknya. Tak lebih dan tak kurang.
Tentu saja ada karya yang sepintas tak mengandung “isi”. Karya yang tak bertumpu pada analogon kenyataan di dunia ini, karya yang tumbuh hanya dari murni pemikiran, seperti seni rupa abstrak, musik atonal dan terutama matematika murni yang luar biasa kaya karena selalu terpentang untuk dihantam dan dilampaui itu, adalah jenis karya yang tak mengandung isi yang dapat dipisahkan dari bentuknya. Karya-karya seperti ini memang harus didekati melulu pada permukaannya saja dan upaya untuk menggali isi di baliknya akan mirip dengan kerja keras menggali senja. Karya-karya ini tentu punya tempat mulianya sendiri; selain memberi ruang bagi permainan kognitif yang sangat intelektual, karya-karya semacam ini, setidaknya karya spekulasi matematis, juga menyimpan kunci pemahaman atas alam semesta seisinya. Makin banyak hal yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk khayal apa pun yang logis secara matematis akan mungkin juga terjadi secara fisis. Yang paling merangsang dari pergulatan atas bentuk-bentuk matematis ini adalah kemungkinan penyingkapan struktur alam semesta kendati pembuktian fisis belum juga memungkinkan, dan itu bagaikan mengalami rekahan fajar ketika seluruh daratan dan cakrawala masih terkubur dalam palung malam.
Jika karya yang tak bertumpu pada analogon kenyataan cenderung membubung dan mendorong batas langit tertinggi imajinasi, serta tampak seakan melepaskan diri dari segala warna yang dikenal manusia; maka karya yang bertumpu pada analogon kenyataan cenderung terpancang di dunia menyuruki ngarai terdalam pengalaman manusia, menapaki seluruh spektrum emosi yang bergelimang warna, dan condong bertahan di ranah di mana warna-warna yang paling kelam berkibar merajalela. Jika kekuatan utama ranah karya yang pertama adalah inteligensi, maka tenaga istimewa gugus karya yang kedua adalah solidaritas. Karya yang mengunggulkan inteligensi memang cenderung bergerak sentrifugal, sementara yang mengutamakan solidaritas akan bergerak sentripetal. Jika yang pertama tampak sangat asyik dalam pergulatan dengan bentuk yang terus menjauh dari kenyataan manusia, yang kedua tampak sangat resah dalam pergulatan merekatkan ikatan antarmanusia yang terburai dengan jalan mengubah nasib manusia, setidaknya membongkar dominasi warna dunia.
Pembagian dua kutub karya ini tentu saja adalah penyederhanaan. Sebuah karya bisa sekaligus punya bentuk dan isi, sekaligus bergulat dengan inteligensi dan solidaritas. Meski dibangun murni dari inteligensi, karya-karya yang tak bertumpu dan tak tertarik pada kenyataan dunia, akhirnya akan berjumpa (saling betot dan saling uji) dengan kenyataan dunia yang tak dipedulikannya; dan hanya karya yang benar-benar teruji yang sanggup bertahan hidup. Meski berharga karena solidaritas yang diajukannya, karya yang bertumpu pada kenyataan dunia juga mengharuskan hadirnya topangan inteligensi; dan bentuk yang tepat sungguh sanggup menduniakan isi: membuatnya jadi sebuah dunia sendiri, sekaligus membantu menembus batas menyebar ke seluruh dunia.
17 Lihat misalnya, Stephen Wolfram, A New Kind of Science (Canada: Wolfram Media, 2002). Lihat juga esai saya yang antara lain diilhami buku Wolfram, “Ontologi Baru, Algoritme dan Api” di Lembar Bentara, Kompas, Jumat, 5 Juli 2002, halaman 33—dimuat kembali dalam Esei-Esei Bentara 2003, suntingan J.B. Kristanto, Bre Redana, dan Nirwan Ahmad Arsuka (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003).
Bentuk-bentuk kreatif selalu berasal dari bentuk-bentuk dasar yang universal, bentuk primordial yang agaknya berkerabat dekat dengan apa yang dikenal sebagai cellular automata dalam Teori Komputabilitas, Matematika, dan Biologi Teoritis.17 Bentuk-bentuk ini adalah perlawanan yang berhingga atas yang tercerap sebagai tak berhingga, pergulatan menghimpun keanekaragaman dan kekayaan informasi sebesar mungkin dengan ruang dan materi yang seringkas mungkin; pertarungan daya hidup menghadapi dunia yang tegak mengangkang dengan hukum besi yang tak tertawar. Cellular automata itu mematuhi hukum besi dunia, hanya untuk kemudian mengubah dan melampauinya. Karena sifat dasar inilah, bentuk, yang selalu dicerap sebagai citra, tampak dapat menembus batas ruang dan waktu manusia, menyebar melintasi jurang-jurang geografis dan linguistik, meneruskan diri dari zaman ke zaman. Bentuk-bentuk itu sesungguhnya tak menembus batas, mereka hanya mengunjungi diri mereka sendiri, yakni hidup bertarung melampaui dunia dan dirinya sendiri, yang mendekam di ruang dan waktu yang lain. Bentuk memang tak mengenal pusat dan pinggiran, mereka hanya tahu yang tunas dan yang rimbun. Tunas adalah potensi yang mendekam, dan menjadi rimbun karena unsur-unsur sosio-historis dan terobosan para jenius. Diolah oleh nalar yang gemilang, bentuk dapat tumbuh menjadi visi. Dunia mungkin terlalu besar dan terlalu rumit untuk ditampung oleh ingatan seorang manusia, namun dengan visi yang benar-benar hebat, dunia bisa menyusut menjadi terlalu kecil dan terlalu sederhana buat imajinasinya.
Sastra terbentang luas di sepanjang spektrum tadi karena unsur dasar sastra adalah kata, yang sekaligus mengandung bunyi dan makna. Unsur bunyi yang juga menjadi bahan dasar musik, membuat (suku) kata seperti bata dalam membangun kota: bahan dasar menyusun struktur dan menata bentuk yang kompleks. Bunyi, dan kemudian juga aksara, adalah unsur indrawi dari kata, namun ketika sepatah kata dilahirkan, maknanya-lah yang secara intuitif mula-mula menggerakkan manusia. Makna yang berkembang secara gemilang niscaya akan merangsang rentetan tindakan manusia yang juga cemerlang, dan dunia pun dengan bergairah bergerak meniru sastra. Makna yang tertata dalam waktu adalah perangkat paling bagus untuk “menggerakkan” hal-hal dalam waktu. Menyebut suatu benda atau suatu kerja berarti menghadirkannya dari masa yang bukan hanya sekarang. Selain ikut dalam permainan bentuk, makna selalu membuat kata menunjuk pada kenyataan yang ada di dunia, baik kenyataan yang sudah ada sebelum bahasa—world is ancient, word is recent—tapi yang kehadirannya kian disadari dalam bahasa, maupun kenyataan yang kemunculannya hanya dimungkinkan oleh perkembangan bahasa. Bahasa dan kebudayaan manusia memang gejala yang sangat baru, walau benar-benar revolusioner, dalam evolusi makhluk hidup di Bumi.
18 Bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Pembacaan Dekat atau Jauh?: Melintasi Sastra dan Seni Rupa,” Kalam 22, 2005. Dewanto yang menyatakan bahwa “bentuk meradikalkan isi”, menyerang antara lain pembacaan saya yang menimbang mutu epistemik sang karya, menakar struktur dan morfologi gagasannya; pembacaan yang disebutnya sebagai “mengais-ngais isi di balik bentuk.”
Karena jelas mengandung analogon kenyataan, fotografi, khususnya yang merekam penderitaan umat manusia, menjadi yang paling kuat tertarik oleh gravitasi dunia manusia. Bagi sensibilitas penyembah bentuk, isi dunia dalam fotografi bisa membawa soal. Isi tentang penderitaan dan kebuasan manusia, bisa sangat menganggu kenikmatan mencerna bentuk-bentuk imajinatif dengan berbagai mutasi dan transformasinya. Sensibilitas timpang yang hanya mentok memuja bentuk-bentuk yang tampak di permukaan, akan cenderung mengosongkan isi, dan mereka punya tendensi kuat terjerat menakhlikkan karya yang apolitis, disengaged. Pengosongan isi pada sastra memungkinkan sastra lepas dari timbangan kekuatan isi, dari takaran struktur dan morfologi gagasan—pengosongan yang sekaligus juga membebaskan sastrawan dengan naif memulung rongsokan epistemik.18 Pengosongan isi pada fotografi dapat membebaskan si penatap dari runjaman etis sembari memanjakan diri dengan bentuk-bentuk yang mungkin saja sangat membius. Tapi justru rasa nikmat atas bentuk yang disesap dari citra yang merekam penderitaan manusia inilah yang diperkarakan Sontag panjang lebar. Sontag jelaslah bagian dari mereka para penjunjung karya yang selain menghormati intelek yang gemar bentuk, juga mengukuhkan solidaritas yang menuntut tindakan etis-politis untuk ikut menata ulang mayapada. Meski tak selalu bisa ia wujudkan, karya seperti inilah yang diidam-idamkan Sontag.
Dalam hal Sontag, aspek solidaritas ini memang bisa, bahkan kerap lebih kuat, dari aspek intelektualnya. Solidaritas itulah sesungguhnya tulang punggung pikiran-pikiran Sontag. Bahkan esai-esai awal dia yang sontak melambungkan nama Sontag, esai-esai yang suntuk menggugat interpretasi sembari memuliakan style, adalah teks yang ditenun oleh solidaritas: pembelaan terhadap sensibilitas yang terabaikan. Solidaritas itu pula yang berpengaruh kuat dalam penyusunan naskah-naskah terbaik dia yang memang sungguh memikat, hangat dan berpendar, yakni esai-esai yang ditata untuk mengenang dan menimbang para penulis pemberi ilham—Walter Benjamin, Elias Canetti, Albert Camus, Roland Barthes. Solidaritas pada Sontag begitu besar, sehingga ia bisa menangguhkan tuntutan inteligensi, yakni inteligensi pembangun sistem yang serentak mencintai bentuk dan menghormati struktur logika yang kokoh. Preferensi atas solidaritas yang mendahului inteligensi ini condong terjadi dalam situasi yang sangat menekan, dan merupakan akibat dari hukum dasar kehidupan. Solidaritas memang berkait rapat dengan dorongan untuk mempertahankan hidup bersama hari ini, dan inteligensi tak lain dari temuan mutakhir kehidupan yang diperoleh dengan susah payah untuk membantu pergulatan mengawal kelangsungan hidup di masa depan. Takkan ada masa depan tanpa kelangsungan hidup hari ini memang, kendati kelangsungan hidup hari ini akan semakin lebih baik jika ada wawasan kokoh yang cendekia atas masa depan.
19 “The normal codes of civilized behaviour” adalah frase yang diucapkan James Nachtwey dalam film War Photographer (2001) arahan Christian Frei.
20 Narasi jelita ini dikutip juga oleh Walter Benjamin antara lain dalam esai yang terkenal itu, The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility: Third Version. Marguerite Yourcenar meriwayatkannya kembali dalam Cerita-Cerita Timur, terjemahan Winarsih P. Arifin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Alkisah, Wang Fo, seorang pelukis tua, dan Ling, muridnya, mengembara menjelajahi Kerajaan Han. Tak banyak yang mereka bawa—Wang Fo lebih suka citra benda, bukan benda itu sendiri. Ketika pada suatu hari istri Ling yang cantik tewas menggantung diri, Wang tua larut habis melukis perempuan malang itu untuk terakhir kali, karena ia suka rona hijau yang menyalut raut wajah orang mati. Tatkala maharaja yang kecewa menimpakan hukuman yang lebih keji dari maut, Wang gembel meloloskan diri lewat bentangan cakrawala yang ia lukis. Dengan tatar kemampuan seperti itu, Wang Fo niscaya sanggup menghidupkan kembali istri terkasih Ling dan semua makhluk yang ia cinta, lewat sentuhan warna terakhir pada kedua mata yang dilukisnya.
Ada memang orang yang punya kegilaan tertentu yang menyeret mereka melupakan diri lebur di tengah massa, mengorganisir kaum terinjak dan menyuarakan gema yang tersangkut di tenggorokan rakyat. Mereka ini mungkin melihat jelas betapa perang dan penindasan sungguh merobohkan kode normal perilaku beradab manusia,19 dan dari sana berupaya membangun solidaritas dan menyalakan api yang membangkitkan harga diri kaum jelata. Tapi ada juga kalangan dengan kegilaan yang lain: kegilaan inteligensi yang lebih terpukau pada citra kenyataan ketimbang kenyataan itu sendiri; kegilaan yang mabuk pada tilas kekekalan dalam lintasan nanodetik, pada sel kosmis yang mengandung segenap informasi semesta yang tersemat dalam serpihan peristiwa. Kaum ini mungkin terlibat oleh bentuk-bentuk geometris di luka yang menganga atau lengkung kurva pada tubuh cacat ringsek yang mengerut menahan lindasan kanker dan kekejian politik; terbantun oleh jejak yang transenden pada tubuh-tubuh yang pasrah dikerat keroyokan belati. Kegilaan jenis ini bisa jadi datang dari para pembunuh berantai; dari psike kanak-kanak afkir yang bersarang di tubuh dewasa yang tak cukup dengan hanya dirangket. Tapi kegilaan jenis ini juga menjadi fajar dari seni seperti yang dikiaskan oleh legenda Wang Fo, pelukis lemah yang konon sanggup menciptakan kenyataan baru di kanvasnya.20 Inteligensi semacam ini pun meretas jalan ilmu seperti yang disajikan oleh Andreas Vesalius, yang dengan sabar dan cermat membedah serinci mungkin mayat manusia, lalu dengan khidmat menggambar apa yang tertangkap retina matanya. Hasilnya adalah kitab penting yang menegakkan ilmu anatomi modern: De Humani Corporis Fabrica (Tentang Tata Kerja Tubuh Manusia).
21 “Regarding the Torture of Others,” New York Times, 23 Mei 2004. Selanjutnya disingkat RTO.
Selain kepiawaian menata kata yang menyesap perhatian, yang mengesankan dari Sontag adalah bahwa ia bisa mencalang pendapatnya yang lama, bertengkar dengan pendapat-pendapat itu dan tak gentar mengakui sekian kesalahan yang dibuatnya. Meski kelak dikenang bukan karena kekokohan dan koherensi argumennya, tapi kelihaian dan keberanian Sontag dalam menggelorakan sejumlah pendapat memang menawan; begitu menawan sehingga pendapat-pendapatnya masih didekap kukuh oleh sejumlah pemeluk teguh bahkan ketika Sontag sendiri sudah meninggalkannya. Di esai terakhir yang ditulis menjelang kematiannya, esai yang menyorot foto-foto di penjara Abu Ghraib dan penyiksaan telengas yang ditimpakan ke sesama manusia, Sontag akhirnya menyambut, dengan nada yang melambung, produksi dan distribusi citra yang mengalir tanpa henti.21 Ia pun akhirnya percaya fotografi bisa benar-benar ikut memperbaiki dunia, dengan terus-menerus mengingatkan kemampuan manusia bertindak brutal, sambil tanpa henti mempererat jalinan solidaritas. Solidaritas memang akan menjadi kokoh jika ditopang oleh pengetahuan, dan pengetahuan yang andal menuntut tafsir yang tepat. Dan tafsir yang tepat, pengolahan informasi yang unggul, selain membutuhkan prosesor yang baik, juga memerlukan perangkat lunak yang selalu terbuka untuk memutakhirkan diri.
Kecepatan rerata kerja otak manusia mungkin memang belum bisa dilontarkan; benak manusia belum perlu dibuka lalu diperindah dengan berbagai mikroprosesor tambahan, sel tubuhnya belum harus dipercantik dengan untaian gen penambah jumlah sel—sekaligus penghasil molekul pemicu kerja—neuron. Tapi setidaknya prosesor biologis itu bisa dibantu dengan khazanah memori yang lebih baik, termasuk memori visual yang berhutang banyak pada fotografi. Sembari memperlebar basis pengambilan keputusan, penalaran moral dan pengarahan etis solidaritas manusia yang lebih cendekia, penambahan memori itu ikut membentangkan kemungkinan luas membebaskan dunia dari iliterasi citra, membebaskan sejarah dari watak buruknya untuk selalu mengulang dirinya sendiri—mengulang kesalahan lama sambil giat membiakkan kesalahan baru. Akumulasi khazanah memori—dan abstraksi—visual dalam lumbung citra umat manusia, berjalan bareng dengan pengembangan perangkat lunak yang lebih bagus, yang tuntas “mengoreksi” metanaratif tua yang telah mengalami pengapuran dan terpecah belah oleh gempuran kenyataan-kenyataan baru. Makhluk-makhluk kognitif lawas ini bertanggung jawab melanggengkan “paradoks epistemologi dunia” berupa kandasnya pertumbuhan kemampuan manusia meretas berbagai masalah yang terus melimpah di saat ilmu pengetahuan justru melambung tumbuh secara eksponensial. Cerita-cerita yang diturunkan mentah-mentah dari metanaratif renta, yang kemudian dipakai untuk merangkai luapan citra itulah yang ikut memasung gerak emansipasi dan mempersempit kerangka etis solidaritas manusia.
Di bagian awal OP, Sontag menandaskan bahwa kamera punya kekuatan agresi, seperti pistol: keduanya bisa menembak. Kamera juga punya kekuatan penetrasi, seperti lingga, sehingga mereka yang dipotret bisa merasa seperti diperkosa. Kini kita bisa berkata, ketimbang sebagai lingga yang punya daya penetrasi, kamera malah lebih mirip organ reproduksi perempuan, sejenis black hole, dengan daya tangkar yang sanggup melumpuhkan pikiran waras di satu sisi, tapi juga mampu di sisi lain merangsang lahirnya pikiran-pikiran segar yang cemerlang. Dengan trimurti rantai genesis citra-cerita-sastra, dengan black hole yang disangga oleh kedua tungkai jenjang inteligensi dan solidaritas yang pangkalnya saling tangkup, citra-citra yang direproduksi itu pada akhirnya merekahkan munculnya citra-citra baru: dunia dan manusia “melahirkan kembali” dirinya, melampaui batas-batas yang disungkupkan bukan saja oleh sejarah dan kebudayaan tetapi juga oleh evolusi biologis dan evolusi kognitif manusia.
Pelahiran sekaligus perluasan-rasa-diri itu akan berselirat dengan penyingkapan yang lebih jauh atas ketaksadaran optik manusia yang ranahnya sungguh lebih luas dari yang mungkin dibayangkan Walter Benjamin. Selain menghimpun dan menghidupkan sebanyak mungkin citra, bukan hanya citra yang diproduksi oleh ibu kota sebuah abad—seperti yang diupayakan Benjamin dalam The Arcades Project—penyingkapan itu mempertegas kemungkinan jenis ketaksadaran yang lain: “ketaksadaran cahaya” yang juga menghimbau untuk dijelang dengan solidaritas, dengan “pathos kuriositas dan keterpautan”. Tak peduli setajam apa pun perangkat optik manusia dikembangkan, akan mungkin ada wilayah kenyataan yang kehadirannya belum dapat dicerap. Bukan karena instrumen observasi manusia tak cukup canggih, tapi karena gelombang cahaya, tilas kenyataan tersebut, setelah mengembara ke segala penjuru selama sekian miliar tahun, tetap belum juga tiba di dunia. Karena galaksi-galaksi di alam semesta terus bergerak saling menjauh dengan kecepatan yang kian pesat, maka cahaya dari wilayah tertentu semesta mungkin tak akan pernah mencapai Bimasakti—dan tak akan mungkin bisa menyusul sampai, sampai inteligensi sanggup mengatasi dan memainkan ruang jagat raya.
Di salah satu fiksi Borges terpenting dan yang telah disebut di bagian depan, Tlön, Uqbar, Orbius Tertius, si narator yang tak menyebut namanya itu antara lain bercerita, dengan nada tawar hampir masygul, tentang penyusupan dunia fantasi ke dalam dunia nyata, tentang tergesernya pengetahuan-pengetahuan tradisional dan masuknya pengetahuan-pengetahuan baru di sekolah-sekolah yang disusun oleh kaum yang hendak menciptakan ulang kehidupan di bumi. Borges, yang oleh Sontag dibayangkan satu-satunya manusia—makhluk fana—yang layak menjadi khalik: menjadi tuhan dengan kekekalan literer, itu mengkhayalkan betapa karya terbesar umat manusia itu adalah penyusunan ensiklopedia raksasa yang dengannya akan disebarkan kenyataan dan kehidupan baru. Ezra Buckley merendahkan dan menertawai keluguan rencana agung untuk hanya menciptakan sebuah negeri niskala, lalu menantang untuk menyusun satu set ensiklopedia mengenai sebuah planet baru yang akan mengambil-alih kehidupan planet Bumi. Kini, mirip Ezra Buckley, kita bisa tersenyum manis-maklum melihat keluguan fantasi ajaib Borges yang baru sampai pada gagasan tentang penciptaan ulang kehidupan sebuah planet, dan belum melihat kemungkinan penciptaan ulang sebuah semesta raya; fantasi yang dengan tegas menyakini bahwa alam semesta, kuasa hukum langit, adalah tatanan serentak labirin yang secara mutlak tak akan pernah cukup manusia pahami.
Borges yang beranjak buta memang layak dikaji karena terobosannya melambungkan sastra ke aras yang lebih tinggi serempak menghamparkan sebentang cakrawala baru. Terobosan itu berkelindan dengan ketajamannya melihat tembus masa depan, mendahului banyak peristiwa dan temuan penting di simpang alaf. Tlön, Uqbar, Orbis Tertius yang terbit di Jurnal Sur edisi Mei 1940 itu bisa dilihat sebagai ramalan penuh ejekan atas kebangkitan dan kekonyolan totalitarianisme, tak hanya “Imperium Ketiga” Hitler. Cerita itu juga bisa dicerap sebagai pelukisan kecerdasan manusia dan perubahan dahsyat yang diakibatkannya pada dunia masa depan. Namun ukuran kedahsyatan akal dan masa depan yang ditangkap Borges, adalah ukuran yang kini tampak culun prasaja. Tapi kembang juga bermula dari kuncup, dan imajinasi pasca-borgesian diam-diam merekahkan diri: imajinasi yang menarik sejauh mungkin dialektika antara pengetahuan yang fiktif dan kenyataan yang fiksius, kenyataan yang jauh lebih ajaib dari apa yang dibayangkan manusia tapi yang selalu membuka jalan bagi inteligensi untuk masuk memahami. Yang sedang kita hadapi adalah sesuatu yang jauh lebih dahsyat sekaligus lebih alami dari fiksi Borges: sejarah yang terentang miliaran tahun yang silam mulai menyerap dan mengubah sejarah yang pernah dituturkan di masa silam dan telah memecah belah dunia; suatu masa silam universal yang membongkar dan mengatasi masa silam etno-religius.
22 Pandangan Heidegger tentang pengetahuan ilmiah ini memang agak ganjil—mundur! Bagi Heidegger, karena pengetahuan ilmiah tak lain dari turunan filsafat, maka ia tak mungkin melampaui filsafat; dan karena filsafat sendiri sudah purna, maka pengetahuan ilmiah juga sudah tuntas. Karena itu, Heidegger mencoba membangun corak pemikiran lain di luar pemikiran filosofis dan ilmiah, pemikiran yang dianggapnya cocok bagi clearing dan presencing buat alaetheia. Yang menarik, di esainya yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, The Question Concerning Technology, Heidegger menyajikan pandangan visioner tentang teknologi. Lihat Basic Writings: Martin Heidegger, suntingan David Farrell Krell (London: Routledge, 1993). Bahkan ketika The Question mulai ditulis, hubungan antara pengetahuan ilmiah dan teknologi telah diketahui begitu rapat, dan semakin tersingkap bahwa sains dan teknologi adalah dua sisi dari keping mikro yang sama, ekspresi tertinggi kecerdasan di Bumi. Ilmu dan teknologi memanglah persambungan dari “penyimpangan” yang telah melahirkan alam semesta; “penyimpangan” yang membuat benda mati menjadi makhluk hidup, dan makhluk hidup menjadi makhluk cerdas yang sadar diri.
Mereka yang membaca naskah Martin Heidegger, filosof cemerlang nan sial yang khusyuk merenungi Ada dan Waktu itu, mungkin dengan takjub akan menyebut proses yang dikabarkan tapi keliru dimengerti oleh Borges tadi sebagai, meminjam Heidegger, pelapangan (lichtung) dan penyingkapan total Sang Ada pada dirinya sendiri, pada kecerdasan manusia yang adalah puisi dari Sang Ada. Di esai pentingnya yang terakhir yang bertajuk The End of Philosophy and the Task of Thinking, Heidegger sudah menandaskan beralihnya tugas penyingkapan Ada, dari filsafat yang sudah tamat, ke pengetahuan ilmiah yang berkerja seperti kibernetika yang meletakkan di titik simpul manusia yang bertindak. Kendati pengetahuan ilmiah telah diremehkan Heidegger (dianggap tak lain dari sekadar turunan pucat filsafat—sumber yang sudah pungkas habis), namun pengetahuan ilmiah telah bekerja secara spektakuler menyingkap sebagian rahasia autopoesis alam semesta seisinya.22 Proses kerja ilmu yang berkembang semakin istimewa itu, merombak banyak cerita agung tua, sambil membangun mahacerita baru: mahacerita alam semesta menurut alam semesta sendiri sebagaimana yang ia singkapkan secara bertahap pada pengetahuan rasional. Penyingkapan total itu banyak dibantu oleh fotografi. Foto bukan lagi sekadar arsip yang pasif dari kenyataan yang akan hilang seperti yang ditandaskan Sontag: foto telah berubah aktif menjadi semacam panggilan buat penyingkapan lebih jauh kenyataan-kenyataan baru yang lebih menakjubkan.
Hadiah Nobel adalah salah satu pranata bikinan dunia yang sejak kelahirannya di fajar abad ke-20 jelas menandaskan peran vital fotografi dalam kerja penyingkapan mahacerita semesta dan segala hal yang berkembang di dalamnya. Alfred Nobel mewasiatkan agar hartanya dikelola untuk pengembangan ilmu yang memberi sumbangan terpenting bagi umat manusia, untuk penciptaan sastra yang paling menonjol menggapai cita-cita tertinggi kemanusiaan, serta untuk pengikisan angkatan perang dan pengukuhan perdamaian antar bangsa. Ilmu yang memenuhi syarat Nobel adalah ilmu yang obyektif, bebas nilai, dapat diuji bersama dan punya kemampuan prediksi yang bisa membantu manusia menghadapi masa depan. Dengan segenap keterbatasannya, fotografi berperan di dua ranah: verifikasi dan observasi. Sebuah teori mungkin saja membentangkan kecanggihan formal inteligensi manusia namun belum tentu menunjukkan dengan jitu hakekat pelik kenyataan dunia yang hendak dijelaskannya. Adalah fotografi yang kadang jadi penentu akhir kesesuaian antara prediksi teoretis dengan kenyataan alam dan perilaku manusia. Jika kamera dan peranti observasi lainnya yang berkembang kian halus menangkap fakta-fakta baru yang belum sanggup dijelaskan oleh pengetahuan ilmiah, selain menggiring ilmu memasuki kawasan anyar, mereka juga memaksa ilmu mengoreksi dan merevolusi diri. Bukan kebetulan bahwa Hadiah Nobel pertama (1901) untuk bidang Fisika diberikan kepada Wilhelm Conrad Röntgen. Penemuan Röntgen tak saja membuat ilmu dapat melihat tembus obyek-obyek dunia, menyingkap sebagian ketaksadaran optis manusia. Penemuan itu juga memberi kekuatan baru pada jagat kedokteran untuk memahami sekaligus menawar beraneka penyakit yang telah merundung umat manusia.
23 Diolah dari siaran pers yang tersaji di situs nobelprize.org.
Agar tubuh manusia dapat menggunakan informasi yang tersimpan dalam gen, satu salinan harus dibuat dulu (transkripsi) lalu ditransfer ke bagian luar sel. Di sana, salinan itu dibaca sebagai titah untuk membuat protein—yang pada gilirannya menyusun organisme dan fungsi-fungsinya. Roger D. Kornberg, peraih Hadiah Nobel 2006 untuk bidang kimia, adalah ilmuwan pertama yang membentuk satu gambar aktual tata kerja transkripsi di tingkat molekuler pada kelompok besar organisme eukariot (organisme yang selnya jelas punya inti). Manusia masuk ke dalam kelompok besar ini, seperti halnya bunga rangda-bermata-hitam dan ragi-penghimpun-sukma. Jika transkripsi macet, informasi genetik tak lagi dapat ditransfer dan tak organisme akan mati, atau tergilas sejumlah penyakit. Kornberg memanfaatkan teknik kristalografi yang dimungkinkan oleh penemuan Röntgen untuk menghasilkan foto freeze frame dengan citraan pembacaan perintah yang begitu rinci dan halus sehingga atom-atom individual bisa terlihat. Citra-citra Kornberg adalah bagian dari khazanah citra yang bergabung membangun cerita tentang kehidupan hayat. Jika Hadiah Nobel Fisika 2005 diberikan kepada tiga ilmuwan yang mengembangkan optika kuantum dan spektroskopi berbasis laser, Hadiah Nobel Fisika 2006 diberikan kepada John C. Mather dan George F. Smoot untuk temuan yang berpaut dengan kurun awal pertumbuhan jagat raya. Cabang khusus fotografi yakni spektrofotometri, dipakai untuk menangkap radiasi latar gelombang kosmik, buat mengukur rona pucat di langit yang tersisa dari Big Bang, ledakan mahabesar yang dianggap menjadi awal alam semesta sekitar 14 miliar tahun yang silam. Citra-citra spektrofotometri itu memperjelas pengetahuan manusia atas rincian cerita masa kanak-kanak alam semesta. 23
Mungkin akan ada yang melihat betapa penyingkapan diri semesta raya seisinya, yang disampaikan lewat sejumlah citra itu, bergerak seiring dengan dua hal. Pertama adalah pembentangan pengetahuan yang memperluas kemungkinan manusia mengangkat dirinya dari “jurang keterlemparan”, melepaskan diri dari ketelanjuran sejarah dan keharusan evolusi. Yang kedua, penyingkapan diri semesta itu sekaligus mengarah pada “pengukuhan kembali kesadaran dan kecerdasan di pusat”, bagai kemuning-penuntas-hujan atau seroja-pemangku-langit yang menyingkapkan diri memekarkan kelopak-kelopak mahkotanya serentak menonjolkan kepala putik solidaritas yang dikitari benang sari inteligensi. Meski visi penyerbukan kosmik mungkin masih sulit menghuni benak manusia abad ke-21, namun penyerbukan dunia yang memberi jalan pada manusia melepaskan diri dari ketelanjuran sejarah dan keharusan evolusi itu telah menjadi gerakan yang terus membesar. Penyerbukan dunia itu dipercepat oleh turunan pertamanya sendiri: angin dan kupu-kupu belas kasih (compassion) yang terbang dari benak para cendekiawan seperti Sontag, yang meletakkan manusia dan sejarahnya di pusat pergulatan intelektual mereka.
Manusia, dengan berbagai kelainannya, adalah sejenis “error” evolusi, “penyimpangan” di alam semesta. “Error” yang adalah bagian dari percobaan dari evolusi yang harus mereproduksi diri itu, agaknya adalah “antisipasi” random evolusi menghadapi keadaan yang benar-benar ganjil dan tak terduga. Dalam keadaan yang sungguh tak tercerna nalar, dalam keadaan yang berubah secara radikal, “error” evolusi inilah yang mungkin bisa meneruskan hidup. Jika antisipasi evolusi itu itu berhasil meneruskan hidup, maka “error” itu disebut sebagai mutasi. Keanekaragaman dan perkembangan organisme ke tatar yang kian kompleks muncul antara lain karena mutasi yang terus menumpuk. Segala bentuk kehidupan di Bumi, termasuk manusia, adalah persambungan sel-sel banal primitif yang mula-mula digodok di samudra purba dan terus bertarung melanjutkan hidup dengan segala cara di dunia yang mirip neraka: bola api yang permukaannya mendingin yang terkadang saja dihinggapi oleh remah surga. Dalam proses berat dan ruwet untuk meneruskan hidup itu, konflik menjadi permanen karena manusia dan segenap makhluk mengeram dalam dirinya kekuatan tak terkendalikan untuk mengekalkan dan menggandakan diri: lelatu eksplosif daya mahapurba yang dulu telah melahirkan alam semesta. Karena keterbatasan pengetahuan, dan kerja kognitif yang masih mentah, kekerasan yang gampang marak—di tengah keterbatasan sumber-sumber dan desakan pengekalan diri orang/makhluk lain yang juga tak terbendung—mungkin memang bagian tak terelakkan di masa silam.
Penandasan kesamaan asasi umat manusia—dorongan kekal universal untuk melanjutkan hidup yang lebih baik—dan pembentangan rahasia-rahasia alam yang perlahan-lahan membuka diri pada kendali manusia, membuat kekerasan kini tampak sebagai sarana yang benar-benar biadab dan mubazir. Penyingkapan itu juga memberi kekuatan baru pada manusia untuk merawat dan menggembalakan daya besar yang menetaskan semesta raya; daya yang setelah miliaran tahun berhasil dengan amat berat membentuk kehidupan hayati dan membentangkan inteligensi yang sadar diri. Merawat sumber yang melahirkan alam semesta mungkin memang terdengar sebagai ihwal yang belum terpikirkan. Namun, salah satu hal yang revolusioner dari ilmu dan teknologi, dan yang terang ditunjukkan bukan hanya oleh fotografi, ialah lepasnya manusia dari ringkusan skala dan akal intuitif. Pelepasan itu kian nyata seiring derasnya upaya membangun berbagai jenis kamera yang sanggup menangkap beraneka panjang gelombang. Dipancangkan sejak dari pucuk langit hingga ke pembuluh darah manusia, kamera itu menjadi mata, sekaligus telinga—telinga Sang Ganesha yang terseret deras arus cerita, tersudut cacat mematahkan sendiri gadingnya yang amat berharga—untuk menyimak dan menuliskan kisah semesta seisinya yang disampaikan sebagian besar lewat citra. Piranti ilmiah dan teknologi yang kian halus itu adalah perpanjangan tubuh dan benak manusia untuk mencerap lebih jernih degup di jantung semesta dan gema di akar kerakap, untuk membuat transparan kosmos raya—lebih tepatnya: untuk megindahkan hasrat-agung-kekal semesta raya polos-membuka-menghamparkan diri.
Dalam sejarah umat manusia, pandangan tentang tatanan alam semesta dan watak-watak dasarnya mempengaruhi pandangan tentang tatanan kebudayaan dan peradaban, tentang yang luhur dan yang nista, tentang penyelesaian dan penajaan konflik, tentang nilai kebersamaan dan persaudaraan, tentang keutamaan merasakan derita nestapa orang lain, tentang hal-hal penting yang menyusun arti menjadi manusia. Penyingkapan diri semesta lewat citra-citra visual, memberi banyak cahaya untuk mengelola dan menghidupi dunia dengan cara yang jauh lebih beradab di mana kekerasan akan tampak bukan hanya tak lagi perlu, tapi juga benar-benar memalukan. Dalam semesta yang tengah menyingkapkan diri ini, segala pengertian manusia tentang “Sang Lain” yang telah ikut jadi fondasi seluruh narasi akbar, akan tampak sebagai noda primitif—pigmen imajinasi yang diringkus oleh ketakutan dan kebuntuan—yang benar-benar tak punya dasar epistemologis. Noda imajinasi ini agaknya mirip dengan bug dalam kepustakaan perangkat lunak. Penyisiran dan penguraian noda-noda itu (debugging) membuat pengetahuan ilmiah—cerminan sekaligus juga transkrip mahacerita semesta—yang terus tumbuh itu, mendapatkan jalan untuk mengoreksi dan menghablurkan narasi-narasi kadaluwarsa yang tak tanggap pada kenyataan kurun baru. Antara lain dengan cara itulah transkripsi mahacerita semesta akan merangkum sekaligus menyelamatkan seluruh tradisi, segenap narasi besar, gubahan sejarah.
Di tengah dunia yang sebagian penghuninya kini masih diringkus oleh illiterasi citra dan media, di tengah jagat yang masih terpenjara oleh keharusan evolusi dan ketelanjuran sejarah, penyerbukan mayapada ikut dibentuk oleh suatu dinasti cerai berai yang terdiri dari manusia-manusia penyendiri, yang sebagian di antara mereka menenteng kamera, dan terus berkeliaran mengembara meliput ledakan mesiu, pertumpahan darah dan berbagai parut luka sejarah. Selain bertarung dengan peluru, mereka juga bergulat melawan sensor, baik sensor dari para editor media dan petugas negara maupun dari kaum yang mengaku mewakili masyarakat. Mereka inilah yang kerjanya ikut disanjung hormat oleh Sontag pada paragraf penutup esai RTO: kerja yang meneruskan produksi dan distribusi citra yang merekam sisi kelam kekuasaan yang menampik solidaritas dan inteligensi dalam maknanya yang paling luas. Kaum penjinjing kamera yang tak jarang mengadu hidup untuk ikut mengukuhkan kode normal perilaku beradab ini mungkin memang tak akan bisa langsung mengubah wajah kelam Bumi. Tetapi setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar unjuk andil menyusun lumbung citra memori visual sebuah planet—memori besar yang kini melambung tumbuh menjadi memori visual sebuah galaksi, setitik alam semesta.
- To photograph is to appropriate the thing photographed. It means putting oneself in a certain relation to the world that feels like knowledge—and, therefore, like power.
(OP, halaman 3) - To photograph people is to violate them.
(OP, 14) - The act of taking pictures is a semblance of appropriation, a semblance of rape. (OP, 24)
Some photographers set up as scientists, others as moralists. The scientists make an inventory of the world; the moralists concentrate on hard cases.
(OP, 59) - The photographer both loots and preserves, denounces and consecrates.
(OP, 64) - The proliferation of photographs is eventually an affirmation of kitsch.
(OP, 81) - The presence and proliferation of all photographs contributes to the erosion of the very notion of meaning.
(OP, 106) - Photography’s realism creates a confusion about the real which is (in the long run) analgesic morally as well as (both in the long run and in the short run) sensorially stimulating.
(OP, 110) - By disclosing the thingness of human being, the humanness of things, photography transforms reality into a tautology.
(OP, 111) - And photographs of the victims of war are themselves a species of rethoric. They reiterate. They simplify. They agitate. They create the illusion of consensus.
(RPO, 5) - To photograhic corroboration of the atrocities committed by one’s own side, the standard response is that the pictures are fabrication, that no such atrocity ever took place, those were bodies the other side had brought in trucks from the city morgue and placed about the street, or that, yes, it happened and it was the other side who did it, to themselves.
(RPO, 10) - The ultra-familiar, ultra-celebrated image—of agony, of ruin—is an avoidable feature of our camera-mediated knowledge of war.
(RPO, 21) - To photograph was to compose (with living subjects, to pose), and the desire to arrange elements in the picture did not vanish because the subject was immobilized, or immobile.
(RPO, 48) - To catch a death actually happening and embalm it for all time is something only cameras can do, and pictures taken by photographers out in the field of the moment of (or just before) death are among the most celebrated and often reproduced of war photography.
(RPO, 53) - The ubiquity of those photographs, and those horrors, cannot help but nourish belief in the inevitability of tragedy in the benighted or backward—that is, poor—parts of the world.
(RPO, 64) - The dual powers of photography—to generate documents and to create works of visual arts—have produced some remarkable exaggeration about what photographers ought or ought not to do. Lately, the most common exaggeration is one that regards the powers as opposites. Photographs that depict suffering shouldn’t be beautiful, as caption shouldn’t moralize. In this view, a beautiful photograph drains attention from the sobering subject and turns it toward the medium itself, thereby compromising the picture’s status as a document. The photograph gives mixed signals. Stop this, it urges. But it also exclaims, What a spectacle!
(RPO, 68) - No one after a certain age has the right to this kind of innocence, of superficiality, to this degree of ignorance or amnesia. There now exists a vast repository of images that make it harder to maintain this kind of moral defectiveness. Let the atrocious images haunt us. Even if they are only tokens, and cannot possibly encompass most of the reality to which they refer, they still perform a vital function. The image says: This is what human beings are capable of doing—may volunteer to do, enthusiastically, self-righteously. Don’t forget.
(RPO, 102) - A narrative seems likely to be more effective than an image.
(RPO, 110) - The Bush administration and its defenders have chiefly sought to limit a public-relations disaster—the dissemination of the photographs—rather than deal with the complex crimes of leadership and of policy revealed by the pictures. There was, first of all, the displacement of the reality onto the photographs themselves. The administration’s initial response was to say that the president was shocked and disgusted by the photographs—as if the fault or horror lay in the images, not in what they depict.
(RTO, New York Times, 23 Mei 2004). - In our digital hall of mirrors, the pictures aren’t going to go away. Yes, it seems that one picture is worth a thousand words. And even if our leaders choose not to look at them, there will be thousands more snapshots and videos. Unstoppable.
(RTO, New York Times, 23 Mei 2004).